Sweet Affair

Sweet Affair

Makan Malam

Alunan musik dari salah satu penyanyi terkenal Indonesia menjadi pendukung acara pernikahan yang diselenggarakan di sebuah ballroom hotel termegah di Jakarta. Dari tempatnya berdiri, Viona bisa melihat kedua pasangan yang telah berdiri di atas panggung itu memamerkan senyum merekah sebagai raja dan ratu malam ini.

 

“Kamu ingin memakan sesuatu?” Zio, berdiri di sampingnya menginterupsi kegiatan Viona yang sedang menatap antrian para tamu yang mengular demi memberikan selamat kepada calon mempelai.

 

“Aku ingin makan siomay di sana.” Zio menunjuk salah satu stand makanan yang berada di sisi ruangan dengan dagunya. Tanpa meminta persetujuan dari Viona, pria itu langsung melangkah pergi.

 

Viona tidak berselera makan. Perutnya terasa diremas dan dililit dalam waktu bersamaan. Terlebih lagi beberapa saat yang lalu ia harus bertemu dengan seseorang yang tidak sepantasnya bertemu di sini. Ia terlalu terkejut dengan pertemuan tersebut hingga mematikan seluruh saraf di tubuhnya. Jika ia bisa memilih, ia tidak akan setuju Zio mengajaknya ke pesta ini.

 

“AKH!” Cekalan yang kuat di lengannya sontak membuat Viona meringis dan menoleh ke samping. Kedua matanya langsung melebar begitu melihat siapa pemilik tangan itu.

 

“Ikut denganku!” Suara rendah dan berat yang mengintimidasi itu membuat Viona bertekuk lutut. Dengan terseok-seok, Viona mengikuti langkah pria itu yang menyeretnya menjauh keluar dari ballroom. Sesaat sebelum dibawa keluar, pandangan Viona melihat sekitar, ia hanya takut kalau Zio ataupun orang yang ia kenal memergokiknya pergi dengan seorang pria.

 

 “Lepaskan aku! Sakit!” keluh Viona setelah mereka berhasil keluar dan berjalan di lorong hotel yang lengang. Cekalan tangan pria itu pada tangan Viona semakin mengerat.

 

“Kita mau ke mana, huh?” tanya Viona lagi yang kesusahan menyamakan langkah cepat dan lebar pria di depannya. Terlebih lagi high heels setinggi dua belas cm yang ia kenakan juga mempersulit pergerakan wanita itu. Tangan bebasnya mengamit ujung gaun pesta yang menyapu lantai.

 

Tidak ada jawaban keluar dari mulut pria itu yang membuat debaran jantung Viona semakin tidak terkendali.

 

“Kei …,” lirih Viona pada akhirnya, memanggil nama pria itu agar menghentikan langkahnya.

 

Langkah Kei terhenti, tepat di depan sebuah kamar hotel. Ia merogoh kunci di saku celananya lantas membuka pintu kamar dan menarik paksa Viona masuk ke dalam. Tubuh Viona di dorong ke atas ranjang. Belum sempat otak Viona mencerna, tubuh berat pria itu menindihnya.

 

“Mengapa kamu ke sini bersama dengannya, Viona?” Tatapan tajam bagaikan pisau itu yang dilumuri perasaan cemburu itu tengah menuntut jawaban.

 

“Dia tunanganku, Keita. Zio mendapatkan undangan dan dia mengajakku. Aku tidak punya alasan untuk menolak itu. Lagipula aku tidak tahu kalau kamu akan ke sini. Dan aku juga baru tahu kalau pengantin pria punya hubungan keluarga dengan Wirya.” Viona berucap jujur.

 

Tidakkah Keita melihat tadi begitu terkejutnya Viona melihat pria itu  yang datang dengan seragam tuxedo hitam dengan rambut ditata ke belakang yang membuat penampilan Keita menjadi sangat tampan dan gagah.

