Sebuah Kesepakatan

Sesampainya di hotel, Gwen langsung membereskan kopernya dan beristirahat. Ia merasa lelah, namun rasa kesal di hatinya membuat wanita itu menjadi tidak nyaman.

Saat wanita itu tengah duduk melamun dengan secangkir coklat panas di depannya, pintu kamarnya di ketuk beberapa kali. Namun sebelum itu, ia membaca pesan singkat yang masuk ke dalam ponselnya.

"[Tuan Theo tiba, Nona.]" Isi pesan itu.

Gwen menghela napas panjang. Ia menebak, kedatangan Theo hanyalah untuk memarahinya. Ia tidak berharap banyak jika Theo akan membujuknya untuk kembali pulang.

"Papa, masuklah," ujar Gwen. Ia mempersilahkan Theo masuk dan duduk di sofa panjang di depan televisi.

"Papa langsung kemari setelah Pedro memberi kabar," ujar Theo.

"Jika Papa datang hanya untuk memarahiku, sebaiknya Papa lekas pergi. Aku lelah."

Theo menghela napas panjang. Ia menatap Gwen dengan perasaan bersalah. Apakah selama ini ia terlalu mengabaikan putrinya?

Benar Theo merasa marah dan kecewa pada sikap Gwen sejak kematian ibunya. Gwen menjadi lebih sensitif dan agresif, terlebih sejak kehadiran ibu tiri dan saudara tirinya.

Namun sebesar apapun perasaan marah di dalam dirinya, Theo tidak bisa membohongi hatinya bahwa Gwen adalah satu-satunya cinta di hatinya. Cinta tak beralasan dari seorang ayah pada putrinya.

"Papa tahu, kau pasti merasa iri dengan ibu dan saudara tirimu. Apakah itu sebabnya kau membenci mereka dan tidak bisa menerima kehadiran mereka?" tanya Theo.

"Aku memiliki segalanya, untuk apa aku merasa iri, Pa?"

"Lalu, kenapa?"

"Papa terlalu percaya pada mereka. Apa Papa tidak tahu dengan apa yang mereka lakukan di belakang Papa?"

"Bukannya Papa tidak percaya padamu, Sayang. Tapi selama kau berada di Amerika, mereka lah yang senantiasa membantu Papa. Dan tiba-tiba saat kau pulang, kau mengatakan hal-hal buruk tentang mereka? Bagaimana Papa bisa percaya. Padahal, selama ini kau tidak tahu apa-apa."

"Pa, aku tahu karena aku sudah mengawasi mereka sejak lama. Aku tahu apa yang mereka lakukan!" seru Gwen.

Theo tersenyum kecil, ia mendekati putrinya dan meraih tangan Gwen.

"Kau adalah satu-satunya anak Papa. Kau memang pewaris yang sah. Papa tidak mungkin membiarkan orang lain merebut posisimu. Jangan khawatirkan itu," ujar Theo menenangkan.

Theo berpikir, jika selama ini Gwen hanya mencari-cari masalah untuk menunjukkan jati dirinya. Theo kira, Gwen sedang mengkhawatirkan posisinya sebagai pewaris utama karena kehadiran saudara tirinya. Namun, Theo berusaha meyakinkan, bahwa tidak akan terjadi hal-hal diluar kendalinya.

"Pa! Bukan itu masalahnya!" tegas Gwen.

"Bagaimana jika kau pergi berlibur dan menenangkan diri? Bukankah bagus jika kau beristirahat setelah bertahun-tahun sibuk menjadi model dan bersekolah?" tawar Theo.

Gwen mengernyitkan dahi, apa kini Theo kembali berusaha membuangnya?

"Pa!"

"Kenapa? Papa hanya ingin kau berlibur dan menenangkan diri. Papa tahu sebuah desa yang asri dan bagus. Desa dengan pegunungan, sawah, serta dekat dengan pantai. Kau pasti menyukainya," terang Theo.

"Aku tidak tertarik," tolak Gwen.

"Jika kau berpikir Papa tidak menyayangimu, itu salah, Gwen. Bagaimana bisa Papa tidak menyayangi anak kandung Papa sendiri? Kau bahkan lebih berharga dari semua yang Papa miliki di dunia ini."

"Kau mempelajari banyak hal di Amerika? Sekolah bisnis pasti sangat rumit dan membosankan, kan? Tapi kau melakukannya dengan baik. Papa bangga padamu."

"Kau bercita-cita menjadi model terkenal sejak kecil, dan kau sudah meraihnya, kan? Mama pasti sangat bangga melihatmu seperti ini."

"Sebelum menjadi pemimpin, kau harus ditempa, kau harus merasakan jatuh, tersungkur, bahkan kau harus bisa merangkak naik dengan tangan dan kakimu sendiri. Agar kau bisa menjadi pemimpin yang baik dan bijaksana."

"Papa ingin kau menjadi orang yang kuat. Jangan pernah menyerah pada kekuranganmu, percayalah bahwa kau bisa melakukan segalanya!"

Gwen terdiam, mendengarkan dengan seksama penuturan Theo. Selama ini, Gwen berpikir jika Theo tidak lagi menyayanginya. Gwen berpikir jika Theo telah membuangnya.

Namun saat ini, Gwen merasa sedikit lega.

"Apakah liburan hanya alasan Papa untuk kembali membuangku? Apa Papa tidak suka jika aku ada di sini?" tanya Gwen.

"Sayangku, Gwen. Papa tidak pernah berpikir untuk membuatmu pergi jauh. Papa hanya ingin kau lebih belajar banyak hal yang belum kau tahu."

"Baik, aku akan pergi sesuai permintaan Papa jika itu akan membuat Papa senang."

Theo tersenyum. "Tentu saja, Papa sangat senang jika kau bersedia berlibur dan menenangkan diri. Kau bisa kembali saat pikiran dan hatimu sudah tertata dengan baik."

"Berapa lama?" tanya Gwen.

"Dua bulan, Papa rasa cukup."

"Dua bulan?" Gwen melotot. "Tidak, aku hanya akan pergi selama dua minggu."

"Enam minggu," tawar Theo.

"Satu bulan, satu bulan atau tidak sama sekali," tegas Gwen.

"Baiklah, satu bulan." Theo tersenyum, ia merentangkan tangan dan Gwen memeluknya.

"Papa menyayangimu, Gwen."

"Aku juga menyayangimu, Pa. Aku mohon, percayalah padaku."

...****************...

Terpopuler

Comments

Irma Dwi

Irma Dwi

ngak ada orang tua yg ngak sayank anaknya, mudah2an papa Theo tau kebusukan istri dan anak tirinya,,,,

2024-09-22

0

Sandisalbiah

Sandisalbiah

syukur deh kalau Theo masih meniliki kewarasanya.. tdk semata teroedaya okeh pesona istri baru dan ank tirinya

2024-08-13

0

◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾

◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾

Gwen ayang menunggumu di desa wkwkwkwk

2023-04-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!