"Ayo jawab bu, kenapa diam saja?"
Aku mulai menekan wanita tua itu untuk berkata jujur, dimana ia berlaga sok tenang dan tak mau tersalahkan.
"Kemarin ada, cuman …."
"Cuman apa?" Ketika berbicara dengan ibu pasti selalu bertele tele.
"Ya ibu pecat, karena ada istri kamu ya ibu suruh saja dia membersihkan rumah. Kan kamu tahu sendiri dia itu lagi hamil muda, harus banyak gerak jangan tidur mulu!"
Aku mengusap kasar wajahku, mendengar penjelasan yang membuat amarahku meluap luap.
"Bu, kandungan Sari itu masih rentan. Wajar jika Sari sering tidur dan bermalas malasan. Sebenarnya aku bingung sama ibu, dapat teori dari mana sih bu, sampai ibu hamil harus giat bekerja, hah. Sampai sampai mengerjakan pekerjaan rumah segala seperti pembantu."
Ibu diam, ketika aku mengatakan hal itu. Ia terlihat seperti tak terima sampai sampai membuang muka dan pergi dari hadapan kami berdua.
"Mas ibu pergi. "
Aku mencegah istriku untuk berdiri, " sudah biarkan saja. "
"Tapi mas. Ibu pasti sakit hati dengan perkataan mas. "
"Sudahlah, biarkan saja ibu mencerna perkataan mas, agar dia bisa memahami kamu. "
Sari kini memeluk tubuhku, dimana aku mendekapnya dengan erat, " maafkan aku yang tidak pernah peka."
Sari menganggukkan kepala, dimana aku mulai memotong buah buahan untuk istriku makan.
Semalam kedua mataku terjaga, karena menunggu istriku, terlihat ia tertidur dengan begitu nyenyak tanpa tangisan yang aku dengar seperti kemarin kemarin.
Memegang tangannya yang lembut, aku sudah salah membawa istriku masuk ke rumah ibu. Seharusnya dulu aku lebih baik membawanya untuk ngontrak.
Aku terlalu mempercayai kesedihan ibu yang dimana kesedihan itu, hanyalah omong kosong.
Kenapa ibu dari dulu tidak berubah, padahal Sari begitu sabar dan baik, ia tak pernah bercerita dengan kesedihan yang ia alami, apalagi perlakuan ibu selama ini.
Aku menangis, pertama kalinya aku menangisi wanita yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.
"Semua salahku. "
"Mas, kamu kenapa?"
Aku tak menyangka, jika tangisanku mampu membuat Sari bangun dari tidurnya yang nyenyak itu, ia kini mendudukan tubuh dan menatap ke arahku.
"kamu menangis?" Mengusap pelan air mata yang terus menetes membasahi pipi.
"Tidak, ini hanya keringat saja!"
Sari menatap ke arahku, tak mengedipkan matanya sama sekali, " jangan bohong, kamu menangis kan. Ayo katakan kenapa?"
"Kamu menyesal tidak menikah dengan mas?" Pertanyaan yang malah membuat istriku tertawa.
"Kenapa tertawa?" Tanyaku lagi.
"Kamu ini ada ada aja mas, pertanyaanya. Kalau aku menyesal, dari dulu mungkin aku sudah meninggalkan kamu!"
Jawaban yang membuat aku senang, " jadi kamu tidak menyesal."
Sari menggelengkan kepala, dimana aku memeluknya dengan begitu erat.
"Terima kasih, atas kesetiaanmu. "
"Aku juga terima kasih karena kamu sudah membelaku di depan ibumu. "
Kami mengobrol hingga larut malam, sampai suara ketukan pintu membangunkan kami, ternyata ibu dan juga adikku datang.
"Jam segini kalian masih tidur. "
Datang datang ibu langsung memarahi kami, dimana aku dengan santainya menguap, dan mengucap kedua mata.
"Jam berapa?"
"Jam tujuh!"
Aku berdiri, membulatkan kedua mata. Lupa jika hari ini harus berangkat bekerja, ibu mulai memberikan baju ganti padaku.
"Ini, ibu bawakan kamu baju ganti, cepat sana mandi dan pergi kerja, ini lagi punya mantu malas sekali. "
Aku mengambil baju yang diberikan ibu mandi dan langsung menggantinya, tanpa banyak basa basi. Berangkat bekerja, mencium kening istriku.
