”Darimana saja kamu Nak?” tanya Medina melihat Malvin turun dari sepeda onthel miliknya.
”Main dong Ma, kemana lagi?” sahut Malvin.
”Astagfirullah katanya mau lulus dengan nilai terbaik kok malah kebanyakan main.”
”Gak apa Ma, kan gak tiap hari. Malvin sedang pengin cari inspirasi saja, capek belajar mulu juga,” kilah Malvin.
”Ma, apa Malvin boleh tanya sesuatu sama mama,” ucap Malvin perlahan mendekati Medina yang sedang santai duduk di ruang tengah.
”Apa itu?” tanya Medina.
”Mm ... ini Ma, apakah selama ini mama kesepian?”
Medina membulatkan kedua matanya mendengar perkataan Malvin.
”Apa maksudmu Malvin bertanya begitu?”
Malvin menggaruk kepala belakangnya tersenyum malu karena Medina menatapnya penuh tanya.
”Siapa yang mengajarimu berkata seperti itu pada mama?” desak medina.
”Itu Ma ... mm, yang sering Malvin lihat itu kan suami istri selalu bersama. Jika mama tidak bersama dengan papa bukankah itu tandanya mama sendiri dalam kesendirian itu bukankah tercipta kesepian?”
"Astaghfirullah darimana kamu belajar rangkaian kalimat itu?” selidik Medina.
”Ayo ngaku darimana kamu belajar?” desak Medina.
”Malvin belajar dari drakor yang suka mama tonton,” ucap Malvin.
”Ya ampun, kapan kau menontonnya?”
”Ma, Malvin itu bukan anak kecil lagi sudahlah jika mama gak mau jawab pertanyaan Malvin juga gak apa!”
Medina lupa jika putranya sudah tumbuh menjadi seorang remaja tanggung yang pastinya akan banyak hal yang dia ingin ketahui.
Malvin pergi meninggalkan Medina dengan tanda tanya besar di hatinya karena dia belum mendapat jawaban atas pertanyaannya.
”Jika memang mama kesepian pastinya dia akan mencari penggantinya papa, tapi kenapa mama tidak melakukannya bukankah mereka berpisah sudah cukup lama,” gumam Malvin dia pun mulai menghitung berapa lama kedua orang tuanya bercerai meskipun Daffa papanya masih kerap datang ke rumah untuk sekedar memberikan jatah uang jajan untuknya.
Orang tuanya memang sering bertemu tapi tatapan mereka sudah berbeda, Medina seakan membenci Daffa sedangkan Daffa seakan merindukan masa lalunya dimana mereka sempat hidup bahagia.
”Kepalaku jadi pusing!” keluh Malvin.
”Lalu kalau aku mengijinkan Om Kamil mendekati mama apakah mama akan bahagia nantinya? Astaghfirullah kenapa jadi Malvin yang mikirin mereka berdua, belum tentu juga mama menyukainya kan kemarin mama bilang jika dia butuh sayuran jadi Om Kamil sering ke sini begitu juga sebaliknya Om Kamil kan butuh duit, jadi hubungan simbiosis mutualisme begitu kali ya,” ujar Malvin yang masih saja berbicara sendiri di dalam kamarnya.
Di ruang tengah Medina terus berpikir darimana dia bisa belajar kalimat seperti itu, karena Medina pikir kalimat seperti itu hanya keluar dari orang yang sudah berpikiran dewasa sedangkan Malvin dia anak kemarin sore yang dia lahiran akibat kesalahannya bersama dengan Daffa.
***
”Hallo ada apa?”
”Astaga Kamil kenapa suaramu terdengar seperti sedang sakit begitu apakah kau beneran lagi sakit huh!”
”Iya, aku sedang tidak bersemangat.”
”Kenapa ceritakan? Apakah kau ditolak sama Medina?”
Kamil langsung bangkit begitu nama Medina disebut oleh Daren dan mengganti panggilan menjadi video call.
”Darimana kau tahu tentang dia?”
Daren tertawa kecil begitu melihat wajah Kamil yang baru saja bangun, dia terlihat begitu berantakan.
”Dari Raditya, dia menceritakan semuanya padaku.”
”Cari mati ternyata dia!”
”Hei bos jangan marah dulu, itu semua terjadi karena aku mendesaknya untuk bicara jujur padaku jika tidak mana mungkin dia akan terbuka.”
