PERHATIAN

Desis Raya terhenti ketika melihat Natan hanya memukul dinding yang membatasi taman di belakang wanita itu.

Dengan wajah yang begitu sarkas dan berubah merah padam, Natan menatap Raya dengan tajam serta penuh kebencian.

Hmm!

“Camkan baik-baik! Saya menikahimu karena terpaksa, saya tidak akan pernah menganggapmu sebagai istri saya!” tegas Natan, pria yang kini sah menjadi suami Raya.

Matanya memerah, karena luapan emosi membara kepada Raya. Awalnya pria itu ingin menampar pipi wanita yang membuatnya marah, tapi dengan cepat Natan malah mengalihkan tangan kanannya. Mengepal dan ia memukul dinding begitu keras, sehingga jari tangannya meneteskan banyak darah.

Raya yang masih menyeka pipinya, pun terkejut. ‘Kenapa dia tidak menamparku saja?’ bisik Raya dalam hati yang begitu heran.

Padahal jika Natan menampar pipi wanita itu, semua permasalah akan selesai. Pikirnya jika tamparan pipi membekas dan diketahui oleh Wiguna, bisa saja Raya akan dibiarkan lolos. Tapi sayang harapan itu tidak dilakukan oleh Natan.

Selayang pandang manik mata Raya melirik tangan yang masih mengepal itu meneteskan banyak darah. Dengan spontan ia mendekati pria yang masih memasang wajah menakutkan itu, “Tanganmu berdarah Tuan. Saya akan mengobati luka ....”

Natan segera menepis tangan Raya yang hendak menyentuh tangannya. Dan memotong pembicaraan wanita tersebut, “Jangan sentuh saya! Semua ini adalah gara-garamu, dasar wanita tak tahu diri. Seandainya kamu tidak ada, wanita yang saya cintai tidak akan pernah merasa kecewa dan sakit hati!”

Raya terdiam, ia menundukkan kepala. Benar kata Natan tadi, seandainya ia tidak datang dikehidupan asmara pria itu maka ia tidak akan melukai hati siapa pun. Tapi mau bagaimana lagi semua hal ini bukan kemauannya.

Aurora sudah diantar pulang oleh orang suruhan dari Natan. Wanita licik itu mengetahui kekasihnya menikah dengan orang lain karena ada seseorang yang selalu memata-matai hakikat hidup pewaris tunggal Moise. Tidak lain adalah pelayan senior yang merupakan pelayan kepercayaan Tuan Muda Moise, bernama Laras.

Hah!

Natan mencabik-cabik semua jas putihnya itu. Ia terlihat seperti orang kesurupan karena Aurora sempat mengancam dirinya seperti, “Sayang, aku sangat mencintaimu. Tapi aku akan melakukan tindakan yang tidak kamu sangka nantinya, jika kamu tidak menikahiku, aku akan mengakhiri hidupku!”

Ucapan terakhir yang merupakan kalimat ancaman dari Aurora itu membuat belenggu di hati Natan meledak. Seakan-akan semua kejadian ini disebabkan oleh Raya, wanita yang tidak dicintainya itu sama sekali.

Ini kali pertama sikap Natan yang membuat kedua pelayannya terkejut dan menganga membuka mulut. Karena Natan yang bernotabe dingin dan tidak banyak bicara kini dirinya berubah seperti orang yang kerasukan setan.

Benar yang dikatakan Wiguna, Natan adalah pria yang bisa dikatakan hampir sempurna tapi ia sangat bodoh jika dihadapkan mengenai masalah wanita atau cinta.

“Tuan, tolong tenangkan lah diri Anda.” Laras wanita berusia 45 tahun itu berusaha menenangkan tuannya.

“Bagaimana saya bisa tenang Mbak Laras dengan posisi saya seperti ini, hum? Bagaimana bisa saya hidup bersama wanita yang sama sekali tidak saya cintai!” tunjuk Natan kepada Raya begitu kasar.

Natan sedang berada di transisi yang membuatnya benar-benar tidak bisa menahan emosinya. Kondisi seperti ini membuatnya tertekan sekali. Bahkan Natan yang selalu menjaga image di depan para anak buahnya tidak bisa menahannya lagi.

“Tuan Natan, harus mengikuti apa yang diperintahkan oleh Tuan Wiguna saat ini,” ungkap Laras seakan dirinya menyetujui perintah Tuan Besarnya itu. Namun, dalam hati Laras tidak seperti apa yang ia ungkapkan.

Hah!

Raya hanya diam menunggu saatnya dia membuka mulut. Percuma saja jika ia melontarkan sebuah kalimat saat ini, pasti saja hal tersebut akan membuat kemurkaan Natan semakin menjadi-jadi.

“Kalau begitu kita pulang saja sekarang, Tuan Natan. Agar Tuan Wiguna tidak pulang lebih dulu dan menanyakan suatu hal yang tidak-tidak,” lanjut Laras.

Bagi Natan, Laras sudah dianggap sebagai ibunya sendiri. Karena ia tidak tahu harus mengadu kepada siapa selain dengan seorang yang telah merawatnya sejak kecil.

Namun, sama halnya dengan Aurora, Natan tidak tahu bahwa kedua wanita itu memiliki misi yang licik untuk membuat pewaris tunggal ini hancur berantakan.

Mereka memutuskan untuk segera pulang.

Di dalam kamar, Natan hanya terdiam sembari duduk di sofa. Rasa perih di tangan tidak lagi ia rasakan.

Raya masih mengenakan gaun putih simple itu. Ia merasa bahwa dirinya harus mengobati luka pria yang telah menjadi suaminya, kedatipun ia akan ditolak secara mentah-mentah.

