Hari semakin sore, cuaca siang hari yang terik sudah menjadi semakin sejuk. Angin semilir berhembus melalui jendela dan pintu yang terbuka. Meski demikian, atmosfer di dalam ruang latihan dance terasa cukup intens.
Beberapa orang telah maju dan memberikan pilihannya. Hasil sementara masih cukup imbang antara yang ingin tampil dan yang tidak. Saat giliran Haruto pun tiba. Ia adalah siswa kelas X yang dianggap menjadi penerus Lisa karena kepiawaian dia di bidang dance.
"Kak maaf saya masih belum punya pilihan," Haruto mengatakannya sembari berdiri dan menatap Lisa.
"Kenapa?" tanya Lisa.
"Menurut saya, memang menyenangkan jika kita bisa dipercaya untuk tampil di pensi sekolah lain. Hal itu membuktikan jika club kita cukup dikenal. Namun, jika saya berfikir sebagai siswa SMA Pertiwi, saya hanya akan merasa kesal," Haruto menjelaskan.
"Club kita memang cukup berprestasi, tapi apakah prestasi itu benar-benar sudah sampai di SMA Pertiwi, saya tidak tahu. Poin ini menurut saya penting, karena jika club kita tidak dikenal di sana, maka kita hanya akan mendapat cibiran oleh siswa di sana," Haruto melanjutkan penjelasannya. Diam-diam Lisa tersenyum.
"Tentang tidak adanya resiko yang sempat Kak Jeka bahas, menurut saya tidak sepenuhnya benar," Haruto mengatakannya dengan tegas.
"Jika ini adalah pensi kita, apakah kalian akan mengundang siapa pun yang tidak kalian kenal?" tanya Haruto. Lisa pun tersenyum. Ia menatap Haruto penuh arti. Sekilas ia melirik Jeka yang sudah menunjukkan muka masam.
"Ok, berdasarkan analisa Haruto, menurut kalian club kita terkenal ga?" Lisa melempar pertanyaan pada seisi ruangan. Semua saling berbisik. Keadaan menjadi sedikit lebih bising sekarang. Hingga seseorang mengangkat tangan. Lisa mempersilahkan seseorang itu untuk berbicara.
"Saya memiliki kakak di SMA Taruna Bangsa. Secara jarak, sekolah kakak saya yang paling dekat dengan kita. Kita juga sering tanding dengan mereka. Sebenarnya ini sudah menjadi bahan ledek-ledekan kami, kakak beradik, setiap hari," terang siswa tersebut. "Namun, saya bahkan masih sering mendengar pertanyaan dari teman-teman kakak saya tentang nama club kita," lanjut pemuda tersebut. "Dari sini saya menilai jika kita belum seterkenal itu," pemuda itu mengakhiri penjelasannya.
"Ada pendapat lain?" tanya Lisa.
Beberapa orang lainnya mengemukakan pendapat mereka masing-masing. Lisa mendengarkan semuanya dengan serius. Beberapa poin bahkan ia catat dalam jurnalnya.
"Baiklah, hari semakin sore, Saya akan memutuskan kesimpulan sementara," Lisa terlihat sangat berwibawa.
"Awalnya saya memiliki pemikiran yang sama dengan Haruto. Tapi, setelah dipertimbangkan lagi, bisa saja seseorang di sana pernah mendengar club kita," Lisa melanjutkan.
"Tapi, walau begitu, hal itu tetap tidak membuat resiko dinyinyirin oleh siswa SMA Pertiwi hilang. Kami akan berkoordinasi dengan panitia di sana, dan mencari tahu. Tugas kalian, pikirkan baik-baik apakah kalian mau tampil atau tidak,"
"Saya harap, lusa kalian bisa kosongin jadwal, kita akan berkumpul kembali," tutup Lisa. Lisa pun menghampiri ketua club untuk melanjutkan diskusi. Tanpa Lisa sadari, seseorang telah berdiri cukup lama di sisi pintu. Ia memperhatikan Lisa dengan senyuman termanisnya. Ada sorot mata penuh bangga yang tergambar jelas di wajahnya.
...***...
"Capek?" Joshua memegang puncak kepala Lisa, sesekali membelainya. Lisa mengangguk. Untung hari ini Joshua bawa mobil, Lisa ingin tidur sebentar.
"Udah mau maghrib, jangan tidur dulu," Joshua menggenggam tangan Lisa.
"Shua ya, menurut kamu, club dance sekolah kita terkenal ga?" tanya Lisa.
"Terkenal di sekolah kita mah," jawab Joshua. "Tapi di luar sekolah mah siapa yang bakal kenal?" ledek Joshua.
"Ishh," Lisa merengut lucu. Joshua tertawa.
"Tapi bener kan. Just admit it," lanjut Joshua. Lisa nampak berpikir.
"Lisa, mungkin club dance sekolah kita ga terkenal. Tapi, aku yakin kamu yang terkenal," tidak ada nada bercanda pada kalimat Joshua barusan. Lisa kembali berpikir. Apakah benar begitu?
Melihat wajah Lisa yang sedang berpikir serius, itu nampak sangat lucu. Joshua jadi gemas. Ia tersenyum lalu kembali memperhatikan jalanan sore itu.
...***...
Dalam satu hari, seluruh jajaran petinggi club dance sedang sangat sibuk. Ada yang sedang berkoordinasi dengan panitia pensi, ada yang mencari informasi, dan sebagainya. Mereka harus memiliki kesimpulan saat jadwal pertemuan sudah ditentukan oleh Lisa. Itu menjadi deadline mereka.
Lisa mengetuk-ngetuk spidol non permanent yang ada di tangannya. Ia nampak berpikir. Konsep yang di tawarkan SMA Pertiwi cukup menarik. Ia benar-benar ingin mencobanya. Namun, apakah mental anak-anak sudah benar-benar siap? Apakah mereka bisa latihan bahkan tampil dengan tenang dan nyaman? Bagaimanapun, ini adalan dance teatrikal yang berkolaborasi dengan club teater mereka. Mereka memang harus latihan bersama. Ya, konsepnya adalah penampilan dance teatrikal. Ini kesempatan yang baik. Ditambah teater anak SMA Pertiwi termasuk club yang cukup ternama.
Berdasarkan informasi yang Lisa dengar, mereka bisa mengundang club ini adalah karena nama besar Lisa sendiri. Murid-murid SMA Pertiwi sama sekali tidak tahu apa dan siapa club dance mereka. Ditambah lagi, sekolah itu juga punya club dance sendiri. Apakah mereka bisa terima jika pensi di sekolahnya malah meminta club dance sekolah lain begini? Terlebih, Lisa juga tidak akan ikut tampil.
"Minum?" Jeka datang dengan sebotol air dingin yang ia letakkan di depan Lisa.
Lisa mendongak heran. Alisnya terangkat sebelah tanda sedang mempertanyakan sikap Jeka. Jeka hanya mendengus dan pergi mengambil tempat duduknya.
"Gue yang merekomendasikan club ini pada ketua panitia pensi SMA Pertiwi," Jeka mengatakannya tanpa memandang Lisa.
"Kenapa?" tanya Lisa.
Jeka mengerutkan alisnya. Menurutnya, seharusnya Lisa sudah mengerti. Tentu saja demi dia, demi Lisa. Dari hari pertama dia menginjakkan kaki di sekolah ini, nama Lisa sudah sangat dikenalnya.
Lisa mengerut bingung. Kenapa wajah Jeka menjadi lebih masam sekarang? Ia sudah sangat jengah. Perempuan sejati saja kalah dalam hal kode-kodean dibanding dengan Jeka.
"Menurut kamu apakah kita bisa tampil di sana dengan tenang dan aman?" tanya Lisa.
"Kenapa harus ga tenang dan ga aman?" Jeka protes tak mengerti jalan pikiran Lisa.
"Jeka, menurut kamu apa perasaan anak-anak club dance sekolah itu?" geram Lisa.
"Ckk.. Apa pedulimu sih?" Jeka balas berteriak.
Wahh..!
Lisa sudah tak habis pikir. Apakah manusia di depannya ini jelmaan batu? Apakah dia tidak bisa mengerti perasaan orang lain?
Merasa sedang ditatap Lisa dengan tatapan aneh, Jeka menjadi jengah sendiri. Ia mengepalkan tangannya erat.
"Salahku karena tak bisa berkomunikasi dengan baik! Salahku karena aku selalu menyukaimu! Salahku karena aku memaksa untuk pindah ke sini hanya agar bisa lebih dekat denganmu!" Jeka pun beranjak pergi.
Lisa merasa terkejut. Apa-apan Jeka itu? Ia bahkan masih kesulitan untuk mencerna semuanya. Ada apa ini? Pikiran Lisa bahkan menjadi lebih kusut sekarang.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments