“Terserah lu aja, gimana nih kita pulang aja atau mampir ke tempat yang lain?”
“Mampir dulu lah, lagipula masih jam 23.30 belum terlalu malam. Sekalian tadi bokap balik terus bawa oleh-oleh, niatnya gue mau bagiin ke yang lain.”
“Oh iya gimana kabar bokap lu? Dah lama gue nggak main kesana,” tanya Biru.
“Baik. Kata bokap juga lu disuruh main.”
Tak terasa malam semakin larut, Biru melirik pada teman-teman yang lain ternyata mereka semua sudah terlelap tidur, begitupun dengan Andi. Awalnya ingin membangunkan mereka namun Biru enggan karena takut mengganggu tidur temannya.
Suara motor terdengar, Baba dan Maya sengaja menunggu kepulangan Biru. Ternyata Ara menceritakan jika sepupunya itu baru saja memenangkan balapan. Sudah bisa ditebak jika paman dan bibinya berniat mengambil hadiah uang yang dimiliki Biru. Untung saja lelaki itu sudah memisahkan uangnya. Dengan begitu hasil balapan tadi tidak sepenuhnya diambil mereka.
“Cepat masuk, langsung tidur jangan main handphone. Besok sekolah tidak boleh terlambat.”
“Iya.” Biru memasuki kamarnya. Namun Ara sudah berada didepan pintu. Dia tersenyum karena Biru tidak memiliki uang sepeser pun hasil dari balapannya.
“Lu itu beban di sini. Kenapa nggak nyari kost-an aja sih,” ujar Ara tanpa disaring dahulu.
“Lu punya masalah apasih Ra? Perasaan selama ini gue nggak pernah nyari ribut sama lu, kalo misalkan keberadaan gue di sini cuman jadi beban kalian bertiga, okay fine! Gue cabut sekarang juga.”
“Baguslah sadar diri,” ucapnya dengan sinis lalu pergi meninggalkan Biru.
Biru merebahkan badannya dikasur, dia berpikir bahwa seharusnya bukan di sini tempatnya berada. Uang yang selama ini di kumpulkan sudah terbilang cukup untuk dirinya hidup mandiri. Besok pagi Biru berniat pamit pada paman dan bibinya.
Keesokan harinya, dia benar-benar pamit. Pukul 05.00 pagi Biru telah bersiap-siap membawa tas yang berisi pakaian. Sebelum berangkat kesekolah Biru berniat mencari kost-an.
“Jangan balik ke sini lagi kalo kamu nggak sanggup menjalani kehidupan diluar sana,” ujar sang bibi.
“Sana pergi, dan jangan anggap kami keluarga kamu lagi. Sudah bagus tinggal di sini malah mau pergi. Dasar anak tak tahu di untung,” sambung pamannya.
Biru sudah tak tahan dengan semua omelan dari paman bibinya. Berbeda saat dulu, mereka berdua sangat peduli kepadanya. Mungkin karena Papa dan Mama Biru sering memberikan uang bulanan kepada mereka.
Tak mau berlama-lama dia pun pergi dari rumah, saat diperjalanan tak sengaja bertemu dengan Echa yang sedang membeli sarapan nasi uduk.
Melihat Biru membawa barang yang cukup banyak dan berat membuat Echa bertanya.
“Mau kemana? Sekolahkan jam segini belum dibuka,” tanyanya.
“Bukan urusan lu.”
“Dih, orang nanya malah sewot. Lagi pms pak ketua?”
Langkah Biru terhenti, dia membalikkan badannya. Menatap Echa lalu melanjutkan langkahnya. “Semenjak orang tua nggak ada hidup gue jadi berantakan. Kalo tahu bakal begini kenapa kalian nggak ajak Biru aja, Mah, Pah?”
Air mata menitik tanpa dirinya sadari, ternyata Echa yang sudah selesai membeli sarapan melihat itu semua. Membuat dirinya bertanya-tanya ada apa dengan teman kelasnya tersebut.
“Nih,” ucap Echa sembari menyodorkan makanan.
“Gue nggak butuh,” jawabnya menolak pemberian Echa.
Echa duduk disamping Biru, tanpa diminta gadis itu mulai menceritakan hidupnya pada lelaki yang sebelumnya tidak akrab sama sekali. Biru melirik padanya, lalu memalingkan wajah.
“Oh iya, kebetulan Ayah aku punya rumah yang nggak ke pake. Gimana kalo kamu tinggal di sana aja? Masalah harga biar aku yang bicara sama Ayah.”
