Luna
Sejak tadi ponselku terus bergetar, sengaja aku tak angkat. Aku masih mendengarkan dosenku yang berkepala plontos di depan sedang menyampaikan materi.
Ada panggilan dari Noah sebanyak dua kali dan Papa puluhan kali. Huft ... aku menghela nafas dalam. Aku sudah tahu apa yang akan mereka bicarakan.
Noah pasti mau membahas kejadian tadi di kostan, sementara Papa tentu saja mau mengomeliku karena membuat keputusan untuk kost tanpa memberitahunya. Mau kuliah tenang saja sulit sekali. Ah sudahlah, nanti saja aku angkat saat selesai kuliah. Kuubah mode getar ponselku menjadi mode silent. Aku mau tenang, lebih baik menjauh saja.
Rupanya hari ini aku benar-benar sibuk. Judul skripsiku ditolak, aku harus revisi. Aku putuskan mengerjakan semuanya di perpustakaan. Tempat yang tenang dan jauh dari banyak orang.
Kubuka laptop yang kubawa dan mulai memikirkan judul yang sesuai. Merevisi beberapa bagian yang sempat dicoret oleh dosenku dan menggantinya dengan tulisan baru. Ah, macam penulis saja aku ini, revisi dan revisi. Dosenku bak editor yang menolak naskahku tanpa tahu effort yang kulakukan sangat besar.
Perutku yang berkerucuk minta diisi yang menjadi pengingatku kalau aku belum makan siang. Seharian sibuk sampai lupa makan. Sedihnya, tak ada yang mengingatkanku untuk makan.
Kutatap layar ponselku, ada puluhan panggilan tak terjawab. Ada beberapa pesan, salah satunya adalah dari Mama. Mama menanyakan apakah aku sudah sampai kostan? Rupanya pesan yang beliau kirimkan sejak tadi. Mama tak mengirimkan pesan lagi, pasti karena sibuk dengan pekerjaannya.
Kuperiksa pesan lain, Noah bertanya dimana posisi aku sekarang. Pesan terakhir dari Papa yang memintaku meneleponnya balik. Ah, nanti saja saat di kostan. Aku tahu kalau aku akan diomeli habis-habisan.
Aku membeli makanan di warteg yang ada dekat kampus lalu aku bawa ke kostan. Aku bukan terlahir dari keluarga kaya raya. Aku harus irit, apalagi sekarang aku kost. Kalau aku boros, bagaimana hidupku selanjutnya?
Lima menit aku berjalan kaki, sampailah aku di rumah baruku. Kostan dua tingkat dengan banyak kamar, aku sendiri tak tahu persis ada berapa kamar di kostan ini. Aku naiki anak tangga menuju lantai dua. Betapa terkejutnya aku saat mendapati Ariel dan Noah sedang mengobrol di teras depan kamar kostku. Sejak kapan Ariel begitu akrab dengan Noah?
"Luna, kamu akhirnya pulang juga!" Noah berdiri dan menyambut kedatanganku dengan senyum di wajahnya.
Aku balas dengan tersenyum datar. Aku lelah hari ini. "Iya. Kamu sudah lama ... mengobrol di luar kamarku bersama Ariel?"
"Belum lama kok, sekitar setengah jam," jawab Ariel sambil tersenyum.
Setengah jam kok belum lama? Sepuluh menit baru belum lama. Sudahlah, aku tak mau ribut. Ariel sahabatku, tak akan mungkin ia akan mengkhianatiku.
Aku membuka pintu kamar kostku dan membiarkannya terbuka. "Kalian mau mengobrol di luar atau mau masuk?" tanyaku berbasa-basi.
"Aku mau makan siang." Kuangkat bungkusan nasi warteg sebagai bukti kalau aku tidak berbohong. "Mau makan bareng?" tawarku yang merasa tak enak hati.
"Aku balik ke kamarku saja, Lun. Nanti malam kita ngobrol ya!" Ariel pamit dan meninggalkanku berdua dengan Noah.
Noah masuk ke kamarku, sengaja kubuka pintu kamar agar aku bisa menjaga diriku. Jangan sampai kejadian tadi terulang kembali.
"Kamu udah makan belum?" Aku menaruh lauk di atas piring yang aku pinjam dari dapur. Akan kukembalikan selesai makan. "Aku beli agak banyak nih. Kalau kamu mau nanti kita makan berdua," tawarku.
"Belum. Aku sejak tadi menunggu kamu pulang. Untung saja ada teman kamu, Ariel, aku jadi ada teman mengobrol."
