Tidak Butuh Cinta

Kai menghentikan mobil mewahnya disebuah pedesaan kecil yang terletak disebelah utara kota Busan. Perjalanan panjang yang cukup melelahkan membuat kepalanya terasa pening.

Didepan sebuah bangunan sederhana yang mungkin akan Ia tempati sampai beberapa hari ke depan, terlihat puluhan orang yang merupakan penduduk asli desa itu berjajar menyambut kedatangannya.

Kai membuka pintu disamping kirinya dan lekas turun dari mobil mewahnya. "Halo." Sapa seorang gadis kecil yang langsung menghampiri Kai. Laki-laki berkulit tan itu berlutut dan mensejajarkan tubuhnya dengan gadis tersebut.

"Siapa namamu nak?" Tanya Kai sambil mengusap kepala gadis kecil itu.

"Naomi, itu namaku." Jawab gadis kecil itu yang ternyata bernama Naomi. Naomi mengeluarkan setangkai mawar merah yang sedari tadi tersimpan dibalik punggungnya dan menyerahkan bunga itu pada Kai.

"Nama yang sangat cantik."

"Benarkah kau Dokter dari Seoul itu? Jika betul, terimalah bunga ini. Anggap saja jika bunga ini adalah tanda persahabatan kita." Kai tersenyum lebar, Ia mengambil bunga itu dari tangan Naomi dan menerimanya dengan senang hati.

"Terimakasih, Naomi. Kakak Dokter akan menyimpan bunga ini."

Kai menggenggam tangan mungil Naomi, keduanya berjalan beriringan menghampiri para warga yang sejak tadi telah menunggu kedatangannya.

Kai adalah Dokter umum yang ditugaskan oleh rumah sakit pusat untuk mengatasi wabah penyakit menular yang melanda desa kecil itu.

Sebenarnya bukan Kai yang awalnya ditugaskan untuk menjadi Dokter suka relawan di sana, Dokter senior bermarga Lee-lah yang seharusnya bertugas dan menjadi suka relawan di desa itu. Namun karna alasan kesehatan, akhirnya rumah sakit pusat menunjuk Kai. Meskipun awalnya kurang yakin, namun keteguhan hatinya menghantarkan Kai sampai di sana.

"Selamat datang Dokter, bagaimana perjalanan Anda?"

Seorang laki-laki paruh baya menyapa Kai dengan segala keramahan yang Ia miliki. Laki-laki itu tersenyum ramah membuat Kai ikut tersenyum.

"Cukup melelahkan. Namun rasa lelah itu terbayar setelah bertemu dengan kalian semua," Jawab Kai dengan senyum yang sama. Menatap satu persatu semua warga yang ada disisi kiri dan kanannya.

"Pasti kau lelah Nak, masuklah. Kami para warga telah menyiapkan beberapa makanan kecil. Itu jika kau mau mencicipinya."

Kai mengangguk sopan lalu memasuki rumah yang terkesan sederhana namun terasa nyaman. Dokter muda itu memperhatikan seisi rumah itu dengan seksama, tempatnya benar-benar sangat nyaman dan jauh dari kebisingan kota. Tanpa ada polusi yang mencemari udara dan selalu menyesakkan dada. Kai benar-benar menyukai tempat itu.

Kai berjalan menuju jendela besar yang berada disamping kanannya lalu membukanya lebar-lebar. Udara segar menyambutnya, menyapa kai dengan menyentuh lembut kulit wajahnya. Selama di Seoul, Kai tidak pernah menemukan udara sesegar ini. Udaranya terlalu banyak tercemar oleh polusi yang berasal dari asap kendaraan yang selalu memadati jalanan pada setiap harinya.

"Dokter, kami permisi dulu, jika Anda membutuhkan sesuatu jangan sungkan-sungkan untuk memanggil salah satu dari kami." Ucap seorang wanita yang kemudian dibalas anggukan oleh Kai.

"Tentu Nyonya."

Satu persatu warga mulai meninggalkan rumah sederhana itu, dan hanya meninggalkan Kai saja sendiri di sana. Kai kembali mengalihkan perhatiannya, kembali memfokuskan perhatiannya pada pemandangan yang terpampang didepan matanya.

"Seandainya kau berada disini, pasti rasanya akan berbeda. Sayang kau telah memutuskan tali pertunangan kita, aku merindukanmu."

Kai menutup rapat-rapat kedua matanya. Ia kembali teringat pada gadisnya, lebih tepatnya mantan tunangannya. Gadis itu memutuskan pertunangannya dengan Kai setelah hampir 1 tahun mereka bersama, apa alasannya?

Kai sendiri tidak mengetahuinya. Dan gadis itu kini menjauh darinya, memutuskan semua hubungannya dengan laki-laki Kim itu. Meskipun berat kehilangan gadis yang sangat Ia cintai, namun Kai tetap tegar dan menerimanya dengan lapang. Bahkan Kai tidak menyimpan dendam sama sekali, Ia masih berharap jika gadisnya akan kembali kedalam pelukannya lagi.

.

.

"Aaahh ,, sial. Kenapa kepalaku pusing sekali?" Keluh Steven sambil memegangi kepalanya yang berdenyut dan rasanya ingin pecah.

Efek benturan dengan aspal semalam membuat kepala Steven terasa pusing dan berat, kasa selebar 3 jari orang dewasa tampak melekat, membalut pelipis kirinya dengan bercak noda berwarna merah di permukaan kasanya. Menandakan jika luka itu masih sangat segar.