“Nggak perlu, gue nggak mau ngerepotin siapa-siapa lagi.”
“Udahlah ayok. Nggak baik nolak lagipula ini udah mau jam 06.00.”
Echa menarik tangan Biru. Sedangkan lelaki yang ditarik tangannya hanya diam memandang terus pada perempuan yang sedang menggandeng lengannya. “Ekhem!”
“Eh maaf, abisnya kamu susah banget. Kita sudah sampai, bentar kamu tunggu di sini dulu biar aku bicara sama Ayah.” Echa masuk kedalam rumahnya. Setelah itu keluarlah sepasang suami istri menyambut Biru dengan baik.
”Pagi Om, Tante. Maaf saya bertamu sangat pagi,” sapanya dengan sopan dan ramah.
“Mau nempatin rumah Om ya? Kebetulan rumahnya kosong, tapi belum diberesin. Kalo kamu mau ambil silahkan masalah harga bisa dibicarakan. Lagipula kamu masih sekolah dicicil juga nggak papa.”
“Terima kasih Om, untuk beres-beres biar nanti pulang sekolah saja. Sekali lagi saya ngucapin terima kasih sama Om dan Tante.”
“Iya, ya sudah saya mau pergi ke kantor. Kalo butuh apa-apa tinggal bilang sama Tante atau Echa saja.”
Ayah Echa pamit bekerja. Kini tersisa Echa, ibunya dan juga Biru. Mereka berdua mengajak Biru masuk kedalam melihat-lihat isi rumah yang akan ditempati. Ternyata didalam sana masih terlihat bagus, yang ada di benak Biru adalah mengapa rumah tersebut tidak mereka tempati dan malah membuat rumah baru disampingnya.
Biru ingin bertanya namun enggan. Dia pun hanya mengangguk dengan apa yang dijelaskan ibu Echa. Setelah semua selesai, keduanya pergi kesekolah. Andi yang baru saja sampai terkejut melihat sahabatnya datang bersamaan dengan Echa. Begitupun teman-temannya yang lain. Mereka semua merasa heran bagaimana bisa Biru dekat dengan Echa yang notabenenya tak pernah sekalipun mengobrol.
“Wah wah ada apa ini? Tumben sekali tuan Biru datang kesekolah bareng cewek, jangan-jangan kalian berdua?”
“Apasih nggak jelas lu. Gue duluan,” ucap Biru.
“Dih dih sewot, oy Ca. Lu kok bisa datang barengan sama Biru? Kalian pacaran ya, hayoh? Nggak nyangka baru juga kalian mulai ngobrol kemarin eh sekarang udah jadian aja, daebak.” Andi menggoda Echa sembari bertepuk tangan. Sedangkan yang di godanya malah melemparkan senyuman. Hal itu membuat Andi semakin yakin dengan pemikirannya.
Didalam kelas, meja Biru sudah dipenuhi dengan kotak makanan serta snacks. Banyak para siswi yang sengaja menyimpan makanan tersebut di mejanya. Saat akan duduk suara Nadia dan Arka terdengar memanggil.
“Oy Biru! Cepetan datang keruang osis, disuruh pak Bima.”
“Males gue Nad,” jawabnya.
“Nggak mau tahu lu harus datang. Ntar pak Bima marah loh. Lu kan baru jadi ketua osis,” ucap Nadia.
“Gue ngantuk buset, lagipula kenapa nggak lu sama si Arka aja sih yang jadi ketos waketos?”
“Udah nggak usah ngeluh, gue yakin lu adalah ketua yang rajin, baik dan tidak pemalas,” ujar Arka menarik tangan Biru.
Andi yang tidak masuk organisasi hanya tertawa melihat sahabatnya yang tertekan menjadi ketua osis. Lelaki itu lebih nyaman menjadi siswa biasa, dan hanya mengikuti ekstrakurikuler saja yaitu basket. “Nitip tuh curut ya Arka, soalnya kalo masih pagi suka ngecicit nggak jelas, suaranya berisik. Kalo bisa kasih asupan dulu,” teriak Andi pada Arka dan Nadia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
վմղíα | HV💕
orang tua Ara kejam masa sama keponakan kek gitu, untung ada Ehca yang menolong biru.
2023-06-23
3
Kang cilok
mngt
2023-06-23
0
FT. Zira
di sini sku tepuk jidat berkali kali😳😳
2023-05-24
0