SEMAKIN KESAL

Raya tidak sadar dirinya sudah tertidur di ruangan Natan. Ia begitu lelah dan hatinya masih sakit mengingat kejadian hari ini seperti beruntun tanpa ampun.

Pertama ia mendapati sang kekasih dan sahabat, kedua orang yang sangat ia sayangi telah mengkhianatinya dan masalah kedua ia dijual dengan pria pemilik kuasa penuh di kota ini. Masalah terbesar dalam hidupnya kini adalah harus hidup dengan pria yang mungkin tidak akan pernah bersikap baik kepadanya.

Wajahnya kusut dan rambutnya sedikit berantakan dengan wajah yang sudah basah, Raya pun melihat Natan dengan tatapan sayu.

“Maafkan saya Tuan, saya begitu lelah maka dari itu tertidur di sini. Lagian saya juga tidak tahu harus kemana,” ujar Raya jujur sembari menundukkan kepalanya.

Meski ada sedikit rasa kesal di hati karena pria itu semena-mena melakukan hal tersebut seakan dirinya tak ternilai sedikitpun. Namun, ia harus bisa menahan sikap dan menghargai pria yang akan menjadi suaminya itu.

Natan belum juga melontarkan kata, ia menatap sinis seperti ingin mengenyahkan Raya sekarang juga.

Sempat mempertahankan tatapan ke arah pria itu ke atas, tapi Raya kembali memalingkan pandangan.

“Kamu pikir aku akan bersikap baik kepadamu?”

Mendengar perkataan dari Natan, Raya menggerakkan kepala mengarah pria yang akan menjadi suami sahnya. 

“Aku tidak akan membiarkanmu merasa bahagia, karena kamu membuat hidupku berantakan!” gertak Natan. 

Raya hanya bisa menyempitkan matanya. Ia juga sebenarnya tidak ingin menikah dengan pria yang tidak ia cintai, tapi ia tidak bisa melawan takdir. Ada niat untuk kabur dari kediaman megah keluarga Moise ini, namun sayangnya ia harus benar-benar menurunkan niatnya itu. Karena di setiap sudut dan setiap titik mansion mewah ini ada penjagaan ketat dan cctv, yang dengan mudah para suruhan Tuan Besar Moise akan menangkap Raya Sena.

Wanita itu hanya bisa diam, tidak ada gunanya ia melontarkan kata kepada pria yang sangat membencinya.

Sreeg!

Tiba-tiba pintu terbuka. Dengan cepat Natan memberikan tisu kepada Raya. Wajah putra semata wayang Wiguna sedikit panik karena ia yakin yang membuka pintu untuk menuju ke ruangan ini adalah sang ayah.

“Cepat lap wajahmu, agar Papa tidak tahu apa yang saya lakukan kepadamu!”

Benar saja, Wiguna ke dalam dan ia sudah mengenakan pakaian santai. Natan pun menyambut ayahnya lebih dulu, memberikan kesempatan Raya untuk menyelesaikan mengenai mengeringkan wajahnya.

“Pa ... kenapa Papa tumben belum tidur jam segini?” Natan menoleh ke arah jam dinding. “Ini sudah pukul 1.15 dini hari, tidak biasanya Papa belum tidur,” ucap Natan yang tak dihiraukan oleh Wiguna. Pria yang memiliki tubuh atletis meski usianya sebentar lagi sudah 60 tahun itu, matanya merah sepertinya ia sudah sempat tertidur lebih dulu.

Kemudian Wiguna menoleh ke arah Raya yang sibuk mengelap wajahnya sampai ke leher akibat air yang di siram tadi dengan Natan.

Pria paruh baya itu tak menyambut ucapan sang anak. Ia malah merasa ada yang tidak beres dengan tingkah Raya.

“Nak Raya, kamu kenapa?” tanya Wiguna dengan suara yang selalu lembut.

Ah!

Raya tampak bingung ia melirik Wiguna yang menampilkan wajah begitu cemas. Di belakang pria itu, Natan sudah mendelik seperti memberikan isyarat agar Raya tidak memberitahu apa yang terjadi.

“Ah, anu Tuan saya hanya ...”

