"What, jangan berkata bodoh kamu Puja, aku tak pernah menyentuh tubuhmu sama sekali." pekikku berbicara apa adanya pada orang orang yang menyaksikan kepalsuan dari ucapan Puja.
Aku mengira jika Puja akan membalas perkataanku, ia malah sengaja menangis terisak isak di depan semua orang.
"Ya Allah, drama apa lagi ini. "
Mengusap kasar wajah, para sahabat kantorku kini menyuruhku untuk menenangkan tangisan Puja.
"Sudahlah Riki, tanggung jawab saja. "
"Iya, walau kamu punya istri. Tetap saja kamu harus mempertanggung jawabkan kesalahan kamu. "
Aku berusaha menghentikan ocehan para sahabatku yang membuat kepalaku benar benar pusing. " Cukup, aku tak pernah menghamili Puja, menyentuh pun tidak pernah."
Anwar sepertinya kesal dengan jawabaku, ia memegang kerah baju lalu menjawab, " Lalu kejadian tadi itu apa?"
"Puja menarikku dan kami terjatuh bersamaan, dan Puja membuat teriakan dengan drama seolah olah aku bersalah!"
Semua saling berbisik satu sama lain, dimana Anwar masih mencekam kerah bajuku.
Karena lama mendengar keputusan mereka, aku mulai mengatakan hal untuk membuktikan jika aku tak salah atas masalah ini. " Berikan aku waktu untuk membuktikannya, jika aku tak bisa membuktikannya aku akan menikahi Puja. Jadi bagaimana?"
Orang orang kantor, terlihat saling membisikan dan mempertimbangkan perkataanku, mereka seolah oleh orang yang paling benar sampai menghakimiku begitu saja.
"kami akan beri kamu waktu tiga hari. "
"Baiklah, aku akan usahakan selama tiga hari untuk mengumpulkan bukti. "
Puja terlihat kesal, ia menghentakkan kaki dan pergi dari hadapanku.
Entah bisa atau tidaknya aku selama tiga hari membuktikan semuanya, karena waktu tiga hari hanya sebentar.
Namun demi martabat dan kehormatanku, aku harus bisa.
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, waktunya untuk pulang, tak sabar rasanya ingin bertemu dengan istriku untuk menjelaskan semuanya.
Dalam hati aku selalu berharap jika Sari mempercayai perkataanku, karena hanya dia satu satunya orang yang aku sayang.
Sampai di rumah, aku mulai memanggil istriku berharap jika ia menyambut kedatanganku dengan baik.
"Sari."
"Mas, kamu pulang?"
Sari datang ia mencium punggung tanganku, terlihat kedua matanya bengkak.
"Biar aku siapkan dulu air hangat untuk kamu." Aku mulai menahan tangan istriku, membuat ia membalikkan badan lalu menundukkan wajah.
Tangan kekar ini perlahan menyentuh dagunya, mengangkat perlahan, dimana wajah Sari kini berhadapan dengan wajahku.
"Apa kamu percaya perkataan teman temanku?" Tanyaku, berharap jika Sari ada dipihakku saat ini.
"Banyak saksi mata yang melihat adegan itu, tapi aku tak yakin dan tak melihat dengan mata kepalaku sendiri, jadi aku belum sepenuhnya percaya pada teman temanmu itu, mas."
Aku tersenyum mendengar hal itu, membuat tangan ini spontan memeluk tubuh Sari.
"Tapi benar kamu tidak melakukan semua itu?"
Sari bertanya kembali padaku, sepertinya ia ragu, membuat aku menghela napas. " Demi Allah aku tak melakukan hal sehina itu Sari, aku sangat menjaga diriku dan martabatku sebagai seorang lelaki setia."
"kenapa orang orang begitu menekanmu untuk mengakui kesalahan, dan Puja apa maksud yang ia katakan, kenapa serendah itu ia menurunkan derajatnya sebagai wanita, dengan mengaku ngaku sudah kamu sentuh. "
Mendengar perkataan Sari, membuat aku bolak balik kesana kemari. Kepalaku terasa ingin pecah memikirkan fitnahan keji dari wanita yang dulu dijodohkan oleh ibu untukku.
Aku mulai memperlihatkan bukti pada ponselku, dimana bukti itu saat Puja berada di rumah ibu.
"Sari, kamu lihat ini, bukti saat aku difitnah oleh ibu dan Puja. "
Sari meraih ponsel suaminya, ia perlahan melihat video dari rekaman cctv, " Kamu lihatkan di dapur ada ibu?"
