Episode Kesatu (POV Satria)

Perkenalkan, namaku Satria. Usia 21 tahun. Mahasiswa jurusan teknik sipil semester lima.

Anak pertama dari tiga bersaudara dan dua adik perempuan semua.

Ini adalah cerita sedihku. Karena baru saja diputuskan cinta oleh Dara.

Sial betul nasib diri ini. Diputus cinta saat sedang sayang-sayangnya.

Tapi, apa mau dikata. Nasi sudah menjadi bubur. Dara lebih memilih Wildan untuk jadi tunangannya ketimbang Aku yang cuma mahasiswa belum berpenghasilan ini.

Memang betul pribahasa. Yang berjuang akan kalah dengan yang beruang.

Hhh...

Mengingat kesedihan ini kembali menorehkan luka di hati.

Aku gegana. Gelisah, galau merana.

Pasalnya, berpacaran dengan Dara bukanlah dalam waktu yang singkat. Setahun baru saja lewat. Bahkan baru sebulan kami merayakan anniversary hubungan yang tepat setahun itu di sebuah wahana taman hiburan.

Bibirnya..., hangat diku++m bibirku.

Dadanya, menempel k+nyal di dadaku.

Kenapa secepat itu cintanya berpaling dari cintaku.

Tragisnya. Dan Aku hanya bisa termenung memikirkan langkah yang dipilih Dara.

"Hei, bor! Bengong mulu luh! Kesambet setan baru nyaho Lo!"

Fajar, teman satu jurusan yang baru saja datang ke kamar kost-an ku langsung memberondong kalimat ngasal. Dan langsung kusambit dia dengan sendal swallow bututku karena telah mendoakan yang buruk secara tidak langsung.

Betewe Aku memang nge-kost hampir satu tahun belakangan ini di dekat kampus. Jadi cukup jalan kaki sehat tanpa harus menggunakan kendaraan meskipun Aku punya si bebek butut.

Itu kulakukan untuk menghemat waktu dan biaya hidup yang harus bolak-balik rumah ortu ke kampus yang butuh waktu hampir sekitar dua jam-an. Itu belum dihitung kemacetan yang kadang menghadang jika aku berangkat ngampus kesiangan.

Setelah adu argumen dengan Mama dan Papa, akhirnya mereka memberiku izin dengan note catatan : harus bisa menjaga nama baik harkat dan martabat keluarga. No drugs, no begadang. No free s+x dan no nongkrong di klub malam.

Uang saku dibatasi dan setiap minggunya harus pulang ke rumah mereka. Minimal setor wajah kalau anak gantengnya ini tidak membuat masalah.

Begitu peraturan mereka.

"Siap, Paduka! Perintah Paduka Yang Mulia Raja akan hamba laksanakan!" jawabku dengan candaan tempo hari setelah deal dengan kesepakatan yang dibuat Papa dan Mama.

Aku, anak pertama dan laki-laki pula. Dua adikku perempuan. Nayla 17 tahun dan Soraya 13 tahun. Sedangkan umurku sendiri 21 tahun.

"Sat, malmingan naik gunung yuk?"

Seketika mataku membulat. Ajakan Fajar yang menarik hati.

"Emang Lo ga ngapel si Lolita?"

"Ga. Dia lagi jalan sama nyokapnya. Mumpung gue free nih. Kita ke Pangrango atau Gunung Gede gitu. Si Iyus sama si Tio juga lagi kosong jadwal. Gimana?"

"Ayo, gue mau!"

"Oghey!"

Fajar segera mengontak kedua temannya yang juga suka mendaki gunung. Kami pernah mendaki bersama dibeberapa kesempatan, sehingga Aku juga mengenal Tio dan Yusman secara personal.

Kami memang beda jurusan walaupun satu kampus. Sedangkan dengan Fajar, mereka berdua adalah teman SMA.

...🌹🌹🌹🌹...

Seperti yang telah disepakati bersama, kami pergi berempat untuk naik gunung. Tetapi diperjalanan sebelum ke puncak, ternyata ada kejadian musibah bencana alam yang tidak disangka.

Bumi diguncang gempa yang lumayan besar meskipun hanya terjadi sekitar beberapa menit saja.

Tentu saja hal ini membuat penjaga pintu gerbang pendakian membuat larangan naik gunung. Keputusan mendadak ini dikeluarkan oleh pihak terkait untuk menjaga terjadinya gempa susulan yang dikhawatirkan akan ada longsoran tanah atau tebing di sekitar pendakian.

"Yaaa... kita gagal naik ke puncak, bor!"

Aku kecewa karena tidak bisa melanjutkan perjalanan sampai ke puncak.

Alhasil kami hanya bisa duduk-duduk rehat di sekitar kawasan kaki gunung gerbang pendakian sebelum kembali pulang ke kota.

Se-cup kopi panas dan pisang goreng menjadi pengobat kekecewaan hati yang gagal mendaki.

Hingga tiba-tiba, mataku melihat sebuah lubang bening sangat besar menuju jalan hutan Pinus yang tak jauh dari warung kopi sederhana.

"Apaan tuh?"

Semua menoleh melihat ke arah jari telunjukku.

"Hahh? Apaan sih?"

"Lu ngagetin, deh! Ga ada apa-apa juga! Gue kira ada big foot!"

Aku kaget ternyata hanya Aku saja bisa melihat bundaran besar bening seperti cermin tembus pandang. Sementara yang lain justru tidak melihatnya. Bahkan ketika temanku justru meledek penglihatanku yang buram gara-gara putus cinta dari Dara.

Hhh... Mungkin juga. Keluhku dalam hati.

Jujur kesal, karena mereka malah mengatakan satu nama yang sedang berusaha kulupakan.