 

“Kamu mencintainya?” Dua kata yang terlontar dari mulut Keita langsung menancap tepat di hati Viona. Ia memilih membuang wajahnya ke samping. Wanita itu tidak sanggup menatap mata hitam milik Keita yang tajam.

 

“Aku tahu kamu tidak mencintainya,” jawab Keita retoris.

 

Wajah pria itu mendekat hingga Viona bisa merasakan deru napas pria itu yang berat. Jantungnya memompa lebih cepat dari biasanya dan mengalirkan darah ke wajah hingga sukses memerah dan memanas. Viona sudah tahu detik selanjutnya akan berakhir seperti apa.

 

Tenaga Viona seolah terhisap habis hingga tidak mampu mendorong tubuh Keita menjauh. Bukan, Viona bukannya tidak mau berusaha, ia tahu apa yang diinginkan tubuh dan hatinya. Hanya saja ia mati-matian mengirimkan sinyal ke otak untuk membantah dan mengelak.

 

Ketika bibir Keita menyentuh bibir kenyal miliknya, detik itu juga pertahanan yang dibangun Viona luluh lantak. Ketika jemari mereka saling bertaut, kebimbangan yang menghantui Viona antara memilih mengikuti kata hati atau logikanya bahwa selama ini ia telah memiliki tunangan sukses menghantuinya. Meskipun begitu, Viona tidak sanggup memilih salah satu diantaranya.

 

 

Beberapa bulan yang lalu …

 

Viona menatap cincin berwarna keperakan yang melingkar di jari manis sebelah kirinya sembari menyentuh permukaannya berkali-kali yang mengilap ketika berpantulan dengan cahaya. Benda bulat itu selalu ada di dalam tasnya, jadi ketika ia harus pergi ke suatu acara seperti malam ini yang mengharuskannya mengenakan itu, ia langsung merogoh ke dalam tas.

 

“Bisa tidak kalau ingin mengajakku makan malam jangan mendadak seperti ini?” rungut Viona kepada pria di sampingnya yang sedang fokus menyetir.

 

Pria yang bernama Zio Mahendra itu membalas. “Kakek yang menginginkannya. Dia bilang rindu denganmu. Kalau bukan karena lelaki tua itu, aku juga enggan mengeluarkan uang hanya untuk memesan tiket pesawat kembali ke Jakarta dari Bali. Padahal aku baru saja sampai tadi pagi,” gurutu Zio.

 

Viona tidak membalas dan memilih membuang wajahnya ke samping guna menghitung kendaraan yang melintas bersama dengan mereka. Mobil yang dikendarai Zio melambat dan perlahan-lahan berhenti karena mobil di depan mereka melakukan hal yang sama. Jalanan di waktu weekend memang padat merayap dan sering menyebabkan kemacetan.

 

Zio memanfaatkan waktu untuk bertanya kembali. “Apakah tidak ada dress lain? bulan lalu kamu mengenakan ini juga, kan? Bukankah kita sudah sepakat kalau acara makan malam setiap bulannya kamu harus selalu menggunakan dress yang berbeda? Bagaimana kalau Mama mengenalinya? Aku bisa dituduh tidak memperhatikanmu, Viona.” Zio menelisik penampilan Viona dari ujung kepala hingga ujung kaki.

 

Perkataan Zio mau tidak mau membuat Viona meringis. Ia memang mengenakan dress bulan lalu yang diperuntukan untuk acara yang sama seperti malam ini. Hampir setiap bulan memang selalu ada agenda makan malam bersama antara Viona dengan keluarga Zio. Tidak jarang juga makan malam antar keluarga mereka.

 

Zio dan Viona sejak kecil memang sudah dijodohkan oleh kedua kakek mereka. Kakek Zio yang bernama Mahendra di masa lalu memiliki hutang budi kepada kakek Viona dari pihak ibu yang juga merupakan sahabatnya karena telah menolong mereka saat kesusahan dulu.