Kutaruh makanan yang kubeli di lantai lalu duduk di samping Noah. Kulirik dari ujung mataku, ia terus memperhatikan gerak-gerikku dari tadi.
"Aku sibuk. Judul skripsiku ditolak dosen pembimbing. Aku mencari tempat sepi untuk mendapat ilham. Kalian membicarakan apa saja?" Kunyalakan kipas angin kecil yang ada di kamarku. Salah satu fasilitas yang diberikan untuk kami para penyewa kamar kost.
"Pantas, kalau kamu sibuk sendiri pasti kamu silent deh ponselnya. Hmm ... cuma bicara tentang kegiatan senat. Rupanya Ariel punya banyak ide-ide brilian yang bisa memajukan kita," puji Noah.
"Sejak kapan Ariel tertarik dengan kegiatan senat? Aneh. Setahu aku, dia lebih peduli dengan gosip artis dibanding kegiatan senat." Aku menawarkan Noah mau makan pakai menu apa saja. "Mau pakai apa?"
"Apa saja. Suapin ya!" Noah tersenyum manja padaku. "Kangen disuapin kamu."
Aku tersenyum melihat sikap manjanya. "Kalau aku suapin, makannya harus banyak ya! Enggak boleh pilih-pilih makanan!"
Noah tertawa mendengar perkataanku. "Iya, Ma."
Kami pun tertawa bersama. Nasi dan lauk yang aku beli di warteg pun kami makan berdua. Sambil membicarakan kegiatan senat yang sedang Noah kerjakan, kami menghabiskan makanan sepiring berdua. Untung saja aku membeli lebih banyak, niatnya satu lagi untuk malam. Tak apa, aku akan beli lagi nanti sekalian membeli piring dan gelas. Boros kalau aku terus membeli air mineral botol. Lebih baik membeli kemasan galon, bisa berhari-hari.
"Kami mau mengadakan demo ke gedung MPR DPR. Kenaikan harga BBM terasa mencekik rakyat miskin. Kalau bukan kita para mahasiswa yang turun ke jalan, siapa lagi? Kami tak akan pulang sebelum tuntutan kami terpenuhi!" kata Noah dengan penuh semangat.
"Kalian mau buat tenda di depan gedung MPR DPR? Piknik gitu?"
"Ya ... tidak seperti itu, Sayang. Tuntutan kami para mahasiswa pasti akan dipenuhi. Kami yakin itu. Suara mahasiswa adalah suara rakyat!"
"Kalau ujung-ujungnya yang didengarkan adalah suara kalian para mahasiswa, untuk apa setiap hari para anggota dewan rapat sampai akhirnya memutuskan suatu keputusan? Toh kenaikan harga BBM masih wajar. Kamu lihat saja berita di TV, harga minyak dunia sedang naik. Wajar kalau pemerintah menaikkan harga BBM agar APBN kita aman. Terlalu banyak subsidi malah membuat negara kita merugi," kataku tak setuju.
"Kamu tuh lebih pro ke pemerintah, bukan ke rakyat kecil. Ariel saja saat aku cerita kalau kita akan ikut demo, dengan semangat menawarkan dirinya. Itu baru semangat mahasiswa sejati. Mau berjuang demi kepentingan rakyat!" ketus Noah.
Ariel? Kenapa aku harus dibandingkan dengan Ariel? Sejak kapan anak itu tertarik dengan demo? Bukankah ia takut kalau wajahnya terkena sinar matahari langsung?
"Maaf. Aku memang tidak mengerti tentang dunia mahasiswa," kataku mengalah. Tak perlu berdebat, lebih baik mengalah saja. Kalau Noah marah padaku, siapa lagi yang akan menemaniku?
Aku menaruh piring bekas kami makan di bawah. Setelah mencuci dan menaruhnya di tempat semula, aku kembali ke kamar. Noah nampak sedang tertidur di atas kasur kecil milikku.
Huft ... Bagaimana menyuruhnya pulang ya?
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Patrish
waduuh... ada bau bau tikungan nih...
2024-06-20
0
Dwisur
Ariel itu cewek ya ?
kirain cowok
eeh...lunaaaa sayang,, tuuh mama kamu chat g kamu balas,,ya Allah aku kok jadi yg sedih ya
2023-07-09
1
Nuraini
aku baru ngeh ini ttg Ariel, noah, luna 🤣 apakah akan ada cut tari, maxime bouttier?
2023-06-21
0