Masuk ke dalam mobil, di dalam perjalanan menuju pulang melihat istriku tetap saja diam, ia tak mengeluarkan satu patah kata pun, seperti orang yang sedang tertekan dan banyak pikiran.
"Apa kamu masih memikirkan perkataan ibu?"
Aku mulai memberanikan diri bertanya pada istriku yang terlihat tak tenang.
Sari menatap ke arah wajahku, kedua matanya yang sayu, membuat aku tak tega.
" Bukan perkataan ibu saja mas, tapi Puja!"
Setelah nama Puja disebut, membuat emosiku seketika naik ke ubun ubun.
"Puja lagi Puja lagi, kamu percaya pada perkataan wanita gila itu, dia hanya memancing kita untuk berpisah," tegasku pada Sari, dari dulu aku tak pernah suka pada Puja, ia seperti manusia tak punya rasa malu.
"Sari."
Wanita yang menikah enam bulan bersamaku itu menatap ke arah wajahku, " Kamu dengar perkataan mas, aku tidak mungkin menghianati kamu, aku sudah berjanji dari awal kita menikah, akan tetap setia selamanya sampai ajal menjemput. "
"Lantas Puja hamil anak siapa? Tak mungkin dia bersikukuh mengaku ngaku dan meminta pertanggung jawaban kamu?"
Aku menghembuskan napasku begitu panjang, memijat jidat yang terasa berdenyut.
"Aku tak tahu, Puja hamil anak siapa! Dan lagi, aku tak pernah menyentuhnya. "
Berulang kali aku menjawab perkataan itu, Sari seperti tak percaya padaku.
Kami saling diam, tak bersuara sedikitpun.
Sampai pulang ke rumah.
Sari keluar dari mobil, bibirnya terlihat cemberut, langkah kakinya begitu cepat masuk ke dalam rumah.
Sedangkan aku yang berada di dalam mobil merasa malas ke luar, mengejar Sari yang tak percaya padaku. frustasi yang kurasakan saat ini, setelah cobaan terus menghadang habis habisan. Dimana aku hanya sendiri, mengacak rambut dengan kasar. " Apa yang harus aku lakukan, sekarang aku ada di posisi sedang tidak baik baik saja."
Menatap ke arah kaca mobil, wajahku terlihat kusam, tak ada kata semangat dalam diri, karena rasa lelah menghantui pikiranku, membuat aku sebagai lelaki harus kuat menghadapi masalah ini sendirian.
Istriku sendiri, terlihat ragu dengan kejujuran yang aku katakan, seolah olah aku ini seperti lelaki yang tak tahu diri.
Tring.
Suara ponsel berbunyi.
( Riki, jadi bagaimana kamu mau menikah dengan Puja?)
Pesan dari ibu? Aku dengan rasa kesalku kini menjawab. ( Apa, menikah? Tujuan ibu melakukan semua ini padaku untuk apa bu, apa keuntungannya? Ibu ini bisa tidak mengerti perasaan Riki. Anak ibu sendiri.)
(Ibu ingin kamu bahagia dengan wanita yang lebih pantas.)
Aku terus beristighfar setelah membaca pesan dari ibu, ( Sebegitu bencinya ibu dengan Sari, dan tak suka dengan pernikahan kami.)
(Bukan begitu, seorang ibu ingin yang terbaik untuk anaknya. )
(Ahk, sudahlah bu. Pasti ini akal akalan ibu ya, menyuruh Puja berpura pura hamil.) Aku tak ingin bertele tele, langsung pada intinya saja. Dimana Ibu tak membalas pesanku lagi, entah maunya apa wanita tua ini, bisa bisanya ia mengatakan hal yang tak seharusnya diucapkan seorang ibu.
Aku keluar dari dalam mobil, menyusul istriku yang terlihat cemberut, berusaha mengatur napas untuk tetap tenang.
Melihat jam di dinding, sudah menunjukkan pukul delapan malam. Mencari keberadaan Sari, wanita yang menjadi istriku itu sedang menyiapkan minuman hangat untukku.
Perlahan kupeluk tubuhnya dari belakang, " Sari Love you."
Tiba tiba saja tangan yang aku lingkarkan pada pinggangnya, ia lepaskan begitu saja. " Maaf mas. "
Tidak ada balasan, biasanya setelah mengucap kata Love selalu ada balasan dari bibir tipis milik istriku.
"Sari."
