Siang hari, saat aku pulang dari sekolah, terlihat sekitar rumah Bu Nuri sudah ramai dengan warga sekitar. Dari kejauhan sudah terdengar suara ribut yang berasal dari warga yang saling bersahutan memanggil nama sang empunya rumah.
"Mungkin kosong, Pak." ucap Budhe Sumi, tetangga belakang rumah Bu Nuri. Rumah Budhe Sumi berada di belakang persis rumah Bu Nuri, hanya saja terhalang dinding tembok yang sangat tinggi milik rumah Bu Nuri.
"Tidak mungkin orangnya pergi, Budhe. Tiba-tiba Mira datang dan ikut memotong pembicaraan para orang tua tersebut.
"Sssttt... sini." aku menarik lengan baju adikku yang sok tahu itu. Namun Mira malah menepis tanganku dengan kasar.
"Pak, tidak mungkin Bu Nuri pergi. Lihat saja, lampunya tidak pernah menyala selama beberapa hari ini." ucap Mira lantang sambil telunjuknya menunjuk lampu yang tergantung di atas teras rumah Bu Nuri. Sedangkan aku lebih memilih untuk diam saja. Benar saja apa yang di katakan adikku itu. Biasanya Bu Nuri akan menyalakan lampu teras rumahnya jika akan di tinggal pergi. Tapi beberapa hari ini, keadaan rumah besar dan megah itu memang dalam keadaan gelap gulita selama beberapa hari. Itu artinya, Bu Nuri masih berada di dalam rumah dan tidak pergi kemana-mana.
"Nduk, pulang." Ibu melotot ke arahku dan Mira. Tentu saja Ibu tak ingin kami ikut campur masalah orang dewasa. Namun bukan Mira namanya jika ia akan langsung menurut apa kata Ibu. Benar saja, Mira malah semakin maju ke depan. Memukul-mukul pagar besi milik Bu Nuri dengan menggunakan batu hingga membuat kegaduhan.
Kasak kusuk terdengar suara dari kerumunan warga. Bukan karena melihat tingkah Mira yang sembrono, namun mereka membahas aroma bangkai yang semakin tercium kuat dari dalam rumah Bu Nuri.
"Coba Pak RT, bagaimana kalau ada yang menerobos masuk ke dalam." ucap Pakdhe Yoso, suami Budhe Sumi.
Akhirnya atas persetujuan dari Pak RT, Pakdhe Sumi dan Bapak memanjat pagar rumah milik Bu Nuri yang sangat tinggi. Dengan bantuan tangga dan juga bapak-bapak warga sekitar, akhirnya Pakdhe Yoso dan Bapak berhasil masuk ke dalam pagar. Terlihat Pakdhe Yoso menutup hidungnya dengan telapak tangan saat mendekati rumah Bu Nuri. Sedangkan Bapak membukakan gerendel pagar rumah Bu Nuri agar yang lainnya bisa ikut masuk tanpa perlu memanjat lagi.
Bu Nuri tak memiliki keluarga disini. Bahkan setahu kami, Bu Nuri juga tak memiliki anak. Untuk keluarganya, kemungkinan semua berada di luar pulau mengingat Bu Nuri dan almarhum suaminya merupakan pendatang di desa kami. Bu Nuri dan suaminya merupakan orang yang sangat tertutup. Jangankan untuk sekedar berbaur dengan tetangga, menyapa saat berpapasan saja mereka enggan. Makanya kami para tetangga tak begitu mengerti tentang kehidupannya.
"Bagaimana, Kang?" Bapak menghampiri Pakdhe Yoso yang terlihat sedang mengintip melalui jendela rumah Bu Nuri. Mira pun turut serta, memang dia selalu ingin tahu dengan apa yang dia lihat.
"Ada orang tiduran di lantai, Ton." terdengar jawaban dari Pakdhe Yoso, memang Pakdhe Yoso selalu berbicara dengan suara keras, sehingga siapa saja bisa mendengarnya.
Bergegas Pak RT dan beberapa pria termasuk Pakdhe Narto, suami Budhe Narti turut serta masuk ke halaman rumah Bu Nuri.
"Dobrak saja, Pak." seru Bapak pada Pak RT yang terlihat sedikit gelisah dengan apa yang beliau lihat.
