BAB 9. Ribut

Akhirnya Saipul pun bangkit dari tempat duduknya, kemudian dia berjalan menuju ke arah datangnya suara. Namun sayang keadaan yang begitu gelap, sehingga dia tidak bisa melihat jelas keadaan sekitar, hingga akhirnya dia pun menginjak paha Galih yang sedang terduduk.

"Aduh....! kenapa Mamang menginjak saya."

Saipul tidak menjawab, karena dia sebenarnya ingin menghindari injakan itu. Namun sayang keadaan tubuh yang sudah sangat lelah, sehingga dia tidak bisa menahan keseimbangan, Saipul jatuh tersungkur bahkan dahinya terbentur ke batu.

"Aduh celaka....! celaka! aduh celaka...!"

Desis Saiful tertahan, karena dahinya terasa mau pecah. dia merintih menahan rasa sakit yang tidak tertandingi, bahkan sekarang dia terdengar menangis seperti anak kecil, tidak kuat menahan kesialan yang menimpa dirinya.

Mendengar sahabatnya merintih Galih pun tidak tega, dia pun bangkit lalu tangannya gelagapan mencari keberadaan Saiful, hingga Dia memegang kakinya kemudian tangan itu terus naik sampai ke tubuh, lalu membangkitkannya agar Saipul bisa duduk.

"Kenapa mang, kenapa?" tanya Galih yang dipenuhi dengan kesedihan, bahkan suaranya pun Terdengar sangat parau.

"Dahi Mamang kena batu Ujang, dahi Mamang kena batu...!" adu Saiful seperti anak kecil yang sedang mengadu sama bapaknya, dia merengek seperti seorang bayi yang tidak diberikan ASI.

"Sudah Mang, Sudah jangan nangis seperti itu. Kita kan laki-laki harus kuat."

"Tega, memang benar-benar tega orang-orang sialan itu. kenapa mereka sangat kejam?

"Sudah Mang, sudah. sekarang kita harus menguatkan tubuh agar kita bisa merebut kembali babi itu. tenang ini kampung saya, jadi saya bisa meminta bantuan warga kampung untuk merebut babi itu kembali."

Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Saipul pun mengiyakan apa yang direncanakan oleh Galih. mereka bahu-membahu saling menopang untuk bangkit dari tempat duduk, kemudian berjalan dengan gontai menuju rumah mbah Abun.

Suasana malam itu Terdengar sangat riuh, karena setiap penjuru Kampung dipenuhi oleh sorak-sorai kemenangan, sorak-sorai kebahagiaan karena bisa mendapat benda yang disayembarakan. suara jangkrik terdengar begitu mengkerik, di Sahuti dengan suara katak dan kodok yang terdengar dari sawah, suasana Jalan lumayan agak terang, karena banyak orang yang membawa obor yang mau menyusul ikut menonton kejadian selanjutnya.

Sedangkan orang yang mereka kejar, Daus yang mengomandoi seluruh pemuda Kampung Ciandam. Dia terlihat sumringah Karena dia sudah menjadi pemenang, dia memimpin gerombolan pemuda kampungnya yang bergabung dengan Surya Jaya dan wira, untuk menyetorkan babi ngepet kepada Mbah Abun.

Di samping kanan kiri jalan terlihat cahaya terang yang terpancar dari obor-obor yang dinyalakan, tua, muda, laki-laki, perempuan, terlihat berjejer rapi menyambut kemenangan itu.

"Kita bawa langsung saja ke rumah Mbah Abun, karena kalau ditunggukan sampai besok nanti bisa berbahaya." teriak Daus memberikan komando, disambut sorak sorai para Pemuda Kampung Ciandam.

Rombongan orang yang menggotong babi ngepet itu akhirnya sampai di halaman rumah mbah Abun, dengan segera Daus memasang badan berdiri di hadapan pintu.

"Abah.....! Abah.....! Sambut saya dengan kedua belah tangan!" Panggil Daus dengan berteriak.

Cahaya obor semerbak memenuhi halaman rumah Bah Abun, apinya terlihat bergoyang-goyang, asapnya mengepul ke udara. Tak lama kemudian, akhirnya pintu pun terbuka lalu keluarlah sosok Mbah Abun dan Abu Yayah yang terkesima, melihat halaman rumahnya sudah dipenuhi lautan manusia.