Sari kini menyimpan teh hangat itu di atas meja, " aku tidur dulu mas."
"Sari."
Aku memanggil namanya, tapi wanita yang menjadi istriku itu tak menoleh sedikit ke arahku, ia begitu fokus berjalan.
Duduk di atas kursi, melihat air hangat yang disediakan di atas meja, mendadak terlihat hambar.
Bagaimana aku bisa tahan dengan semua ini, melihat sikap istriku yang dingin, ditambah lagi ibu yang terus memaksaku untuk menikahi Puja.
Aku duduk sendirian, menyandarkan kepala pada telapak tangan. " Begitu runyam masalahku saat ini. Tak ada teman ataupun sosok seorang penasehat, di saat pikiranku kacau karena masalah. "
Aku mencoba menarik napas, bangkit dari tempat duduk, menghampiri istriku di dalam kamar.
Perlahan tangan ini, mulai memegang gagang pintu untuk membukanya, namun terkunci.
Aku mencoba mengetuk pintu, berharap jika Sari mau mendengar perkataanku.
"Sari, ini mas. Boleh mas masuk. "
Hening.
Aku mengira jika istriku akan membukakan pintu untukku, namun sayangnya dia tidak menjawab panggilanku sama sekali.
"Sari, apa kamu tidak mau membukakan pintu untuk suamimu ini. "
"Maafkan aku mas, tolong beri aku waktu sebentar saja untuk menenangkan diri. "
Mendengar jawaban dari Sari, membuat aku berusaha mengerti, " baiklah kalau begitu."
Langkah kaki terasa gontai, aku mulai berjalan ke arah sofa untuk menenangkan diri.
Sampai kedua mata ini merasakan rasa lelah yang tak bisa ditahan lagi.
"Mas, mas. "
Suara lembut istriku kini memanggil sembari mengoyang goyangkan tubuh ini untuk bangun, perlahan kubuka kedua mata, melihat wajah berseri milik istriku ini.
"Sari, ada apa?"
Aku mulai mendudukan tubuh di atas sofa, menatap istriku yang masih berdiri, membuat aku menyuruhnya untuk duduk di sampingku.
"Duduk sini. "
Sari menolak saat aku menyuruhnya untuk duduk, membuat wanita yang menjadi istriku ini menghindar.
"Kenapa?"
Sari menggelengkan kepala, membuat aku mulai meraih tangannya, " Sari, aku ingin kamu duduk di sampingku ayo. Biar kita bicarakan masalah yang kita hadapi saat ini, secara baik baik. "
"Maafkan aku mas, aku sudah lelah. "
Aku terkejut dengan perkataan Sari, " lelah, apa maksud kamu?"
Sari tiba tiba menyekah air matanya yang terus mengalir mengenai kedua pipi, " maaf mas, sepertinya cukup sampai disini saja. "
"Sari, tolong jangan katakan perkataan itu, Please. Jangan menyerah. Aku masih ingin memperbaiki rumah tangga kita, membuktikan jika aku tidak bersalah. "
Sari masih berdiri, ia mempelihatkan betapa dirinya begitu tertekan. Memegang dada dan menangis dihadapanku. " Mas, aku tak sanggup lagi, maafkan aku. Sampai sini saja, tolong ceraikan aku demi kesehatan mentalku."
Aku berdiri, menatap ke arah wajah istriku yang terlihat basah oleh air mata, menarik tangan kanan dan memeluknya begitu erat.
"Jangan katakan itu, aku mohon istriku. Aku sangat mencintai kamu."
Sari mulai melepaskan pelukan dariku, namun aku tak melepaskannya. " Tetap seperti ini, jangan lepaskan. "
Tak terbayang dalam benak ini, Sari menyerah. Membuat air mata berlinang membasahi pipi.
"Mas, tolong lepaskan pelukkanmu ini."
Aku mengabaikan ucapan istriku, dimana ia terus memberontak ingin melepaskan pelukan dariku.
"Tetap seperti ini, aku tak ingin melepaskan begitu saja. Tolong beri aku waktu Sari. "
"Mas."
Apa Sari akan bertahan, atau menyerah, setelah aku terus memohon mohon untuk Sari agar bertahan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
angel
Thor yg logis aj bikin novelnya ..jaman gini msh ad yg gobloknya kebagtan
2023-08-07
0
Izaz Tismaini
jgn buat sari trllu bodoh thor
2023-05-14
1