Bab 05

Kaki Maharani berjalan tertatih tak tentu arah, sambil menangis dan terus membayangkan betapa teganya orang yang ia cintai selama ini telah menghancurkan hati dan perasaannya. Pernikahan yang mereka bangun kurang lebih dari lima tahun kini telah ternodai dengan kehadiran wanita lain di dalam pernikahannya. Kekhawatiran yang Marani takutkan selama ini telah menjadi kenyataan, dengan kehadiran sang mertua membawa peran yang sangat berdampak negatif untuk pernikahannya, belum lagi sang mertua selalu menuntut Maharani agar memberikan seorang cucu dengan menikahkan Agam dengan wanita pilihannya.

Hati wanita mana yang tidak sakit melihat dengan mata kepalanya sendiri, jika suami yang sangat ia cintai dan sangat ia percaya telah mendukan cintanya tepat di depan matanya. Hancur sudah perasaan Maharani.

"Hikkkksssss, hiiiikkkkkssss, hikkkkkkssss..." Maharani terus saja menangis tanpa memeperdulikan kendaraan yang lewat melintas. Tatapan mata orang sekita terus saja menatap Maharani yang saat ini masih terus berjalan.

Tujuan Maharani tak tentu arah. Dia terus saja berjalan mengikuti langkah kaki kemana akan melakang. Gelapnya malam seakan mengerti dengan kegelapan hati maharani, suara guntur dan petir yang menyambar seakan juga ikut mengerti tentang kondisi yang Maharani rasakan. Marah, kecewa, hancur semua menjadi satu. Tidak ada tempat baginya untuk mengadu. Hanya bisa meluapkan emosi, dengan tangis.

Rintik-rintik air hujan kini terjatuh membasahi bumi, dan juga kini telah membasahi seluruh tubuh Maharani. Satu persatu keramaian kini menjadi sepi, kala semua orang bubar untuk menghindari rintihan hujan. Namun, berbeda dengan Maharani, ia tidak menepi atau berteduh sama sekali. Ia masih tetap terus melangkah. Derasnya hujan membuat tangis Maharani semakin kencang.

"Apa salahku?? Kenapa suami yang begitu aku cintai tegah menyakitiku." Teriak Maharani meluapkan isi hatinya. Hingga beberapa saat kakinya kehilang kekuatan untuk berjalan. Tubuh Maharani merosot hingga terduduk di atas trotoar.

"Apa salah ku???" Lirih Maharani sambil memukul-mukul dadanya yang terasa nyeri dan sesak. "Apa salahku., hikkkssss, hikkkkss, hikkkkssss,."

Beberapa saat lampu mobil menyilaukan Maharani, namun tak membuat Maharani berpaling dari tempatnya. Seorang pria yang kebetulan lewat langsung menepikan mobilnya, dan mengambil payung lalu turun dari mobil. Berjalan memutari mobil mendekat ke arah Maharani.

"Apa yang kau lakukan? Kau akan sakit jika terus berada di sini." Kata pria yang turun dari dan melindungi Maharani dari hujan dengan payung yang ia bawah. Maharani tidak menjawab, ia terus saja menangis, hingga membuat pria itu diam dan tetap setia memegang payung untuk melindungi wanita yang sama sekali belum ia kenal.

"Apa salahku?" Lirih Maharani, dan terus saja menangis.

Pria itu pun kini bisa menebak jika wanita yang saat ini ada di hadapannya sedang memiliki masalah yang sangat rumit. Pria itu langsung berjongkok di hadapan Maharani.

"Apa pun masalahmu saat ini hadapi dengan baik. Jangan menyiksa dirimu dengan cara seperti ini." Maharani mendongakkan wajahnya melihat pria yang saat ini sedang berada di hadapannya. Lalu Maharani mengusap air matanya. Dan berdiri dari duduknya, kembali melanjutkan langkahnya.

Pria itu menatap sedih melihat penampilan Maharani yang sedikit kacau. Belum lagi, wanita itu berjalan tanpa alas kaki sama sekali.

"Pakailah payung ini, agar kau tidak terkenah hujan." Lagi dan lagi, Maharani tetap diam, ia sudah seperti tidak memiliki arah dan tujuan, dia terus berjalan tertatih di bawah derasnya air hujan.

