Malam itu Nita dan Arman tidur saling membelakangi. Mereka sama-sama tidak mau mengalah, Arman sebenarnya tidak mampu mempekerjakan perawat. Dulu sempat mencoba, itu pun menggunakan gaji istrinya sebagian. Tapi perawat tidak ada yang betah, paling bertahan 3 hari dan paling lama satu minggu.
Nita yang belum tidur, dia hanya mengingat betapa egoisnya kakak iparnya. Mereka yang tergolong mampu, bahkan punya kendaraan roda empat, tapi tidak mau mengurus ibu mertua. Tidak mau membawanya tinggal bersama mereka. Sekedar mengirim uang untuk makan ibu pun mereka tidak ingat, jika Arman meminta lewat telepon, mereka akan mengeluarkan seribu alasan.
Pukul 3 pagi, Nita bangun. Dia mulai memasak dan membersihkan rumah. Saat adzan berkumandang dia bahkan sudah mengganti pakaian sang ibu mertua yang semalam terkena pipis. Dia bergegas mandi dan melaksanakan sholat.
"Sarapan dulu dong Riki..!" Ucap Arman pada anaknya yang pertama. Dia seperti sedang terburu-buru, hanya minum segelas susu hangat.
"Riki bagian piket di kelas Pah, Riki berangkat ya," ucap Riki mencium punggung tangan ayah dan ibunya. Tak lupa dia mengucapkan salam sebelum benar-benar pergi.
Nabila pun kini sudah berangkat, tinggal sepasang suami istri yang sedang saling diam yang sedang sarapan dimeja makan.
"Bagaimana Mas tentang perawat ibu?" Tanya Nita.
"Iya nanti mas carikan, semoga kali ini cocok dan tahan sama ibu. Mas juga akan mencoba menghubungi kak Dela untuk meminta bantuan biaya ibu," jawab Arman.
"Syukurlah kalau begitu," ucap Nita. Dia bersiap untuk pergi ke sekolah untuk mengajar.
Meski sebenarnya setiap pagi tubuh Nita sudah lelah karena dari dini hari dia sudah bekerja di rumah. Tapi ia harus tetap bekerja. Ketika waktu istirahat mengajar tiba, dia pun harus pulang dulu ke rumah untuk memastikan ibu mertuanya baik-baik saja, begitupun dengan suaminya, karena Arman mengkhawatirkan sang ibu.
***
Saat pukul 2 siang, Nita sudah sampai di rumah karena hari ini dia tidak ada jadwal mengajar tambahan. Nita langsung masuk dan membereskan rumah yang berantakan karena ulah mertuanya, dia harus memaklumi itu setiap hari.
Arman yang baru pulang dari pabrik. Dia tidak mendapatkan sambutan hangat dari sang istri, tapi terlihat makanan sudah tersaji di meja makan dia lebih memilih mengisi perutnya dulu.
"Sayang kamu kenapa lagi? Bukankah aku sudah menuruti apa yang kamu mau. Besok pengasuh ibu akan datang, aku juga sudah menelpon kak Dela dan kak Romi, mereka bersedia membantu," ucap Arman.
"Gapapa, aku hanya lelah. Bagus kalau gitu, biasanya mereka pelit,, apalagi kakak pertamamu kak Firman," jawab Nita. Dia berlalu pergi dan membaringkan tubuhnya yang terasa remuk.
Baru saja Nita masuk ke alam mimpi, dia sudah mendengar teriakan suami memanggil namanya. Dia bangkit lalu menuju sumber suara.
"Ada apa Mas?" Tanya Nita.
"Ibu buang air besar dicelana, kamu bersihin ya, gantiin celananya juga, kasian pasti gak nyaman..! Inget Dek, ini pahalanya besar loh..!" ucap Arman.
"Iya aku tahu. Coba deh Mas bujuk ibu biar mau pake pampers, biar gak kerepotan gini, baunya juga memenuhi isi rumah, belum lagi kalau BAB nya disembarang tempat," protes Nita.
"Tapi ibunya gak mau, ibu susah dibujuk, kamu kayak gak tahu ibu aja," jawab Arman.
Nita meninggalkan Arman begitu saja, dia bergegas menghampiri ibu mertuanya untuk melakukan apa yang diperintahkan sang suami.
"Bu, lain kali kalau ibu sakit perut, ibu bilang sama Nita ya..! Nanti Nita anter ke kamar mandi," ucap Nita pelan.
"Ibu gak bisa, ibu gak tahan," jawabnya.
"Yaudah, besok ibu pake pampers aja ya, biar enak gak usah bersihkan semuanya. Ini lihat Bu..! kena baju juga kan," ucap Nita. Dia sama sekali tidak menutup hidungnya mesti sangat bau, dia sudah terbiasa.
"Gak, ibu bukan bayi," jawab Bu Maryati.
Nita mengalah, dia membersihkan tubuh mertuanya dengan air hangat mengingat ibunya itu sudah mandi sore. Ini tak seberapa, kalau dia sedang tidak dirumah, maka pipis Bu Maryati ini akan berceceran, kadang di depan televisi, di dapur, di sofa, di karpet. Kalau pipis, kalau BAB? Itu membuat Nita ingin marah tapi tak bisa, dia hanya bisa menghembuskan nafasnya perlahan, mencoba sabar.
Lama-lama aku bisa kurus kering dan punya penyakit dalam karena sering menahan emosi, batin Nita.
***
Keesokan harinya semua anggota keluarga libur karena ini hari Minggu. Tapi untuk Nita tidak ada kata libur, dia masih sibuk dengan pekerjaan rumah yang tak ada habisnya.
Padahal aku tidak punya bayi, tapi rumah selalu berantakan dan bau, batin Nita.
"Mas, perawat yang kamu janjikan mana?" Tanya Nita.
"Belum ada Dek, mungkin bulan depan. Kak Dela dan kak Romi bilang bulan depan mereka akan mengirim uangnya, dan kak Farhan juga belum membalas pesanku," jawab Arman dengan entengnya.
"Apa? Mas bener-bener keterlaluan ya, selalu memaklumi kakak-kakakmu itu, tapi padaku? Kamu selalu menuntut agar semua beres dan bersih," ucap Nita berlalu pergi.
Untung saja Riki dan Nabila sedang bermain dihalaman sehingga mereka tidak mendengar pertengkaran orang tua mereka.
"Tunggu dulu Dek, maksud aku bukan begitu. Apa selama ini kamu terpaksa mengurus ibu? Pahalanya besar loh," Tanya Arman sambil berlari menyusul Nita.
Nita menoleh, lalu dia membalikkan badannya. "Aku lelah Mas, sudah berapa kali aku bilang. Aku ini lelah Mas, bukan masalah pahalanya tapi aku kewalahan Mas," ucap Nita penuh penekanan.
"Aku juga sama lelah, aku juga sama kerja kayak kamu Dek. Aku gak pernah ngelarang kamu kerja dan memberikan sebagian uang kamu ke kampung untuk ibu dan adikmu. Kalau kamu lelah, kamu bisa berhenti bekerja dan dirumah ngurusin ibu..! Bagaimana?" Ucap Arman.
Nita diam, dia kemudian pergi. Percuma saja berbicara pada Arman. Lelaki itu tidak akan mengerti apa yang Nita mau, lelaki itu seakan merasa paling lelah dan mewajibkan Nita untuk mengurus sang ibu dengan baik. Seharusnya Arman juga membantu pekerjaan rumah, karena dalam rumah tangga itu perlu gotong royong, saling membantu.
Nita juga tidak mungkin berhenti bekerja karena gaji suaminya itu tidak cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya. Nita juga punya tanggungan ibu yang sudah tua di kampung dan tak mampu bekerja.
Nita menjatuhkan dirinya diatas ranjang, kemudian menangis dibalik selimut. Dadanya terasa sesak mengingat perjalanan rumah tangganya yang terasa pahit.
Dulu, ibu selalu menghinaku, tak pernah menganggapku menantunya, tak pernah menganggap anakku itu cucunya. Tapi kenapa saat sakit ibu malah bergantung padaku?, Pikir Nita.
"Astagfirullah…, Nita kamu gak boleh berpikir begitu..!" Gumamnya pelan.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Cen Li
mmg yg teraniaya dan tak di anggap...biasanya mantu yg baik
2023-07-25
1