”Ck! Sangat menyebalkan sekali. Kau tidak boleh mengatakan hal apapun pada orang lain di sana cukup kalian berdua yang tahu mengerti!”
”Baiklah aku pasti menjaga rahasiamu itu jadi kau tak perlu khawatir akan hal itu.”
”Satu hal lagi Daren, tolong kau awasi mamaku jika ada apa-apa segera hubungi aku mengerti!”
Bip.
Kamil segera mematikan sambungan teleponnya begitu ada orang di depan rumah kontrakannya. ”Siapa lagi pagi-pagi begini udah mengganggu orang tidur saja.”
Dengan malas Kamil membuka pintunya, ”Astaga sepagi ini kau datang ke sini?”
”Pagi bagaimana lihat jam yang menempel di dinding itu!” tunjuk Raditya.
”Jadi aku udah tertidur tiga jam?” lirih Kamil.
”Memangnya kemana Baron asistenmu itu?”
”Dia jualan, kepalaku mendadak pusing karena mendapat penolakan dari Malvin anaknya Medina kemarin siang.”
”Kau serius?”
”Iya tentu saja, anak itu tidak bisa ditaklukan dengan mudah mungkin karena pengalamannya dengan papanya yang dulu pernah dikecewakan sehingga sulit buat dia menerima orang baru dalam hidupnya.”
”Sabar, masih banyak wanita kok di luar sana tidak harus Medina kan?”
"Gak tahu aku udah kepincut sama dia dan gak mau yang lain.”
"Ya terserah kamu sajalah, yang penting anaknya dah kasih respon jadi sekarang perjuanganmu double karena harus menaklukan hati anaknya juga. Kalau aku pribadi sih ogah!”
”Hem, jadi kamu sedang mengompori diriku buat menjauh darinya begitukah?”
”Tidak sama sekali, aku justru kasihan sama kamu Kamil. Kau lihat dirimu sendiri, kamu itu tampan mapan mana ada sih gadis yang bakal nolak kamu, bodoh itu namanya. Medina itu wanita biasa kenapa kamu justru tertarik dengannya padahal banyak yang lebih baik dari dia,” seru Raditya.
”Gak tahu juga soal hati susah ya, biarpun ada yang lebih mentereng dari dia kalau aku gak suka ya gak suka!”
”Om Kamil di rumah gak ya!” teriak Malvin.
Kamil bangkit dan langsung menuju ke pintu menyambut kedatangan anak itu.
”Ada apa?” tanya Kamil.
”Main bola lagi yuk nanti sore!” ajak Malvin.
”Om sedang sibuk, nanti sore mau keluar kota.”
Wajah Malvin nampak sedih mendapat penolakan dari Kamil dan pria itu memang sengaja menghindar dari anak itu dia ingin Malvin bergantung padanya bukan tanpa alasan jika Kamil bisa dekat dengannya bukankah jalan akses menuju ke hati Medina akan semakin mudah.
”Kapan pulangnya Om?”
Kamil mengedikkan bahunya, ”Tidak tahu pastinya, yang jelas nanti sore gak di rumah.”
”Yah kalau gitu gak asyik dong,” ucap Malvin.
”Kan masih banyak teman-temanmu yang lain, ajak saja mereka semua biar ramai,” sambar Raditya.
”Tapi tetap saja gak sama kalau ada Om Kamil jadi tambah seru,” timpal Malvin.
”Ya bagaimana lagi, kapan-kapan saja ya,” seru Kamil.
Suara deru motor terdengar, Baron masuk ke halaman rumah.
”Bos.”
Baron menatap ke arah Raditya dan Malvin.
”Loh kok kamu ada di sini?”
”Memangnya kenapa Om?” Malvin balik tanya.
”Itu tadi ada keributan di depan rumahmu, kirain kamu ada di rumah,” jelas Baron.
”Maksud Om?”
”Iya mamamu itu tadi didatangi sama mama tirimu dan juga papamu kalau gak salah dengar namanya Daffa benar?”
”Sebaiknya kamu cepat pulang, Om antar ya.”
Malvin mengangguk, dengan cepat Kamil menyalakan motornya dan langsung menuju rumah Medina. Sepanjang perjalanan baik Kamil maupun Malvin terlihat tegang mereka tidak bisa tenang.
”Ma ... mama,” teriak Malvin.
Malvin memeluk Medina yang sedang terdiam. ”Maafin Malvin Ma, karena tidak bisa melindungi mama,” lirih Malvin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Reny Saputro
semangat
2023-05-05
3