 

Ketika keluarga Mahendra telah sukses dan menjadi kaya raya bahkan memiliki perusahaan properti nomor satu di Indonesia, kakek Zio ingin membalas budi dengan menjodohkan cucunya dengan cucu sahabatnya yaitu Viona. Mereka bertunangan ketika Viona telah menginjak usia 25. Umur Viona kini 27 tahun, berarti sudah dua tahun ia menjadi tunangan Zio.

 

Viona ikut memperhatikan penampilannya. Wanita itu mengenakan dress berbentuk V yang memperlihatkan lehernya yang jenjang. Berwarna navy selutut dengan kerutan di bagian perut dan berlengan pendek. Apa salahnya dengan baju yang ia pakai? Toh bajunya masih layak pakai. Kalau bukan untuk acara makan-makan, ia tidak mau mengeluarkan uangnya hanya demi sebuah pakaian. Pemborosan dan menciptakan limbah. Tahukah Zio kalau setiap tahunnya dunia ini menghasilkan berton-ton limbah pakaian?

 

“Aku tidak punya waktu untuk berbelanja pakaian. Pekerjaanku cukup menguras waktu. Lagipula makan malam ini juga terlalu mendadak.” Viona membela diri dengan berbagai alasan meskipun alasannya itu sepenuhnya kebenaran. Berdasarkan pengalaman, harusnya agenda makan malam ini berlangsung minggu depan bukan sekarang.

 

“Sebaiknya dari sekarang kamu pikirkan alasan yang masuk akal jika Mama menanyakan tentang dress itu. Ingatan Mama masih cukup tajam. Dan jangan bawa aku ke dalam alasanmu.” Zio memperingatkan Viona dengan nada ketus dan terkesan memerintah.

 

Pria itu menginjak pedal gas dan mobil sepenuhnya berjalan lagi saat kendaraan di depan telah menciptakan jarak.

 

Viona mengunci bibirnya begitu pula dengan Zio. Mereka berdiam diri sepanjang perjalanan menuju sebuah restoran mewah yang berada di kawasan Jakarta.

 

Ketika mobil yang dikendarai Zio telah memasuki kawasan restoran, jantung Viona langsung berdetak lebih cepat dibandingkan tadi. Meskipun telah menjadi agenda rutin, Viona selalu gugup dan tidak siap jika berhadapan dengan keluarga Zio yang memiliki latar belakang sangat berbeda dengan latar belakang keluarganya.

 

Zio melajukan kendaraan roda empatnya menuju parkiran restoran. Setelah sukses, ia kemudian mematikan mesin mobil. “Mari kita samakan persepsi,” tuntutnya setelah melihat keadaan di luar lewat kaca jendela yang belum terbuka. Keluarganya telah menunggu di dalam restoran sejak tadi.

 

“Bilang saja aku sedang sibuk mengurus bisnis properti di Bali.” Zio memberikan informasi itu kepada Viona setelah ia melepaskan sabuk pengamannya. Zio sengaja memiringkan posisi duduknya agar dapat melihat penampilan Viona lebih lekat.

 

Viona melipat kedua tangan di depan dada, mendengarkan dengan seksama penjelasan pria itu walaupun air mukanya tidak bisa menyembunyikan perasaan sangsinya.

 

Zio mengurus bisnis properti? Yang benar saja! Itu pasti hanya akal-akalnya. Tentu saja dia ke sana untuk menghamburkan uang milik keluarganya. 

 

“Aku tidak suka penampilanmu yang sederhana seperti ini. Keluargaku menyukai penampilan wanita yang elegan, seperti Alinka contohnya.” Zio mencibir, tatapannya jelas sekali mencemooh tampilan Viona.

 

Alinka adalah salah satu teman kerja Viona di kantor. Beberapa orang yang dekat dengan Viona sudah mengenal Zio.

 

“Jadi sekarang kamu mencampuri soal penampilanku, ya? Ini tidak ada dalam perjanjian kita,” sindir Viona.

 

“Jika menyangkut keluargaku, tentu saja itu akan menjadi urusanku.”