"Bu, aku titip Sari ya."
"Ya."
Pergi dari ruangan Sari, berlari menuju mobil, sampai aku berucap dalam hati, " tidak apa apa ya, kalau aku meninggalkan istriku bersama ibu."
Menyalakan mesin mobil, aku mulai melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi.
"Untung saja aku tidak terlambat."
Duduk di kursi, pekerjaanku kini begitu banyak, membuat aku yang kurang tidur ini sedikit tak fokus.
"Permisi, Pak Riki, ini berkas yang harus ditanda tangani. "
Wanita bernama Puja, tersenyum kepadaku, dimana gadis yang dijodohkan oleh ibu untukku kini memakai hijab.
"Pak Riki."
Aku berusaha sadar, mengusap pelan wajah, " Ahk iya kenapa Puja?"
"Ini berkas yang harus bapak tanda tangani."
"Oh iya. "
Aku langsung saja menandatangani berkas itu, dimana Puja kini bertanya, " katanya istri bapak masuk ke rumah sakit ya?"
"Kok, kamu bisa tahu!"
"Ahk itu, ibu memberi tahu saya."
"Ibu?"
Mm, kenapa ibu harus memberitahu Puja, apa urusannya dengan Puja.
"Pak Riki jangan salah paham, saya hanya turut prihatin saja, karena ibu bapak sering bercerita pada saya. "
"Oh."
"Boleh saya menengok istri bapak setelah pulang kerja. "
"Boleh."
Puja masih berdiri, sepertinya ia mencari topik pembicaraan denganku. Dimana aku hanya menjawabnya satu atau dua patah kata saja.
Karena setelah menikah rasanya tak pantas jika aku banyak mengobrol dengan wanita yang bukan istriku.
"Ya sudah kalau begitu, saya permisi dulu."
Menganggukkan kepala, tak menatap kepergian Puja sama sekali.
*****
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, kata semangat mulai memburu pada hatiku, dimana aku tak sabar ingin menemui Sari.
Karena dia adalah penyemangat dalam hidup ini, " Akhirnya pekerjaanku beres juga, aku sudah tak sabar ingin bertemu dengan istriku. "
Baru saja melangkahkan kaki keluar rumah, ibu tiba tiba menelepon, membuat rasa kuatir memburu hati ini.
"Halo bu, ada apa?"
"Riki, kamu tak usah pergi ke rumah sakit lagi!"
"Loh, kenapa?"
"Dokter menyuruh Sari pulang tadi siang, jadi ya mau tidak mau ibu bawa Sari pulang, dan untungnya ada adik kamu yang bantu!"
"Ya sudah kalau begitu, bu!"
Aku langsung mematikkan sambungan telepon untuk menaiki mobil, dimana hujan tiba tiba mengguyuri atas tanah.
"Kok, tiba tiba hujan ya. "
Puja yang berdiri menunggu taksi, dia melambaikan tangan ke arahku, dimana aku berusaha mengabaikannya.
Menginjak pedal gas (mobil) lalu pergi, terlihat raut wajah wanita muda itu tampak bersedih, ketika aku lihat pada kaca mobil.
"Aku tak mau jika nanti waktuku terhambat olehnya, jika itu terjadi, yang ada aku tidak bisa menemani Sari cepat cepat. "
Tak terasa hujan sudah mengguyur jalanan begitu saja, udara terasa sangat sejuk, membuat hawa dingin menusuk pada kulit.
Sampai di depan rumah, aku melihat kursi roda ada di halaman dalam keadaan kehujanan. Segera mungkin mengambil dan memasukkan ke dalam rumah.
"Riki, kamu sudah pulang."
Aku langsung mencium punggung tangan ibu dan menanyakan kenapa kursi roda ini ada di luar dan kehujanan.
"Kenapa kursi roda ini ada di halaman rumah bu, sampai kehujanan lagi?"
"Oh, itu tadi, ada bekas darah istri kamu, jadi ibu simpan di halaman, soalnya jijik gitu kalau ibu bersihin. "
Aku menggelengkan kepala mendengar jawaban ibu.
"Kemana Sari?"
Pertanyaanku, membuat ibu hanya diam dan tak menjawab.
"Loh, kok ibu diam saja. Kemana sari?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments