Bab 3 Jenazah Tak Di Sucikan

Jenazah Bu Nuri di periksa oleh tim medis dari Rumah Sakit terdekat. Karena tidak ada kerabat mau pun ahli waris, jenazah Bu Nuri tidak di bawa untuk di autopsi. Apalagi tidak terlihat adanya tanda-tanda kekerasan pada tubuh jenazah. Jenazah Bu Nuri di masukan ke dalam kantong jenazah setelah di siram sekedarnya untung membuang belatung-belatung yang menempel pada tubuhnya, dan daging-daging yang sudah mulai hancur berserakan di kumpulkan menjadi satu serta ikut di masukkan ke dalam kantong jenazah juga. Belatung-belatung yang masih bergerombol, di siram menggunakan minyak tanah dan bensin supaya cepat mati. Setelah semua mati, para tenaga medis di bantu oleh beberapa warga laki-laki membersihkan tumpukan belatung itu dengan menggunakan sekop besar dan memasukkannya ke dalam wadah. Setelah itu, semua ruangan di semprot dengan obat semprot serangga guna menghalau lalat-lalat hijau yang beterbangan dan hinggap di mana-mana.

Sore hari, suasana desa sudah terlihat sepi. Budhe Narti tak terdengar suaranya sejak tadi. Sejak jenazah Bu Nuri di semayamkan di pemakaman umum desa kami, warga desa lebih memilih untuk berdiam diri di dalam rumahnya masing-masing.

"Pak, apa tadi jenazah Bu Nuri sudah di sucikan dengan benar?" tanya Ibu mengingat tadi Bapak ikut menguburkan jenazah Bu Nuri.

"Bagaimana bisa di sucikan, Bu. Orang jenazahnya sudah hampir hancur begitu.

Hening, tak ada lagi obrolan antara Ibu dan Bapak. Hanya ada denting sendok yang beradu dengan gelas kopi milik Bapak. Mira entah kemana, biasanya sore-sore begini dia berkumpul dengan teman-temannya untuk bermain.

Brruuuggg

"Pak. Kata Lik Sum, kemarin lihat Bu Nuri berjalan dari jalan depan sendirian." tiba-tiba Mira masuk dan membanting pintu membuat kami yang di dalam di buat terkejut olehnya.

"Ini apa sih? baru pulang langsung heboh begini. Dari mana kamu?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan karena aku tahu persis kemana pembicaraan ini akan berlanjut.

"Ih, apa sih, Mbak." Ayu duduk di sebelah Bapak. Menyeruput kopi Bapak yang masih panas lalu meletakkan begitu saja setelah bibirnya terasa terbakar. Aku tertawa melihat tingkah konyol adikku yang memang sudah menjadi kebiasaannya setiap hari itu.

"Pak, Lik Sum bilang, kemarin dia papasan sama Bu Nuri di jalan depan sana." kembali Ayu mengulangi ucapannya. Kali ini aku lebih memilih untuk diam, menunggu kelanjutan cerita yang akan di sampaikan oleh adikku itu.

"Ngapain?" tanya Bapak biasa saja.

"Kata Lik Sum, Bu Nuri jalan begitu saja. Rambutnya tidak di ikat, tergerai begitu saja. Seperti biasanya yang kalau kita lihat itu." ucap Mira.

Bu Nuri memang sudah tak muda lagi, namun karena tidak memiliki anak, maka beliau selalu berdandan seolah dirinya masih muda. Memakai riasan wajah dan rambut di gerai memanjang begitu saja. Apalagi suaminya sudah meninggal, jadi Bu Nuri hidup menjanda sudah cukup lama. Namun sayangnya, Bu Nuri tidak pernah mau bersosialisasi. Makanya kemungkinan tak ada laki-laki yang mendekatinya karena hidupnya amatlah sangat tertutup.

"Kata Lik Sum, Bu Nuri juga menjawab saat di sapa. Tidak seperti biasanya yang hanya akan berdehem jika ada yang menyapanya." ucap Mira lagi.

"Lalu kamu itu dari mana?" tanya Bapak pada Mira.

"Mira dari rumah Siti, Pak. Disana banyak yang bercerita tentang Bu Nuri." jawab Mira sambil tertawa.

"Kamu berani pulang sendiri? Nanti kalau di cegat sama Bu Nuri baru tahu rasa." ucapku kesal. Apalagi rumah Siti memang melewati samping rumah Bu Nuri. Hanya saja tidak akan tampak halaman rumah Bu Nuri dari jalanan karena memang terhalang pagar tembok yang tinggi.