Masih sambil memegangi kepalanya yang terus berdenyut, Steven menyibakkan selimut yang Ia gunakan sebelumnya dan turun dari tempat tidurnya yang nyaman. Kedua kakinya yang tidak beralas bersentuhan dengan lantai kamarnya yang dingin.

Tubuh kekarnya hanya terbalut jeans hitam, sedangkan tubuh bagian atasnya Ia biarkan tellanjang tanpa ada 1 pun benang yang menutupinya. Untung saja di kamar itu hanya ada Steven seorang, jika ada gadis yang tiba-tiba masuk pasti Ia akan terkena serangan Jantung dadakan karena melihat Steven yang sedang tellanjang dada.

Suara decitan pada pintu di buka mengalihkan perhatiannya. Matanya yang setajam elang dan sedingin kutub utara menatap datar sosok jelita yang memasuki kamarnya "Steven, aku dengar kau sakit." Ucap gadis itu ramah.

Kedua mata Karina terbelalak sempurna dengan wajah bersemu merah melihat Steven yang sedang tellanjang dada. Karina menundukkan wajahnya, sudut bibirnya menyungging senyum tipis.

"Karina Song, Apa yang kau lakukan di kamarku?" Tanya Steven yang terdengar kurang bersahabat. Dari sikap dan ekspresinya, Steven tampak biasa saja meskipun Karina melihat Ia dalam keadaan tellanjang dada.

"Aku yang menghubunginya dan memberi taunya jika kau sedang sakit." Sahut seseorang dari arah pintu.

Sontak saja, mereka berdua menoleh dan mengalihkan pandangannya. Menoleh pada sumber suara, terlihat Jia melangkahkan kakinya. Berjalan menghampiri mereka berdua. Jia menggeleng melihat Steven tetep tidak memakai bajunya meskipun ada seorang gadis didalam kamarnya

"Astaga, Steve. Kenapa kau tetap tidak memakai pakaianmu seperti ini? Pakai kembali bajumu. Lihatlah kau membuat Karina malu." Ucap Jia sambil menggelengkan kepalanya.

Sementara itu, tatapan kurang bersahabat Steven berikan pada Jia. Seakan tuli, Steven menghiraukan nasehat dari kakaknya. Dan tetap enggan untuk memakai kembali bajunya.

"Memangnya siapa yang mengijinkannya? Bahkan aku tidak menyuruhmu melakukan itu. Aku tidak suka ada orang asing di kamarku!!"

"Ada yang salah?" Tanya Jia menyela ucapan Steven.

Tidak ada sahutan, Steven menyikapi ucapan Jia dengan tatapan datar.

"Ayolah, sampai kapan kau akan bersikap seperti ini? Sampai kapan kau akan membiarkan dirimu sendiri dalam kesepian dan kekosongan? Kau membutuhkan seseorang untuk mengisi hatimu yang hampa. Karina, adalah gadis yang baik dan Jie-Jie sangat menyukainya, jadi Jie-Jie rasa tidak ada salahnya jika kau mencobanya." Kata Jia sembari tersenyum tulus.

Apa yang kau tau tentang diriku, Jie? Siapa bilang jika aku selalu kesepian? Aku tidak pernah merasa kosong apalagi kesepian. Aku tidak butuh cinta, aku tidak butuh kehadiran mahluk yang disebut wanita. Karena mereka hanya merepotkan saja."

BLAMMM ... !!! ...

Jia menutup matanya, nyaris saja Ia terkena serangan jantung dadakan karena ulah Steven. Adiknya itu membanting pintu kamar mandi dengan kasar hingga menimbulkan dentuman suara yang sangat keras. Sementara itu, Karina menunduk sedih setelah mendengar ucapan Steven yang sangat menyakitkan.

Ia tidak pernah mengira jika Steven akan mengatakan kalimat sedingin itu padanya."Dia memang tidak pernah menyukaiku, tidak akan pernah." Karina tidak dapat membendung kesedihannya.

Baru kali ini Ia ditolak oleh yang namanya pemuda, karena sejak SMP sampai Ia masuk ke dalam perguruan tinggi. Sekali pun tidak ada yang bisa menolak pesona dan kecantikannya, banyak pria yang bertekuk lutut padanya dan berlomba untuk mendapatkan hatinya. Termasuk para sahabat Steven.

"Kau baik-baik saja?" Jia menyentuh bahu Karina sambil menatapnya sendu. Gadis itu mendongak dan menggeleng.

"Aku tidak apa-apa, Kak. Sebaiknya aku pulang sekarang." Ucap Karina dan dibalas anggukan oleh Jia.

"Hati-hati, Karina. Maaf, tidak bisa mengantarkan mu." Kata Jia penuh penyesalan.

"Tidak apa-apa, Kak. Aku bisa pulang sendiri."

Jia menatap sendu punggung Karina yang semakin menjauh sampai sosoknya menghilang dibalik pintu kamar Steven. Dari pintu itu, Jia mengalihkan pandangannya. Menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat itu.

"Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini, Steve? Jie-Jie, sangat sedih melihatmu seperti ini, kau tidak seperti adik kecil Jie-Jie yang dulu. Jie-Jie, merindukanmu yang dulu."

Dengan perasaan sedih, Jia melenggang meninggalkan kamar Steven.

.

.

Bersambung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!