Rumah Hantu
"Kok seperti bau bangkai, ya, Nduk?" tanya Budhe Narti saat melintas di depan rumah. Aku dan Ibu yang sedang duduk-duduk di teras sambil mengupas bawang menoleh ke sumber suara.
"Tidak tahu, Budhe. Sudah sejak pagi baunya sudah ada." jawabku.
"Iya, ya. Sudah dari kemarin malah baunya tercium sampai sini." Ibu turut menimpali. Budhe Narti ikut duduk di teras, bersandar pada tiang di ujung sebelah Utara. Sedangkan aku dan Ibu, duduk agak di tengah. Tepat di depan pintu utama.
"Sini, Mbakyu. Jangan disitu, suka banyak semut." ucap Ibu pada Budhe Narti.
Budhe Narti segera beranjak dan duduk mendekat ke arah kami. Seperti biasanya, Budhe Narti akan menghabiskan waktu siangnya untuk berkumpul bersama kami di rumah. Meskipun hanya untuk sekedar mengobrol, rebahan di teras maupun membuat rujak bersama.
"Tuh, baunya sangat kuat kalau ada angin kesini." Budhe Narti menutup hidungnya dengan kerah bajunya. Ibu juga terlihat sedikit risih dengan aroma yang menurutku ini sudah sangat kuat tercium sejak pagi tadi saat aku melintas di depan rumah Bu Nuri, rumah paling pojok di pertigaan arah jalan raya.
"Mungkin ada bangkai tikus atau ular, Mbakyu. Bisa jadi juga bangkai kucing. Akhir-akhir ini aku melihat ada kucing sakit jalan mondar-mandir di sekitar sini." ucap Ibu sambil mengamati sekitar. Sedangkan aku hanya fokus mengupas bawang.
Budhe Narti tak menjawab. Beliau malah sibuk menahan mual karena aroma bangkai yang tercium semakin kuat saat angin berhembus ke arah kami.
"Coba nanti Bapakmu suruh cari, Nduk. Siapa tahu ada bangkai binatang. Penyakit lo ini jika dibiarkan seperti ini." perintah Budhe Narti padaku. Budhe Narti merupakan kakak sepupu dari Bapak. Rumah Budhe Narti dengan rumahku hanya berjarak sekitar lima meter, dan hanya di batasi oleh sebuah kebun kosong milik Ibu.
"Iya. Budhe." jawabku singkat.
"Mbakyu, mau pisang goreng? Tadi pagi aku goreng pisang. Kalau mau ambil ke dalam." pinta Ibu pada Budhe Narti.
"Kamu itu gimana, Dik Tri. Orang lagi mual begini malah di tawari pisang goreng. Enggaklah, perutku rasanya jadi nggak karuan. Aku tak pulang saja, ya. Kalian masuk sana. Nggak sehat kalau menghirup aroma bangkai ini." perintah Budhe Narti. Beliau langsung saja beranjak pulang, terlihat Budhe terlihat sangat buru-buru saat memakai sandalnya. Bahkan sampai tertukar kanan dan kirinya.
Hoooeeekkk... hooeeekkk...
Spontan aku dan Ibu menoleh ke asal suara. Budhe Narti muntah-muntah di pinggir jalan. Aku dan Ibu segera menghampirinya.
"Ambilkan minyak angin, Nduk." perintah Ibu. Aku langsung berlari menuju rumah untuk mengambil minyak angin untuk Budhe Narti.
Ibu menggosok-gosok tengkuk leher Budhe Narti sambil sesekali menepuk-nepuk perlahan punggung Budhe Narti.
"Ini, Bu." ku serahkan botol minyak berwarna hijau itu pada Ibu. Secepat kilat, Ibu membalurkan minyak angin ke dahi maupun bawah hidung Budhe Narti. Budhe Narti tampak lemas. Meskipun sudah tak ada yang beliau keluarkan, namun Budhe Narti masih berusaha untuk memuntahkan lagi isi perutnya.
Ibu memapah tubuh Budhe Narti menuju rumahnya. Tubuh Budhe Narti tampak sangat lemas.
"Ayu, kamu masuk saja sana. Lanjutkan mengupas bawangnya di dalam." perintah Ibu. Aku bergegas pulang dan menutup pintu rapat-rapat. Aroma bangkai saat ini memang mampu membuat pusing kepalaku dan membuat isi perutku seperti di aduk-aduk.
Sore hari, aku dan Ibu lupa memberitahukan soal bau bangkai pada Bapak. Hingga malam tiba, tak ada satupun dari kami yang membahas soal aroma bangkai yang tercium sejak pagi. Apalagi di tambah aroma itu sudah tidak tercium saat sore hari.
Hingga pagi harinya, Budhe Narti kembali datang dan meributkan soal bau bangkai kepada Ibu. Kali ini Bapak masih di rumah, belum berangkat ke ladang untuk menyiangi tanaman.
"Apa kamu sudah bilang sama Anto soal bau bangkai kemarin, Dik Tri?" tanya Budhe Narti sesaat setelah menjatuhkan bobot tubuhnya di bangku belakang.
"Oh, iya. Aku lupa, Mbak. Semalam sudah tidak tercium aroma bangkainya lagi. Sejak sore malah. Soalnya aku sama Ayu sibuk di belakang. Jadi keterusan lupa sama bau bangkai kemarin itu." jawab Ibu sedikit merasa bersalah. Sedangkan aku hanya tertawa cekikikan mengingat kami berdua tak ada yang mengingat pesan dari Budhe Narti.
"Sekarang dimana Anto?" Budhe Narti bangkit dari kursi dan hendak mencari Bapak yang sedang berada di kamar mandi.
"Masih di kamar mandi, Budhe. Tunggu saja." pintaku. Kembali Budhe duduk di bangku belakang, menunggui Ibu yang sedang menyelesaikan memasak. Sedangkan aku dan Mira, adikku sudah bersiap-siap ke sekolah. Tak perlu menunggu masakan Ibu matang, kami berdua selalu makan pagi dengan lauk telur ceplok setiap hari.
"Memangnya masih bau, Budhe?" tanyaku penasaran. Karena memang sejak pagi aku belum keluar rumah melalui pintu depan. Budhe Narti mengangguk.
"Belum, Nduk. Malah sekarang baunya makin kuat. Apalagi banyak lalat hijau beterbangan di sana." tangan Budhe Narti menunjuk ke pertigaan, rumah Bu Nuri. Seorang wanita pensiunan yang hidup seorang diri di sebuah rumah mewah. Ya, beliau merupakan orang kaya di kampung. Bahkan rumahnya sangat besar, jauh lebih besar ketimbang rumah kami para tetangganya. Bahkan rumahnya di pagari dengan pagar tembok yang tinggi menjulang, dan masih di tambah dengan besi di atasnya. Seolah-olah si penghuni rumah sengaja memisahkan diri dari tetangga sekitar, menutup rapat rumahnya dengan pagar sehingga tidak ada satupun tetangga yang bisa melihatnya. Namun dari rumah ku yang berada di samping depan rumahnya, bisa sedikit melihat Bu Nuri saat beliau sedang berada di lantai dua rumahnya. Biasanya Bu Nuri berada di sana untuk menjemur pakaian. Selepas itu, tentu saja beliau akan kembali turun dan tak akan pernah terlihat di luar rumah jika tidak sangat di perlukan. Untuk berbelanja makanan saja Bu Nuri harus pergi ke pasar tengah kota atau bahkan di supermarket besar, berbeda dengan kami, yang lebih memilih untuk berbelanja di tukang sayur keliling.
"Bangkainya Bu Nuri mungkin, Budhe." tiba-tiba saja Mira menyeletuk saat melihat jari Budhe Narti menunjuk ke arah pertigaan. Aku yang sedang memakai sepatu di sebelahnya, sontak saja tangan ini reflek memukul kepalanya karena sudah sembarangan berbicara.
"Sakit, Mbak." Mira meringis sambil mengusap-usap belakang kepalanya.
"Rasain, siapa suruh bicara sembarangan." ucapku ketus. Budhe Narti tidak menjawab ucapan Mira. Yang ada wajah Budhe Narti tiba-tiba berubah pias, hingga terlihat pucat.
"Sudah-sudah, mau sampai kapan kalian ribut terus. Lihat, sudah jam berapa sekarang?" Ibu mengangkat gagang penggorengan ke arah kami. Aku langsung memilih untuk bangkit dan berpamitan pada Ibu. Mencium tangan beliau dengan takzim seraya meminta doa restu untuk ilmu yang akan ku cari hari ini. Begitu juga Mira, dengan sedikit berlarian karena belum selesai memakai sepatunya, ia berusaha mengejarku yang sudah berjalan lebih dulu di depannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Isnaaja
apa gak bosen makan telur ceplok setiap hari?/Facepalm/
2024-03-17
0
🥰Siti Hindun
mampir lg aku kak☺️
2023-10-22
0
Mia Roses
mampir kak
2023-05-13
0