"Keluar...keluar...keluar..." Bapak menghalau Mira yang mengikuti Bapak masuk ke dalam rumah Bu Nuri. Terlihat wajah Mira yang di tekuk karena tidak di perbolehkan ikut masuk oleh Bapak. Sedangkan di dalam sana, terdengar suara orang sedang muntah-muntah entah karena apa.
Aku menyusul Mira yang berjalan cepat pulang kerumah. Aku yang masih memakai seragam sekolah pun memutuskan untuk mengikuti Mira yang berjalan cepat dengan wajah kesal.
"Mbak, tahu nggak?" tiba-tiba Mira yang berjalan cepat langsung menghentikan langkahnya dan memutar badannya kebelakang membuatku terkejut dan hampir menabraknya.
Pllaaakkk
"Aduh, sakit, Mbak." ucapnya sambil mengusap-usap pundaknya yang terkena pukulanku.
"Lagian, ngapain berhenti tiba-tiba. Untung nggak ku tabrak kamu." jawabku sewot. Sedangkan Mira hanya terkekeh.
"Mbak, mau tahu nggak tadi apa yang ku lihat?" tanyanya dengan suara berbisik. Aku yang sebenarnya juga penasaran dengan apa yang terjadi di rumah Bu Nuri, akhirnya aku mendekatkan telingaku ke bibir Mira untuk mendengarkan apa yang ingin ia katakan.
"Bu Nuri meninggal. Mayatnya membusuk, belatungnya besar-besar memenuhi hampir seluruh tubuhnya." Mira bercerita sambil sesekali bergidik. Aku mual membayangkan kondisi Bu Nuri saat di temukan.
"Tapi aku nggak sempat lihat wajahnya. Padahal aku penasaran sekali, sayangnya tadi wajahnya tertutup rambut dan menghadap ke tembok." ucap Mira melanjutkan ceritanya.
"Terus, Mbak." belum sempat Mira melanjutkan ceritanya, aku langsung memberikan isyarat padanya untuk berhenti bercerita. Aku memilih untuk berlari pulang kerumah dan bergegas menuju kamar mandi. Ku muntahkan semua isi perutku karena mual membayangkan kondisi Bu Nuri. Sedangkan panggilan Ibu tak sedikit pun ku hiraukan.
"Mbak... Mbak Ayu." terdengar suara Mira memanggil namaku. Namun aku masih saja berusaha untuk mengeluarkan isi perutku karena rasa mual yang tak kunjung reda.
"Mbakmu kenapa itu, Nduk?" terdengar suara Ibu bertanya pada Mira.
"Ibu belum tahu?" ku lihat Mira duduk di dekat Ibu yang sedang memarut kelapa. Aku keluar dari kamar mandi dan segera meneguk habis air dingin dalam lemari es. Mira tertawa melihat tingkahku, dia tahu persis jika aku sangat penakut dan mudah jijik dengan segala sesuatu meskipun hanya melalui cerita. Beda dengannya yang tomboi dan pemberani, bahkan bisa di bilang Mira tak takut pada apapun.
"Ada apa, toh sebenarnya?" Ibu sepertinya juga penasaran.
"Tunggu, biarkan aku masuk kamar dulu. Baru kamu boleh bercerita sama Ibu." ucapku dengan wajah kesal. Mira malah semakin terbahak dengan tingkahku.
"Bu Nuri meninggal, Bu. Mayatnya busuk, banyak belatungnya besar-besar. Bahkan sampai merembet ke ruang tamu dan kamar." bukan Mira namanya kalau menuruti apa kata orang lain. Tak peduli aku yang masih berdiri di ambang pintu, dia malah bercerita dan menjelaskan secara detail kondisi jenazah Bu Nuri pada Ibu. Terlihat Ibu bergegas membereskan pekerjaannya dan berjalan cepat kedepan. Sudah bisa di tebak, Ibu pasti akan ke rumah Bu Nuri untuk melihat kondisi di sana.
"Mira, matikan kompornya. Kalian di rumah saja. Jangan ada yang kesana." perintah Ibu pada kami.
"Mbak, mau kemana?"
"Kekamarlah, tidur." jawabku ketus.
"Awas, Mbak. Nanti di temenin sama Bu Nuri." ucap Mira dengan suara lantang.
Buuuggg...
Ku lempar sepatu yang belum ku lepas dari tadi ke arahnya. Sayangnya tak berhasil mengenai sasaran. Sepatu yang seharusnya mengenai Mira, malah meleset dan mengenai panci milik Ibu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Isnaaja
awas,nanti kamu dimarahin ibu.
2024-03-17
0