Joshua tak sengaja melihat Lisa di arah bangku penonton. Melihat ada kesempatan, Seungcheol segera merebut bola, mendrible-nya, dan mencetak skor baru untuknya. Namun, Joshua sudah tidak terlalu perduli. Melihat fokus Joshua sudah hilang, secara alami, mereka mengakhiri permainannya.
"Udah lama di sini?" Joshua menghampiri Lisa. Lisa menggeleng sembari tersenyum. Ia menyerahkan sebotol air yang sudah ia siapkan.
"Aduh, enaknya ada yang bawain minum," Seungcheol mencebik sedih. "Tumben Lis latihan dance-nya cepet?" tanya Seungcheol.
"Iya, ga ada event ini. Lagian ternyata lebih seru ngeliatin kalian main," cengir Lisa sembari mengedip pada Joshua. Melihat itu Joshua tertawa saja. Ia tahu apa maksud Lisa.
"Uhh.. Gue berasa jadi alien. Ga ngerti deh kode-kodeannya.." Seungcheol menjauh. Ia mengambil minum di dekat tas-nya yang letaknya cukup jauh dari tempat Lisa duduk.
"Kok bisa sih Seungcheol ga nyadar udah kamu curangin?" heran Lisa. Joshua mengedikkan bahunya, "Dia terlalu percaya," Joshua tertawa. Tawa itu nular, hingga Lisa pun ikut tertawa.
"Mau pulang sekarang?" ditanya begitu, Lisa hanya mengangguk.
"Pulang ke rumah Mama apa ke rumahku?" tanya Joshua.
"Ke Mama dulu. Nanti kalo aku kangen Bunda lagi, kamu jemput ya," Lisa nyengir aja. Joshua gemas, ia pun mencubit pipi Lisa.
"Kalian langsung balik nih?" Seungcheol yang sudah bergabung kembali pun bertanya. Joshua dan Lisa pun mengangguk sebagai jawaban.
Mereka bertiga berjalan beriringan menuju parkiran. Sesekali tawa menguar diantara mereka. Meski hampir setiap hari bertemu, tapi entah bagaimana mereka selalu memiliki cerita seru yang baru.
Tangan Lisa dan Joshua, seperti biasa, saling bertautan. Di sisi lain Joshua, Seungcheol berjalan cuek saja. Hal ini sudah biasa baginya. Karena ia tahu jika temannya ini tidak bisa dipisahkan dari Lisa. Mungkin kalau misah sehari aja tuh bakalan gatel-gatel badannya. Entahlah.
...***...
Setelah mata pelajaran yang melelahkan, jam istirahat yang berdentang menjadi suara paling indah bagi anak-anak kelas XII IPA 1. Rose dan Lisa sudah meleleh di atas meja mereka. Lemonade dingin enak nih, begitu pikiran mereka berdua.
"Kantin yuk," Joshua mengetuk-ngetuk pipi gembil Lisa.
"Yuk, sekalian beli lemonade," Joshua mengangguk mendengar ajakan Lisa. "Rose ayookkk," tangan Lisa menggucang pergelangan tangan Rose.
Rose mengumpulkan sisa-sisa tenaga-nya sebelum akhirnya berdiri mengikut Lisa. "Lis, traktir dong," ucap Rose asal.
"Dih, tiba-tiba banget..." cibir Lisa. Rose tersenyum manis penuh dengan pemanis buatan. "Yaudah sih, gue yang traktir," Joshua yang ngomong.
"Aku juga ga?" Lisa ikut-ikutan.
"Kamu mah gausah ditanya dong," jawab Joshua.
"Miskin amat sih, timbang lemonade doang minta traktir.. Idihh.." suara sumbang dari Jeka terdengar lagi.
Mendengar itu Lisa otomatis berhenti. Ia hendak berbalik untuk membalas kalimat Jeka. Namun, Joshua menahannya. Joshua menggenggam jemari Lisa dengan lebih erat. Ia menarik halus lengan Lisa agar tetap jalan saja. Hingga Jeka berlalu, mendahului mereka bertiga.
"IH MULUTNYA ITU LOH!!" kesal Lisa.
"Lisa," nada lembut dari Joshua kali ini terdengar berbeda bagi Lisa. Lisa paham jika Joshua tak suka ia terlalu memikirkan kata-kata Jeka. Toh memang ga penting sebenarnya. Ya ngapain gitu nanggepin mulut julid ga berdasar gitu kan? Tapi Lisa nya kesel.
