Davis Fernando

...~Happy Reading~...

Davis Fernando, laki laki berusia dua puluh lima tahun. Bertubuh tinggi, atletis dan tampan, namun selalu terlihat dingin dan datar.

Ayah nya meninggal saat di hari kelahiran nya di dunia. Sedangkan sang ibu menyusul saat dirinya berusia delapan tahun.

Setelah kematian sang Ibu, Davis memutuskan untuk pergi sejauh mungkin dari tanah kelahiran nya, New York. Dan sejak umur delapan tahun, hingga kini sudah memasuki usia dua puluh lima tahun. Davis belum juga kembali ke negara itu.

Tujuh belas tahun lamanya, ia tidak pernah berkunjung, menemui sanak saudara nya atau makam kedua orang tua nya. Bukan tidak mau, hanya saja ia masih merasa begitu berat untuk menginjakkan kaki ke negara itu lagi.

Bayangan demi bayangan saat dimana kejadian yang menewaskan ibu nya, membuat Davis merasa sesak dan enggan untuk pulang ke sana.

“Ada apa Om meminta Davis kemari?” tanya Davis to the point saat sudah menemui sahabat dari ayah nya di dalam ruang kerja.

Ya, sesuai permintaan om Clayton. Siang hari saat ia sudah selesai mengerjakan pekerjaan nya, ia segera bergegas untuk menuju rumah om Clayton, yang tak lain adalah orang tua angkat nya.

“Bacalah!” ucap om Clayton seraya memberikan sebuah amplop berisi surat kepada Davis.

Dengan cepat, ia segera membuka amplop itu dan membaca nya. Yang mana ternyata isinya adalah sebuah surat dari Oma nya yang berada di New York. Oma Sandrina, yang tak lain adalah ibu tiri dari ayah kandung Davis.

Entah itu surat ke berapa yang Davis terima dari orang yang sama. Hampir setiap bulan ia mendapatkan surat dari oma Sandrina yang menyuruhnya untuk pergi ke sana, namun selalu di abaikan leh laki laki tersebut.

“Ini sudah sangat lama Vis. Apakah kamu tidak mau—“

“Davis sibuk Om,” jawab Davis dengan cepat memotong pertanyaan dari om Clayton, “Kapan acara pernikahan kak Claire?” tanya Davis memilih untuk mengganti topik pembicaraan.

“Bulan depan,” jawab m Clayton seraya menghela napas nya dengan berat, “Apakah kau juga ingin menikah?”

“Tidak!” jawab nya begitu singkat dan datar membuat laki laki paruh baya di depan nya lagi lagi hanya bisa menghela napas nya berat.

Davis Fernando, sangat mirip dengan Davis Austin, mantan sahabat sekaligus tangan kanan nya, yang tak lain dan tak bukan adalah ayah kandung dari Davis Fernando.

Terkadang, Clayton berfikir mungkin nama Davis memang di takdir kan memiliki wajah datar dan dingin. Maka dari itu, ia sangat mengutuk nama Davis lantaran memiliki sikap yang jauh lebih parah dengan nya.

“Apakah kau tidak berniat melamar Chloe?” tanya om Clayton lagi berniat untuk menggoda Davis, “Umur kalian sudah tidak muda lagi. Apakah kamu tidak ingin berkeluarga?”

“Maaf Om, Chloe sudah ku anggap sebagai adik. Dan juga, om Clayton tidak akan pernah bisa menjadi mertua Davis. Terimakasih atas tawaran nya,” balas Davis lagi lagi membuat Clayton langsung menghela napas nya berat dengan sedikit mendengus kesal.

Cklek!

“Sayang, makan siang sudah siap!” ucap seorang wanita paruh baya yang membuka pintu kerja suami nya, “Davis, ayo makan dulu Nak.”

“Terimakasih Tante,” jawab Davis yang tanpa berlama lama langsung bangkit dari tempat duduk nya menghampiri wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu nya tersebut.

“Kamu sudah dari tadi” tanya tante Shiena, istri dari om Clayton itu saat Davis mencium punggung tangan nya.

“Baru beberapa menit, om Clayton yang menyuruh Davis kemari,” jawab nya tersenyum.

Memang berbeda perlakuan Davis kepada tante Shiena, tante Faiza atau kepada anak anak perempuan mereka dengan sikap nya yang kepada om Clayton atau om Edward.

Davis masih mengingat dengan jelas, pesan dari ibu nya sebelum meninggal, bahwa ia tidak boleh melukai hati seorang wanita.

Maka dari itu, ia sellau bersikap lembut dengan wanita yang ia kenal dan sayang, namun ia masih begitu sulit untuk bersikap selembut itu juga kepada para laki laki seperti om Clayton maupun om Edward.

...~To be continue .......

***Karya ini telah kontrak dengan NovelToon, dilarang membajak karya seperti mencetak ulang tanpa izin.***

***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***