 

Viona mengangkat salah satu tangannya ke udara meminta Zio untuk berhenti memberikan komentar. Baginya, penampilannya malam ini sudah terlihat elegan. Rambut panjang hitam sepunggungnya dikepang belanda. Viona juga mengenakan giwang berbentuk bunga di telinganya untuk menunjang penampilan. Jangan lupa heels setinggi sepuluh cm agar terlihat lebih tinggi.

 

Zio berdecak lagi sambil mengibaskan tangannya ketika Viona hendak buka suara. Zio tidak suka pendapatnya disanggah. “Cepat berikan informasi untukku,” sergahnya dengan cepat.

 

“Aku sedang sibuk dengan pekerjaanku. Itu saja. Tidak ada yang penting.” Viona mengedikkan bahunya ke atas.

 

Zio lantas mengangguk dan bersiap untuk keluar dari mobil. Ia melihat penampilannya sekali lagi lewat rear view mirror.

 

Ketika tangannya mendorong pintu mobil, tangan Viona menghentikan pergerakannya. Zio menoleh ke belakang. Kedua alis hitamnya bertaut. “Apa lagi?” tanyanya tidak sabaran.

 

“Cincin.” Viona mengingatkan.

 

Secepat kilat Zio melihat jemari kirinya dan tersadar hal yang paling penting dari semuanya. Buru-buru ia membuka kotak di bawah dashboard mobilnya dan menemukan apa yang pria itu cari. Zio langsung mendorong benda bulat itu ke jari manisnya.

 

Sempurna sudah penampilan mereka berdua. Zio dan Viona telah siap memasuki restoran. Tidak lupa juga Viona membawa buket bunga mawar besar yang dipesannya tadi khusus untuk tante Mia.

 

Kegugupan Viona bertambah besar ketika ia sudah sampai di pelataran restoran mewah tersebut. Seorang pramusaji dengan pakaian rapi menghampiri mereka. Zio menyebut nama keluarganya dan seketika pramusaji itu mengantarkan mereka ke meja yang telah dipesan.

 

Viona sangat takjub dengan desain restoran ini. Lampu-lampu kristal digantung di langit-langit yang cahayanya menyinari semua sudut restoran. Masing-masing meja juga ditata sedemikian rupa hingga jarak antar meja terlihat sangat teratur. Gelas berkaki telah berada di atas meja lengkap dengan botol wine. Tidak lupa dengan sendok, piring dan garpu. Beberapa meja pengunjung dilengkapi dengan lilin di atasnya. Mungkin mereka memilih tema candle light dinner yang romantis.

 

Viona langsung melingkarkan tangannya lengan Zio dengan mesra saat jarak mereka dengan meja keluarga Zio telah dekat. Seolah tahu dengan kode tersebut, Zio mengamit jemari Viona.

 

“Maaf ya, kami terlambat,” ujar Zio kepada seluruh keluarganya disertai dengan senyumannya yang lebar. Tidak lupa juga ia menggeser kursi ke belakang dan mempersilahkan Viona untuk duduk.

 

“Nggak papa, pasti macet di jalan, iya, kan?” tebak Mahendra sambil terkekeh.

 

“Oh iya … ini buket untuk Tante. Semoga Tante suka.” Viona yang sudah duduk kembali menegakkan tubuhnya dan berjalan menuju tempat duduk Mia yang bersebrangan dengannya demi menyerahkan buket tersebut.

 

Perut Viona mendadak mulas saat Mia belum juga menerima buket dari tangannya dan memilih mendikte penampilan Viona dari atas hingga bawah. Ia tahu kalau wanita di depannya itu tidak pernah setuju Zio bertunangan dengannya. Dari sorot matanyaa, Viona sudah bisa menilai kalau Mia menganggap Viona tidak pantas bersanding dengan putra semata wayangnya.  

 

Sudut bibir Mia tertarik ke atas saat melihat baju yang ia kenakan. Viona yakin kalau Mia mengenali pakaian itu. Kalau saja Mahendra tidak ikut malam ini, wanita itu pasti akan mencercanya habis-habisan.  

 

“Terima kasih, ya, Sayang. Bunganya cantik sekali.” Pada akhirnya Mia menerima buket tersebut dan mencium bunga itu sekilas. Senyum lebar yang terkesan dibuat-buat itu terlihat jelas. Menghindari pertanyaan lebih lanjut, Viona memilih kembali ke tempatnya dengan napas lega karena Mia tidak berkata apa-apa tentang penampilannya.

 

“Apa kabar kamu, Sayang? Kakek rindu sekali denganmu.” Mahendra—pria paruh baya berumur 65 tahun bertanya dengan suara hangat disertai dengan senyuman yang memperlihatkan kerutan di ujung matanya. Meskipun usia telah senja, kharisma dan wibawanya masih saja terpancar.

 

“Baik Kek. Maaf, Viona nggak bisa sering main ke rumah.” Viona mengulum senyum dengan tulus. Di antara mereka berempat hanya Mahendra yang benar-benar menyayangi Viona seperti cucu sendiri.

 

Mahendra tertawa sembari mengibas tangan di udara. “Jangan terlalu dipikirkan, Kakek tahu kamu sibuk bekerja. Bagaimana dengan keluargamu? Bulan depan kita harus makan malam dengan formasi lengkap, ya.”

 

Viona menjawab tentang keadaan keluarganya yang sehat disertai dengan anggukan kepala singkat menyetujui usul Mahendra itu. Percakapan terhenti sejenak saat dua orang pelayan membawakan makanan yang telah dipesan. Steak yang asapnya masih mengepul tersaji di depan Viona. Daging panggang itu terlihat sangat lezat. Dari penampilannya saja ia sudah bisa mengatakan kalau daging tersebut akan lembut dan empuk saat bertemu dengan giginya nanti.

 

Semua orang makan dalam diam. Viona sudah hapal aturan dalam keluarga ini. Berbeda sekali dengan keluarganya yang ketika makan bersama dimanfaatkan untuk sesekali buka suara.

 

“Bagaimana rencana kalian ke depannya?” tanya Mahendra ketika semua orang sudah selesai menyantap hidangan utama. Makanan penutup akan datang sepuluh menit lagi.

 

“Maksud Kakek menikah?” ujar Zio untuk meyakinkan.

 

“Tentu saja itu yang ingin Kakek kamu tanyakan, Zio. Makan malam ini memang bertujuan untuk itu.” Hartono—papa Zio buka suara sembari melihat ke arah Zio dan Viona yang memang sengaja duduk bersebelahan.  “Kalian sudah bertunangan cukup lama.” Sambungnya lagi.

 

Zio tertawa kencang hingga kedua bahunya bergetar. “Oh ayolah, Kek! Kami belum memikirkan hal itu untuk saat ini. Viona masih sibuk dengan pekerjaannya. Dia juga ingin sekolah S2 lagi. Iyakan, Sayang?” Tangan Zio yang bebas menyentuh tangan Viona yang berada di atas meja. Ibu jari pria itu mengelus lembut kulitnya . Senyum Zio melebar hingga menunjukkan deretan giginya yang putih. Jangan lupa pancaran matanya yang terlihat sangat mendamba dan juga mencintai Viona.

 

Dalam hati, Viona ingin muntah saat ini juga. Zio sudah sukses memainkan peran sebagai seorang pria yang begitu menyayangi pasangannya. Kalau ada open casting, Zio pasti lolos dan menjadi peran utama. Wajahnya sangat mendukung untuk itu.

 

Tidak ingin kalah dengan pria itu, Viona juga akan menunjukkan kemampuannya. “Betul kata Zio, Kek. Akhir-akhir ini Zio juga masih sibuk dengan bisnis propertinya di Bali yang baru dijalaninya. Bisni itu membutuhkan perhatian lebih. Kami minta waktu lebih banyak untuk memikirkan pernikahan.” Viona mengeratkan genggaman Zio serta membalas senyum pria itu dengan senyum simpul. Melalui sudut matanya ia bisa melihat ketiga orang tersebut memandangi pertunjukan mereka.