Dara. Dara lagi, dan semua karena Dara.

Hm. Kuteguk kopi yang mulai dingin sambil tersenyum miris.

Kopi pahit, tapi lebih pahit lagi perjalanan cintaku bersama gadis cantik bernama Dara. Kukira Dara akan berbeda dengan perempuan lainnya yang suka harta, tahta dan perhiasan dunia. Nyatanya..., sama saja.

Mataku lagi-lagi menoleh ke arah bundaran yang bak pusaran lubang dunia lain itu.

Du_dunia lain? Apa iya? Betulkah itu pusaran dunia lain?

Aku kembali melengos.

Mencoba berfikir realita. Mana ada lubang dunia lain kecuali emang fikiran lagi kurang beres dan mata ikutan sekongkol dengan fikiran. Begitu gumamku dalam hati.

Hingga tiba-tiba Fajar dan Yusman berlari ke arah pusaran itu sambil berteriak senang.

"Jar, Jar... Lo cegat disana! Jangan sampe lolos, Jar!"

"Ayo cepetan! Tar keburu kabur, Man!"

Aku menoleh pada Tio.

"Apaan sih?"

"Kayak kelinci Anggora! Warnanya langka!"

Aku tahu, Yusman adalah pecinta hewan. Rumahnya punya kebun binatang mini, sehingga tidak aneh jika Ia semangat mengejar kelinci hutan yang berada di sekitar sana.

Tapi,

Ehh?

Mereka..., mereka melewati lubang besar yang tembus pandang itu!!!

Sontak Aku berdiri.

"Fajar! Yusman!" pekikku kaget.

Mereka menghilang dari pandangan.

"Tio, mereka hilang!"

"Entar juga mereka balik. Orang masih kawasan gerbang pendakian koq! Ga mungkin hilang!"

Tapi Aku was-was, Fajar dan Yusman masuk hutan dan kesasar.

"Pak, disana itu hutan kah?" tanyaku pada bapak pemilik warung kopi yang sudah cukup tua.

"Iya, Den! Hutan Hitam, orang menamakannya. Sebenarnya itu hutan konservasi. Jadi memang dirawat dan dijaga kelestariannya juga hewan-hewan yang tinggal di dalamnya."

"Nah tuh denger sendiri! Kelinci itu punya hutan Hitam. Hutan konservasi pemerintah."

Aku bergegas berdiri. Hendak beranjak menuju lubang besar yang terus berputar-putar pinggirannya.

"Sat!"

"Gue mau susul mereka!"

"Ikut! Pak, titip ransel ya, Pak?!" Tio bercengkrama sebentar dengan Bapak pemilik warung kopi yang mengangguk lengkap dengan senyuman.

"Yo! Beneran Lo gak liat lubang besar itu?" tanyaku penasaran dan mencoba bertanya sekali lagi serius pada Tio. Siapa tahu tadi dia dan Fajar serta Yusman sekongkol mengerjai ku.

"Lubang apaan, Sat? Lubang an+s?"

"Njiirr!"

Plak.

Kugeplak kepala Tio yang terkekeh.

"Sakit, gila!" tukasnya sambil mendorong tubuhku hingga masuk ke area lubang besar bening seperti kaca yang tembus.

Jeleggerrr...

Petir tiba-tiba menyambar dan hujan turun langsung deras tanpa tanda-tanda sebelumnya. Tio segera berlari ke arah saung warung kopi sementara Aku kebingungan sendirian. Tio paling takut petir, sehingga Ia dengan cepat cari aman.

"Yo, Fajar sama Yusman!" teriakku disela-sela suara gemuruh hujan dan petir yang bersahutan.

"Ntar juga mereka balik!" jawab Tio juga dengan teriakan.

"Hadeuh!"

Tapi Aku yang berada di perbatasan lubang besar itu menggalau sebentar.

Fajar dan Yusman masuk ke dalam hutan Hitam. Meskipun kami sudah pernah beberapa kali mendaki gunung ini, namun hutan Hitam kurang familiar dan kurang populer di telinga kami.

Kuputuskan untuk melanjutkan langkah, masuk ke dalam.

"Hei! Tunggu! Dilarang masuk ke dalam hutan!"

Aku terkejut. Seorang penjaga kawasan hutan konservasi itu mencegahku masuk.

Wajahnya sangar dan tingkahnya rada arogan.

"Teman saya dua orang ada di dalam, Pak!"

"Tidak boleh! Berbahaya apalagi baru saja gempa! Silahkan pergi dari sini!"

"Pak, saya ga bohong, beneran dua orang temen saya itu ada di dalam!"

"Hujan deras. Silahkan tunggu di warung kopi. Biar saya dan polisi kehutanan setempat yang mencari teman-teman adik!"

Aku kecewa, mereka menghalauku yang kadung basah terguyur hujan lebat.

Tapi tetap saja, mereka yang berbadan tinggi besar dan berwajah garang itu mendorong tubuhku agak kuat ke arah warung kopi. Mencegahku masuk mencari dua temanku yang terperangkap di dalam hutan.

^^^TO BE CONTINUED^^^

Mohon dukungannya 🙏🙏🙏

Like, subscribe dan komentar 🙏🙏🙏

Andaikan berkenan, vote sama gift boleh lah 🫣🤭😁😁😁

Salam sukses buat semuanya 💪💪💪

Terpopuler

Comments

Oziq Sinichi

Oziq Sinichi

lanjuut Thor

2023-05-23

0

Elisabeth Ratna Susanti

Elisabeth Ratna Susanti

dari namanya pasti keren dan tampan nih 😍

2023-05-07

0

TK

TK

semangat Thor ✍️

2023-04-10

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!