"Nggak, ya, Mbak. Buktinya aku sudah pulang sampai rumah dengan selamat." ucapnya sambil berlalu. Ibu menjewer telinganya karena terus-terusan menceritakan tentang Bu Nuri dan tak pergi untuk mandi meskipun hari sudah hampir gelap. Aku tertawa puas melihatnya meringis kesakitan.

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan Bu Nuri, Pak?" terdengar suara Ibu bertanya pada Bapak. Aku yang sedang berada di kamar masih mampu mendengar Bapak dan Ibu mengobrol di ruang tengah. Mira sepertinya masih menonton televisi, terdengar suara televisi sedang menyiarkan acara kesukaan adikku itu.

"Kata orang Rumah Sakit tadi, kemungkinan besar Bu Nuri sakit jantung. Lidahnya keluar, bibirnya juga membiru. Namun tidak ada bekas luka cekikan di leher, jadinya bisa langsung di makamkan karena tidak ada tanda-tanda kekerasan pada tubuhnya." ucap Bapak. Syukurlah Bapak dan Ibu tidak menceritakan sesuatu yang menyeramkan soal Bu Nuri. Bisa-bisa aku begadang semalaman karena menahan rasa takut karena mendengar cerita seram malam-malam.

Detik jarum jam terdengar jelas. Mataku mengerjap, memperjelas penglihatan menatap jarum jam yang tergantung di atas pintu kamar, masih pukul satu malam rupanya. Kembali aku menari selimut, berniat untuk melanjutkan tidur. Namun usahaku tak berhasil, selimut yang berada di bawah kakiku sangat sulit ku tarik. Seperti tersangkut sesuatu. Aku menarik lebih kuat lagi, berharap kali ini bisa di tarik.

"Ih, nyangkut apaan sih?" aku bangun dan berniat mengambil selimut.

"Loh?" selimut dengan gampangnya ku ambil. Bahkan tidak tersangkut apapun. Apalagi memang di bawah ranjang tidak ada apapun selain lantai kamar.

Ku tutup rapat-rapat selimut hingga ke atas kepala, berbaring menghadap ke tembok dan mencoba menetralisir rasa takut.

Deg

Detak jantungku berpacu semakin cepat. Bahkan tubuhku kini di banjiri oleh keringat dingin yang mengalir deras membanjiri seluruh tubuh. Bunyi krieeett pada ranjang terdengar di bawah kaki. Ranjang bergerak perlahan, seperti ada seseorang sedang bergerak perlahan menaiki tempat tidur. Aku menangis, namun mulut ku tahan dengan telapak tangan untuk menghindari suara terdengar hingga luar selimut.

Astaghfirullahaladzim." berkali-kali ku ucap istighfar untuk mengurangi debar jantung.

Hembusan nafas terasa dingin di tengkuk leher. Aku semakin mempererat selimut agar tetap menutupi seluruh tubuh. Terasa dari bawah sana seseorang sedang berusaha menarik selimut ke bawah. Namun sekuat tenaga juga aku mempertahankannya.

Lampu kamar tiba-tiba padam. Aku berteriak memanggil Ibu dan Bapak. Secepat kilat pintu di buka dari luar. Ibu memeluk tubuhku dan aku menangis sesenggukan di pelukannya.

"Sudah, sudah. Tidak apa-apa, Nduk." Ibu masih memelukku. Sedangkan Bapak datang membawa segelas air. Segera ku teguk air di gelas hingga tandas. Mira masuk ke kamar sambil mengucek-ngucek mata. Sepertinya dia juga terbangun saat mendengar teriakanku.

"Bu, Bu Nuri datang kesini." ucapku di antara sela-sela isak tangisku. Ibu tak menjawab, beliau hanya mengusap-usap punggungku.

"Sudah, sudah. Nanti kamu tidur sama Mira, ya?" ucap Ibu setelah aku sedikit lebih tenang.

"Di kelonin sama Bu Nuri, Mbak?" tanya Mira tanpa di pikir lebih dulu sebelum mengucap. Ibu melotot ke arahnya, sedangkan yang di pelototi hanya tersenyum sambil garuk-garuk kepala.

Terpopuler

Comments

🥰Siti Hindun

🥰Siti Hindun

kalau tarik2n slimut sma ayang sih seru,lah..ini tarik2n slimut sm setan😣😣

2023-10-22

0

⍣⃝ꉣꉣAndini Andana

⍣⃝ꉣꉣAndini Andana

iiih tarik2an selimut sama hantuuuu 👻👻👻

2023-05-07

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!