Pria itu berlari kecil masuk ke dalam mobilnya, dan menjalankan mobilnya dengan sangat lambat mengikuti langkah Maharani dari arah belakang. Lampu mobil pria itu terus saja menerangi jalan yang di lalui oleh Maharani. Hingga beberapa saat kemudian, pria itu langsung keluar dari dalam mobil saat melihat Maharani terjatuh pingsan.

"Bangunlah. Hey ayo bangun." Pria itu menepuk pipi Maharani, karena tak kunjung membuka mata, pria itu langsung membawa Maharani ke dalam mobilnya dan mencari rumah sakit terdekat.

•••••

Agam terus memacu mobilnya menyusuri tiap jalanan mencari keberadaan istrinya. Di tengah derasnya hujan, Agam tidak pernah menyerah mencari keberadaam sang istri. "Sayang di mana kamu..." Ucap Agam sambil terus melihat jalanan.

Tidak ada satupun tanda keberadaan saat istri, hingga memutuskan Agam untuk meraih ponselnya dan menghubungi ibu mertuanya.

"Assalamu'alikum bu." Sapa Agam setenang mungkin, agar ibu mertuanya tidak menaruh curiga padanya.

"Wa'alikum salam nak. Bagaimana kabarnya? Maharani mana nak? Tumben kamu nelpon malam." Ucap Halisah ibu mertua Agam.

Agam yang mendengar perkataan mertuanya, langsung paham jika Maharani tidak sedang berada di rumah orang tuanya.

"Baik bu. Kabar ibu bagaimana? Sehat kan?"

"Alhamdulillah nak sehat"

"Syukurlah bu. Kalau begitu sudah dulu yah bu."

Agam mengusap wajahnya dengan kasar ia bingung harus mencari Maharani di mana lagi. Mengingat jika selama lima tahun ini, istirnya tidak memiliki teman sama sekali. Istrinya selalu saja sibuk mengurus dirinya dan melupakan dunia luarnya. Lalu di jam malam seperti ini tidak mungkin bagi Maharani untuk pulang ke rumah orang tuanya, karena jarak yang begitu jauh, dan juga Maharani sama sekali tidak membawa apa pun saat keluar dari rumah.

Agam bingung, ia tidak tahu harus kemana lagi. Sudah berjam-jam lamanya ia mencari namun tetap saja sampai saat ini belum bisa menemukan Maharani.

"Sayang, dimana pun kamu. Aku harap kau bisa menghubungiku." Lirih Agam.

••••

Di rumah sakit. Maharani yang sudah sadar, kini perlahan membuka matanya dan menatap sekeliling.

"Kau sudah sadar?" Tanya pria yang menolong Maharani. "Oh yah, tadi kau pingsan. Perkenalkan aku Bastian."

"Terima kasih." Ucap Maharani dengan tulus, lalu duduk dari tidurnya dan menarik infusnya.

"Apa yang kau lakukan? Kenapa melepas jarum infusmu?"

Bukannya menjawab, Maharani jusrtu menangis. Ingatan tentang perselingkuhan suaminya kini kembali terbesit di dalam pikiranya.

"Tenang kan dirimu. Seberat apa pun masalahmu, jangan pernah ambil jalan pintas untuk bunuh diri." Kata Bastian yang memang tadi merasa prihatin dan takut jika Maharani memutuskan untuk bunuh diri. Itulah mengapa Bastian terus mengikuti Maharani.

Maharani langsung mengusap air matanya saat mendengar ucapan dari Bastian. Bunuh diri? Sungguh belum sama sekali terbesit di dalam pikiran Maharani, karena jika Maharani bunuh diri maka sudah di pastikan apa yang menjadi keinginan ibu mertuanya pasti akan tercapai.

"Tolong pinjamkan aku ponselmu." Pinta Maharani. Dan segera Bastian memberikan ponselnya untuk di gunakan oleh Maharani. "Ini" kata Maharani mengembalikan ponsel Bastian. "Aku sudah mengambil nomer ponselmu. Tolong, bayarkan biaya rumah sakit ku. Saat sampai di rumah aku akan mengganti uangmu"

Bastian tersenyum melihat wajah Maharani. Walaupun habis menangis tapi wajah wanita yang saat ini sedang berada di hadapannya begitu sangat manis.

"Dan tolong juga, aku mau pinjam uang cashmu untuk bayar sewa taxi ku nanti."

"Biar aku yang mengantarmu pulang."

"Tidak perlu. Aku tidak ingin menambah masalah baru lagi."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!