 

Mahendra berdeham singkat untuk mencuri atensi. “Baiklah kalau begitu, tapi Kakek harap jangan lama-lama. Kami semua sudah tidak sabar untuk menantikan calon penerus.”

 

Zio dan Viona kompak memberikan senyuman dan anggukan kepala sebagai jawaban.

 

***

Viona menelisik penampilannya lewat kaca kamar mandi yang lebar sambil menyapukan kembali pewarna bibir di bibirnya. Setelah dirasa pas, ia lantas kembali ke meja makan. Baru beberapa langkah keluar dari kamar mandi, ia dikejutkan dengan kehadiran Zio yang bersandar di dinding sembari merokok. Pria itu pasti menunggunya.

 

“Ngapain kamu di sini?” tanya Viona penasaran.

 

“Hanya ingin berlaku sebagai tunangan yang baik.” Pria itu mengedikkan bahunya ke atas. “Kamu terlalu lama berada di toilet tadi. Daripada Kakek yang memintaku untuk mengecek keberadaanmu, lebih baik aku berinisiatif duluan. Ya … hitung-hitung mencari muka di depannya.”

 

Jawaban itu tentu saja membuat Viona memutar bola matanya bosan. Ia sudah paham kalau semua yang Zio lakukan terhadapnya pasti memiliki maksud di balik itu. Tujuan utamanya adalah menjadi cucu yang baik dan meluluhkan hati Mahendra.

 

“Aku rasa sandiwara kita untuk kesekian kalinya berhasil.” Zio berujar kemudian. Matanya menatap awas ke sekeliling. Tidak lupa juga ia mencari titik-titik CCTV yang terpasang di sekitar mereka, jangan sampai gerak-gerik mereka terekam oleh kamera.

 

“Yah … aku sudah mampu menyaingi Jefri Nichol.” Pria itu lantas tertawa lagi. Tawanya sangat keras hingga membuat bahu pria itu bergetar.

 

Viona hanya menggelengkan kepala. Zio dan tingkat percaya dirinya yang tinggi memang sudah bukan hal baru lagi.

 

Ia menatap sekali lagi cincin keperakan yang melingkar di jari manisnya. Cincin tunangan yang hanya ia pakai ketika bertemu dengan keluarga Zio dan jika ia berada di rumah dengan maksud untuk mengelabui mereka. Selebihnya tidak pernah ia gunakan. Jika ada orang lain yang bertanya, ia akan membuat alasan sedemikian rupa. Pun sama halnya dengan Zio.

 

Di depan semua anggota keluarga, Zio dan Viona akan menjelma menjadi sepasang kekasih yang saling mencintai. Namun, di balik punggung mereka, Zio dan Viona kembali menjadi dua orang asing yang tidak akan mencampuri urusan pribadi masing-masing. 

 

“Siap untuk pertunjukan berikutnya?” Zio membuang puntung rokok yang telah terbakar setengah kemudian mematikan apinya. Sudah cukup waktu istirahatnya, saatnya mereka kembali ke meja makan.

 

“Aku membenci ini, tapi tidak ada hal lain yang bisa kulakukan, kan?” sahut Viona. Ia menyamakan langkahnya dengan Zio yang telah pergi lebih dahulu. Jika Zio melakukan ini untuk mencapai tujuannya, maka Viona juga sama.

 

Tidak ada yang gratis di dunia ini. Semuanya memiliki harga sekalipun harus dibayar dengan sebuah sandiwara.   

Terpopuler

Comments

dearifa✅

dearifa✅

bagus kak cerita ya, saran ya kak , kalau kakak mau bagaikan cerita kakak ke gc , jangan salin tautan kak, coba deh lihat yg kakak kirim link ke gc , nggak bisa dibuka

2023-06-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!