“Hmm!” geram Raya yang berharap Natan akan menolehnya ke belakang.

Tapi sayang pria itu hanya mematung sembari melamun dan wajahnya kembali terlihat dingin. Ternyata dibalik lamunan itu ia berpikir, ‘Kenapa bisa-bisanya aku menunjukkan sikap seperti tadi? Bukankah sikapku tadi seperti orang bodoh? Kenapa bisa aku merengek seperti anak kecil dihadapan wanita kampungan itu?’

Seumur-umur, Natan bersikap seperti itu hanya dengan sang ibunda. Selebihnya ia akan terlihat dewasa dengan sikap dinginnya yang membuat semua orang lain ketakutan.

Ehem!

“Tuan Natan, apakah Anda baik-baik saja?” tanya Raya dengan nada lembutnya, seraya menampilkan ekspresi ragu.

Natan menoleh dengan tatapan lesu, wajahnya tampak pucat pasi. Ia tidak menjawab pertanyaan Raya tadi, tapi dari ekspresinya itu menjelaskan bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja.

Raya bukannya melanjutkan pertanyaannya mengenai Natan. Ia malah melangkah keluar sedikit berlari, seperti ia sedang melihat sosok makhluk halus.

Hmm!

Emosi Natan saat ini sudah mereda, karena ia merasa sangat lelah dan kepalanya hampir pecah. Natan memperhatikan tingkah aneh dari istri sahnya itu, yang berlari menaikkan gaun pengantin. “Apa yang dilakukan wanita itu? Memangnya dia pikir aku hantu gentayangan?”

Beberapa saat kemudian, Raya mencari salah satu pelayan kebetulan di sana ada Ana.

“Ana ...,” suara Raya begitu keras, ia seperti memanggil pelayan yang sudah dianggap temannya itu di hutan belantara.

Ia melambaikan tangan dan sedikit ngos-ngosan, karena dirinya berlari mencari seseorang. “Ana bisakah kamu menunjukkan di mana dapur rumah ini? Aku membutuhkan air hangat berisi gula dan juga bisakah kamu menunjukkan di mana tempat kotak P3K?”

Hosh! Hosh!

Raya memegangi tangannya di depan dada, karena napasnya belum teratur.

“Baik Nyonya Raya, saya akan antar Anda.”

Mereka pun menuju ke dapur utama, di sela itu Raya kembali mengingatkan kepada Ana. “Ana, sudah aku bilang jangan memanggilku dengan sebutan Nyonya dan tidak perlu berbahasa sangat formal sekali. Kamu dan aku adalah teman, iya teman mulai sekarang sampai kapan pun.”

Ana tersenyum dan menggangguk. “Baik Raya.”

“Nah gitu dong.” Raya memberikan fisical touch kepada teman barunya itu. Menepuk pelan pundak Ana, yang mengartikan Raya begitu bahagia mendapati teman di keluarga ini.

Setelah mengambil air hangat berisikan gula dan kotak P3K, Raya kembali ke kamarnya.

“Raya, biar saya saja yang membawanya,” tawar Ana yang melihat Raya harus membawa kedua benda itu.

“Tidak ... tidak Ana, biar aku saja. Karena ini adalah tugasku,” tangkas Raya yang bersikeras tidak ingin dibantu oleh temannya itu.

Bagi Raya saat ini yang terpenting adalah kesembuhan Natan. Meskipun pria itu bersikap semena-mena dengannya, tapi Natan merupakan suami sah darinya. Mau tidak mau Raya harus menjalankan kewajiban melindungi seseorang yang telah memiliki ikatan dengannya.

Ana membukakan pintu kamar utama.

“Terima kasih ya Ana, setelah ini adalah bagianku. Kamu boleh melanjutkan aktivitas yang harus dikerjakan, maaf tadi karena sudah merepotkanmu,” papar Raya yang tangannya membawa nampan.

“Jangan mengatakan hal itu Raya, ini semua adalah tugasku.”

Setelah mereka mengusaikan ucapan tersebut. Raya melangkah sedikit cepat dan meletakkan nampan itu di atas meja, tepat di depan Natan.

Sontak hal ini membuat pria bak kulkas tujuh pintu itu menaikkan alis kirinya. Kakinya menyilang dengan tatapan tajam menoleh ke arah Raya.

“Tuan Natan, minumlah air minum ini agar Anda lebih fit.” Raya menyodorkan segeras air putih berisikan gula itu.

Mata Natan melirik gelas tersebut. “Kamu sedang mencoba meracuni saya ‘kan?”

Perkataan Natan langsung menusuk kalbu Raya, akan tetapi wanita ini bersikap santai dan menjawab apa adanya. “Tidak, saya hanya ingin memberikan Anda sedikit pereda agar Anda merasa lebih baik.”

“Memang siapa bilang saya sedang sakit?” Natan menaikkan dagunya seakan persepsi dari Raya salah.

“Hum, bukan begitu maksud saya Tuan. Saya hanya ingin ...”

“Hanya ingin memberikan perhatian dan setelah itu kamu berharap saya akan luluh kepadamu, seperti film-film yang sedang marak itu kan?” Natan memotong ucapan Raya dengan mengsekakmat wanita itu.

Raya hanya bisa mengelus-elus dada karena gelas yang Raya bawa dilempar sampai pecah berhamburan.

***

Bersambung.

Terpopuler

Comments

Suky Anjalina

Suky Anjalina

apa mungkin ralaa itu ibunya Aurora

2023-07-05

0

Suky Anjalina

Suky Anjalina

Laras seorang pehianat dong

2023-07-05

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 71 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!