"Haduh Jang! Ada apa ini, kok banyak orang segala?" sambut Mbah Abun sambil tetap memindai keadaan sekitar.

"Begini Bah, saya sudah berhasil menemukan babi yang sesuai dengan keinginan Abah. nah ini babinya! silakan Abah periksa." jawab Daus tanpa ragu, sambil menunjuk ke arah babi yang sedang berada di dalam potongan. wajahnya terlihat berseri-seri dipenuhi dengan kebanggaan, Bagaimana tidak bangga, karena dari sekian banyak orang yang mengikuti sayembara, Dauslah pemenangnya.

Mendengar keterangan dari Daus membuat hati Surya Jaya merasa panas, amarahnya memenuhi dada, giginya terdengar mengerat, karena perkataan Daus tidak sesuai dengan apa yang Sudah mereka bicarakan.

"Dasar sialan dasar koplok....! dasar kurang ajar asal nguap saja kalau berbicara, Sampai berani mengakui benda milik orang lain, Sampai berani mengakui hakku. Dasar bodoh....!dasar kurang didikan....! nggak apa-apa kalau mau mengakui, tapi langkahi dulu mayatku!" bentak Surya Jaya yang merasa kesal dengan sikap yang diambil oleh Daus, giginya terlihat mengancing dengan sempurna, bahkan mengeluarkan suara kemereket menandakan amarahnya sudah tidak bisa tertahan.

Orang-orang yang berada di situ mereka terdiam, tapi Daus tidak gentar sedikitpun, bahkan dari sudut bibirnya terukir senyum menghina seolah tidak menunjukkan ketakutan dalam dirinya, tidak takut dengan Surya Jaya.

"Hahaha, kamu yang jangan asal nguap kalau berbicara. apa kamu lupa babi ini siapa yang merebutnya, apa kamu bodoh sampai tidak mengerti bahwa babi ini aku yang merebutnya. kalau kamu ada keberanian dan keinginan Kenapa tidak Kamu sendiri yang mengambilnya, Hahaha. dasar koplok.....!"

"Kurang ajar Menghina kamu, Dasar setan....!" ujar Surya Jaya yang sudah melupakan tatakrama, terdorong oleh hawa nafsu yang sudah memenuhi dada.

Tanpa berpikir panjang Surya Jaya pun menerjang ke arah Daus sambil melayangkan satu pukulan menuju dadanya, namun Daus tidak gentar sedikitpun dengan segera dia mengambil pentungan yang ada di tangan temannya, tanpa ragu-ragu dia pun memukul kan benda tumpul itu ke arah Surya Jaya

Bugh!

"Walah Dasar kurang ajar....! dasar licik.....!"

Gerutu Surya Jaya yang terjungkal ke arah belakang. walaupun tubuhnya terasa sakit, tapi dia tak sedikitpun memperdulikan hal itu, Dia terlihat bangkit kembali lalu bersiap untuk melancarkan serangan selanjutnya, namun sekarang dia lebih berhati-hati tidak ingin gegabah ketika menyerang.

Surya Jaya pun bersiap kembali hendak menyerang, namun baru saja melangkahkan kaki dari arah samping terasa ada angin dingin yang menerpa, hingga akhirnya belikatnya terkena serangan.

Bugh!

Wala.....!

Tubuhnya terdorong ke arah samping, disusul dengan serangan berikutnya, hingga tubuh itu tak mampu berdiri lagi, dikeroyok oleh pemuda Kampung Ciandam tanpa diberi ampun. bahkan Walaupun dia sudah tersungkur masih ada orang yang menendang dahinya.

Surya Jaya terkapar lemas kehabisan tenaga, sekujur tubuhnya terasa sakit tanpa ada yang bisa dirasakan, sendi-sendinya terasa copot, kepalanya terasa pusing, keadaan sekitar terasa berputar. beruntung masih ada orang yang perduli.

"Stop....! stop, stop....! sudah, sudah...! biarkan saja jangan diteruskan," tahan Zuhri sambil menarik beberapa pemuda agar menjauh dari tubuh Surya Jaya.

Orang-orang yang masih menghajar pawang babi itu seketika menghentikan serangannya, kemudian mereka pun mundur beberapa langkah, menjauh dari tubuh Surya Jaya. melihat pamannya diperlakukan seperti itu, dengan segera Wira pun menghampiri lalu memeluk tubuh pamannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!