"Gue heran deh, perasaan si Jeka tuh julidnya sama Lisa doang. Gue kalo ga lagi sama Lisa, ga pernah tuh denger kalimat pedes dari dia," jelas Rose panjang lebar.
"Nahh, berarti dia emang nyari gara-gara sama aku, Shuaa," rengek Lisa.
"Lisaa, terus memangnya kamu mau apa? Mau berantem sama dia? Kalo udah berantem, terus apa?" Joshua memandang Lisa dengan tatapan serius. Tidak ada lagi senyum manis tersungging di bibirnya.
Kalimat Joshua ada benarnya. Lisa hanya terlalu terbawa emosi. Kalau Lisa turutin, artinya Jeka menang udah mancing emosi Lisa. Lisa mengeratkan genggamannya pada Joshua. Genggaman itu bagai air es yang mendinginkan hati dan pikirannya. Joshua mengerti itu, ia hanya menepuk lembut kepala Lisa sambil tersenyum lagi.
"Aduh.. aduh.. Kok bisa yang kayak gini bilangnya bukan pacaran ya?" Rose protes dengan segala ke-uwuan pasangan di depannya. "Ah.. bukan pacaran, orang kalian ini suami-istri, ya kan?!! Ngaku?!!" cecar Rose makin ngawur.
...***...
"Kita ada undangan pensi dari SMA Pertiwi. Mereka minta kita untuk jadi salah satu pengisi acara. Manurut lo gimana Sa?
Mendengar pengumuman itu, Lisa pun maju ke depan. Jika ada event begini, secara alami dia yang ditunjuk sebagai leader pemegang keputusan.
"SMA Pertiwi baru pertama kali ngundang kita. Terus terang gue juga ga terlalu paham dengan kondisi pensi di sana. Jadi gue mau balikin aja ke kalian. Kalo kalian mau tampil, gue dukung. Kalo kalian ga nyaman juga gue ga bakalan maksa," Lisa memberikan tanggapannya sekaligus memberikan arahan.
"Kalian diskusi dulu aja," Lisa menambahkan begitu melihat anak-anak club dance saling tatap satu sama lain.
Jeka tiba-tiba maju ke depan. Dengan lantang ia ingin menerima undangan dari SMA Pertiwi.
"Yang kayak gini doang musti dipikirin?? Memangnya apasih resiko kita tampil di acara pensi? Apa yang memungkinkan bisa bikin kita ga nyaman??" orasi Jeka menggebu-gebu. Anak-anak lainnya tentu kaget. Selama ini, tidak pernah ada satu orang pun yang berani membantah Lisa. Bahkan ketua club pun segan pada Lisa. Mereka menghargai Lisa sebegitu tingginya.
Meskipun apa yang dibilang Jeka ada benarnya. Tapi, menurut Lisa, tampil di acara pensi sekolah lain tuh tetap memiliki resiko. Jarang sekali sebuah SMA yang mau ngadain pensi malah ngundang grup luar yang ga terkenal kayak mereka ini. Yang ada malah akan menjadi ajang pamer siapa yang lebih baik. Jika begini, maka ketulusan performance mereka akan ternodai. Jika sudah begitu, meski kau tampil dengan sempurna, perasaanmu tidak akan sampai pada penonton. Dan pertunjukanmu hanya akan menjadi angin lalu tanpa ada kesan yang mendalam di hati mereka. Lisa tidak suka itu.
"Apakah pensi itu punya tema atau permintaan khusus lainnya?" tanya Lisa. Ia berpikir untuk mengalah sedikit. Ia sedang tidak ingin berdebat dengan siapa pun. Lisa tahu, jika ia menyangkal perkataan Jeka, mereka hanya akan berakhir pada perdebatan kusir yang menyebalkan. Lebih baik, Lisa mencari informasi lebih lengkap tentang pensinya sebelum memberikan keputusan final.
"Di dalam undangan tidak ada keterangan semacam itu. Apa perlu gue tanya sama panitia di sana?" jawab Ketua club. Lisa mengangguk.
"Sementara kita akan voting dulu, siapa yang tertarik untuk tampil dan siapa yang engga," Lisa berjalan menuju papan tulis. Ia menuliskan dua kata dengan huruf kapital, TAMPIL, dan beberapa baris di bawahnya Lisa menulis TIDAK TAMPIL.
"Mulai dari kanan ke kiri, kalian maju dan buat pilihan kalian di sini," lanjut Lisa sambil menunjuk pada papan.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments