Bab 4 Melihat Setan

Ibu dan Mira menemaniku tidur di kamar. Kami menggelar kasur lantai dan tidur berhimpitan bertiga. Sedangkan Bapak, beliau memilih untuk menggelar kasur di depan televisi. Ruang tengah yang di jadikan sebagai ruang keluarga menonton televisi berada tepat di depan kamarku. Sedang kamar Mira berada persis di sebelah kananku, dekat dengan ruang tamu. Sedang kamar Bapak dan Ibu ada di sebelah kiri kamarku, dekat dengan pintu dapur.

Malam begitu panjang ku rasakan. Suara hembusan nafas Ibu sudah terdengar. Sepertinya Ibu sudah tertidur. Begitu juga dengan Mira, nafasnya teratur dengan sedikit suara dengkuran keluar dari mulutnya yang sedikit terbuka. Sedangkan Bapak, sepertinya juga sudah terlelap karena terdengar suara nafasnya yang berat di depan pintu kamar. Kini hanya aku yang masih terjaga.

Dug...dug...dug...

Jantungku kembali berdegub kencang manakala terdengar suara langkah kaki seseorang berjalan di dapur. Suara langkah kaki seseoranh yang sedang mondar mandir seperti sedang mencari sesuatu. Aku meringkuk, memegang selimut kuat-kuat karena takut akan ada yang menariknya lagi dari bawah.

Suara itu masih terdengar. Aku mengatur nafas untuk tetap tenang, namun detak jantung tak pernah bisa berbohong. Aku melirik ke arah Ibu. Sepertinya Ibu juga mendengar, terlihat dengan sorot mata Ibu yang terbuka, menatap lurus kepadaku. Beliau memberikan isyarat padaku untuk tetap diam dengan meletakkan telunjuk jarinya di depan bibir. Aku mengangguk. Tangan Ibu memegang erat tanganku yang mulai dingin. Sedangkan Mira, dia masih tertidur pulas di sebelah kiri Ibu.

Suara dengkuran Bapak kini juga tak terdengar. Hanya ada suara langkah kaki yang berjalan mondar mandir dari dapur berjalan ke ruang tamu. Tentu saja melewati depan pintu kamarku dan juga melewati Bapak tidur. Namun tak ada suara apapun dari Bapak. Entah itu memang Bapak yang sedang mondar-mandir, atau memang ada orang lain selain Bapak. Kalau ada orang lain, entah mengapa Bapak hanya diam saja.

"Apa itu Bapak, Bu?" tanyaku lirih. Ibu menggeleng, entah apa maksudnya Itu.

Adzan subuh mulai berkumandang. Suara ayam jantan juga sudah mulai berkokok. Suara derap langkah kaki sudah tak terdengar lagi. Hanya suara deheman Bapak dari depan pintu kamar. Ibu bangkit dan beranjak menuju keluar. Aku turut serta di belakangnya. Sedangkan Mira, tentu saja dia masih pulas dalam tidurnya.

"Pak." panggilku lirih. Bapak yang sedang melipat kasur hanya melirik sekilas ke arahku. Lalu mengangkat kasur dan memindahkannya ke dalam kamar.

"Pak." panggilku lagi mengikuti langkah kaki Bapak menuju kamar.

"Ada apa, Nduk?" jawab beliau perlahan.

"Apa tadi Bapak yang mondar mandir di dapur?" tanyaku lirih. Bapak menggeleng. Tak ada obrolan lagi diantara kami. Bapak bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri di lanjutkan dengan menunaikan ibadah wajibnya.

"Nggak ke Mushola, Pak?" tanyaku lagi. Lagi-lagi Bapak hanya menggeleng. Ibu menyusul Bapak dan juga menunaikan ibadah Sholat subuh.

"Bangunkan adikmu, Yu. Lalu kalian Sholat juga." perintah Ibu. Aku mengangguk.

Tak ada obrolan di antara kami semua saat sarapan. Aku bergegas menghabiskan sarapan, begitu juga dengan Mira. Bapak sudah pergi ke ladang sejak pagi. Sedangkan Ibu sudah pergi ke rumah Budhe Narti setelah selesai bersih-bersih dapur.

Suasana sepi dan suram kini terasa saat aku dan Mira harus melintasi rumah Bu Nuri. Rumah yang besar dan megah itu kini kosong di tinggal mati oleh penghuninya. Aku bergidik ngeri saat mataku sempat melihat ke dalam melalui celah pintu pagar.

"Kenapa, Mbak?" Mira mengejutkanku.

Bergegas aku mempercepat langkah kaki tanpa mengindahkan pertanyaan Mira. Karena kalau di ladeni, pembahasan Mira pasti akan sampai ke hal-hal yang tidak perlu.

"Mbak, semalam di tungguin sama Bu Nuri, ya?" tanya Mira sambil berlarian kecil menghampiriku, sedangkan aku lebih memilih untuk tetap diam dan menambah kecepatan jalanku.

"Mbak, jangan cepat-cepat toh jalannya." sungutnya. Aku menghentakkan kaki ku ke tanah, menampakkan wajah sebal karena dia menanyakan tentang Bu Nuri terus menerus.

"Kalau iya memangnya kenapa? Kamu mau juga di tungguin?" tanyaku ketus.

"Dih, gitu aja marah. Lagian Mbak Ayu nggak berdoa dulu sebelum tidur." ucapnya sembarangan. Aku menempeleng kepalanya hingga membuatnya sedikit terhuyung.

"Awas aja, nanti malam gantian kamu yang di tungguin sama Bu Nuri." ancamku. Mira malah terkekeh. Aku menatap heran pada adikku itu. Tak ada sedikit pun rasa takut dalam dirinya. Mungkin karena dia masih kecil, masih sepuluh tahun. Jadi dia belum mengerti tentang bagaimana menakutkannya penampakan orang yang sudah meninggal.

"Aku sudah lihat, Mbak." jawabnya enteng. Aku mendelik, menampakkan bola mataku yang lebar ke arahnya. Sedangkan Mira malah semakin tertawa puas.

"Kapan?" aku menghentikan langkahku tiba-tiba, membuat Mira terjatuh kebelakang karena menabrak tubuhku di depannya. Sedangkan aku juga ikut terhuyung, mengingat tubuh Mira yang memang lebih besar ketimbang aku, kakaknya.

"Bilang-bilang dong, Mbak, kalau mau berhenti. Sakit nih." Mira menepuk-nepuk rok bagian belakangnya. Kini giliran aku yang tersenyum puas.

"Kapan?" aku mengulangi pertanyaanku.

"Kapan apanya?" aku menghela nafas kasar kali ini. Ku tahu Mira hanya memancingku untuk menyebut nama Bu Nuri saat ini. Kembali aku melotot ke arahnya.

"Kemarin sore. Pas aku mandi." jawabnya enteng. Aku masih terdiam, sedangkan Mira sudah berjalan mendahuluiku.

"Mira, dimana?" tanyaku lagi. Mira menoleh, namun tak menghentikan langkahnya untuk pergi ke sekolah.

"Di kamar mandilah, Mbak. Memangnya dimana lagi." jawabnya ketus. Aku masih syok mendengar ucapannya. Jika benar apa yang di ucapkan Mira, itu artinya arwah Bu Nuri benar-benar jadi arwah penasaran yang bergentayangan dimana-mana. Aku bergidik ngeri sendiri dan memilih untuk berlari cepat mengejar adikku itu.

Sampai di sekolahan, suasana kelas juga ramai dengan beredarnya rumor Bu Nuri yang mati membusuk di rumahnya. Apalagi di tambah cerita jika beberapa anak ada yang melihat Bu Nuri berdiri di lantai atas rumahnya saat surup.

"Iya, kemarin sore pas aku pulang main kesorean. Orangnya berdiri di atas, di samping jemuran. Lagi liatin ke arah pohon selatan rumahnya." cerita Siti teman sekelas maupun sepermainan Mira. Aku yang baru sampai di depan kelas memilih untuk berhenti sebentar mendengarkan cerita adik-adik kelasku itu.

"Parah lagi, semalam di rumahku malah Bu Nuri banting-banting piring di dapur. Tapi pas di tengok sama Bapak, tidak ada apa pun di dapur." kali ini gantian Tini, teman sepermainan Mira juga. Pantas saja kemarin Mira pulang main sudah terlalu sore. Ditambah nafasnya juga ngos-ngosan seperti baru saja di kejar setan. Rupanya dia memang benar-benar melihat setan.

Terpopuler

Comments

Ai Emy Ningrum

Ai Emy Ningrum

hantu nya bu Nuri kurang kerjaan 😏
drpd banting2 piring mending cuci tuh piring2 bebenah bersihin dapur,sama masak sekalian 😹😹😹

2023-05-07

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!