Sari menganggukkan kepala, perlahan demi perlahan hatinya mulai terbuka, ia tersenyum dan berkata, " Maafkan perkataanku kemarin ya mas."
Aku menganggukkan kepala, mendengar perkataan istriku.
Sampai dimana nada ponsel bergetar kembali.
"Siapa mas?"
Pertanyaan Sari membuat aku kini mempelihatkan layar ponselnya.
Orang yang menelepon saat ini adalah sang ibu. " Angkat mas, kenapa kamu diamkan saja. "
Ada rasa ragu dalam hati, untuk mengangkat panggilan telepon dari ibu, karena merasa hati ini enggan dan malas.
"Mas Riki, kasihan ibu. "
Disituasi seperti apapun, istriku selalu peduli, ia tak pernah sedikitpun kesal pada ibu yang jelas jelas menyakiti dirinya. Selalu sabar dan berdoa, menunggu kesadaran dari ibu untuk baik terhadap dirinya.
"Mas, malas ngangkat panggilan dari ibu. Biarkan saja ya, " ucapku, meminta pada Sari untuk mengerti.
"Apa kamu yakin, aku takut ibu kenapa kenapa, karena kita jauh darinya, " balas Sari, mempelihatkan raut wajah kuatirnya.
"Sudahlah ngapain kamu kuatir dengan ibuku, jelas dia itu sudah tak peduli pada kamu. Sari. Mas tak mau, kedua matamu itu mengeluarkan air mata karena perkataan ibu yang menyakitkan. "
Aku berusaha menasehati istriku, untuk tidak peduli pada ibu dulu, untuk membuat ibu sadar dari perlakuannya yang tidak baik terhadap Sari.
"Apa kamu yakin, ibu tidak akan kenapa kenapa, setelah kita tak peduli padanya. " tanya kembali Sari, raut wajah dan badannya meperlihatkan ketidak tenangan.
"Sudahlah, percaya pada mas, ibu akan baik baik saja tanpa mas. Biarkan Riri yang menjaga ibu. "
Sari yang mendengar perkataanku, kini menundukkan wajah dan meminta izin untuk membersihkan dapur.
Tring ....
Sampai nada pesan terdengar.
Aku penasaran kini melihat isi pesan yang dikirim Riri untukku. (Kak Riki, kakak kok tega biarkan ibu sakit sakitan, dia setiap tidur selalu manggil nama kakak.)
Membaca pesan dari Riri, membuat akbar merasa biasa saja. Ia tak mau terbujuk akan perkataan yang malah membuat ia kasihan dan kembali lagi ke rumah ibu.
(Kamu urus dulu ibu, nanti kalau perasaan kakak sudah tenang, kakak akan pulang dengan Sari.)
Riri tak membalas pesanku membuat aku mengirim pesan lagi padanya. (Oh ya Ri, Kamu jangan kuatir dengan biaya ibu, kak Riki akan selalu mentransfer kalian uang setiap bulan setelah kali gajian.)
Aku langsung menaruh ponselku di atas meja, beranjak berdiri untuk segera membersihkan diri.
Sari sudah menyiapkan air hangat untuk aku mandi, dia juga menyiapkan makanan yang terlihat menggugah selera, membuat aku tak sabar ingin memakan masakan yang disediakan istriku.
Suara ponsel kini kembali berbunyi, membuat Sari berteriak memanggilku, " mas, ada yang menelepon. "
"Sudah biarkan saja. "
Aku menyuruh Sari untuk tidak mengangkat panggilan telepon, karena ditakutkan jika Ibu mendengar suara Sari. Membuat wanita tua itu malah semakin beci pada istriku.
Sampai aku keluar dari kamar mandi, melihat ponsel sudah Sari tempelkan pada telinganya, " Sari. "
Wanita yang menjadi istriku itu kini terkejut, iya langsung menaruh ponsel di atas meja, pergi dari hadapanku tanpa berkata satu kata pun.
"Sari."
Memanggil namanya, Sari pergi tak menoleh ke arahku sedikitpun.
"Apa yang sebenarnya terjadi pada Sari?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Handayani sutani
sari ko baik banget yaaa padahal ibu mertuanyaa jahat banget
2024-03-10
0
Izaz Tismaini
jgn mau nikahi puja lebih berhenti kerja pergi jauh dari kota itu,biar ibunya tau rasa ngak ada lagi yg ngasih uang,itu jebakan ibunya SMA puja,
2023-05-14
0