Hmm! 

Geram Wiguna seraya menggelengkan kepala pelan. “Raya, sudah Papa bilang ‘kan jangan sebut Papa dengan panggilan Tuan. Tolong anggap Papa sebagai orang tuamu mulai sekarang dan sampai seterusnya. Lalu kenapa kamu terlihat seperti membersihkan wajahmu?”

“Hum, maafkan saya. Saya tadi hanya ...,” papar Raya sekaligus melirik matanya ke arah Natan.

Merasa mata indah Raya tak fokus, Wiguna menoleh ke belakang melihat putranya. “Natan, apa yang kamu lakukan kepada Raya?” 

Natan mengerutkan dahinya, “Maksud Papa? Aku tidak melakukan apa pun kepadanya, dia hanya tidur. Setelah aku kembali lagi ke ruangan ini.”

Ungkapan Natan ternyata salah, padahal ia mengatakan hal jujur. Tapi malah ia mendapatkan amarah dari sang ayah.

“Jadi kamu meninggalkan Raya sendiri di sini sampai dia ketiduran? Lalu kenapa wajahnya seperti basah?” Wiguna meninggikan nada suaranya.

Walaupun Wiguna tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia melihat bulu halus yang berada di depan dahi Raya basah.

Entah mengapa, Raya merasa harus membuka mulut. “Pa ...,” panggil Raya.

“Pa, Raya hanya tertidur. Kata Tuan Natan ia hanya lelah, sehingga ia harus menghirup udara di taman belakang. Raya sempat di ajak oleh Beliau, dan Raya tidak mau ikut karena Raya juga begitu lelah dan hanya ingin terdiam di ruangan ini,” jelas wanita yang matanya masih memerah itu.

Natan menyoroti tatapan ke arah Raya. Kendatipun ia sempat menganggap wanita itu bisa diajak kerja sama, tapi Natan tetap berpikir bahwa wanita kampungan tersebut hanya menginginkan perhatian dari Wiguna. Sehingga sang ayah lebih bersimpati dan selalu membela Raya dibanding putranya sendiri.

“Oke, Papa yakin kamu berkata jujur Raya. Tapi kenapa wajahmu basah seperti itu?” Seakan Wiguna belum percaya dengan apa yang dikatakan oleh Raya.

“Raya tadi terbangun, Pa. Dan bingung mau kemana karena tidak tahu toilet di tempat ini, sehingga gelas yang berisi air, Raya siram ke wajah agar tidak mengantuk lagi.”

Natan kembali menatap Raya dengan tajam, mata coklat indahnya itu tanpa lepas menyoroti gerak-gerik wanita yang akan menjadi istrinya beberapa jam kemudian itu.

“Jadi begitu, baiklah. Kalau kamu merasa kesulitan di sini, tolong beritahu Natan ya. Karena kamu sekarang adalah tanggung jawab putra Papa sepenuhnya. Atau jika Natan sibuk, kamu bisa meminta pelayan yang ada di sisi ruangan. Mereka selalu berjaga,” suruh Wiguna kepada calon mantunya.

Wiguna kemari hanya ingin memastikan Raya baik-baik saja, dan berharap Natan bisa bersikap baik kepada wanita yang akan menjaga dirinya selamanya.

“Oke kalau begitu Papa akan kembali ke kamar dan beristirahat.” Wiguna menoleh ke arah Natan, memegangi pundak putranya.

“Papa minta tolong kepadamu, Natan. Raya adalah wanita yang akan menemanimu, jadi bersikaplah semestinya,” titah Wiguna.

Natan menunduk, sebenarnya mulutnya enggan untuk menjawab perintah sang ayah yang tidak ingin ia lakukan itu. Tapi bagaimanapun, ia harus menuruti Wiguna.

“Baik Pa,” jawab singkatnya.

Wiguna melangkahkan kaki meninggalkan ruangan, tapi sebelum itu ia berkata, “Natan, kamu ajak Raya ke kamarmu segera. Lihatlah wajahnya begitu lelah.”

Sontak keduanya mengembangkan kedua mata setelah Wiguna tampak hilang tak terlihat di ruangan itu. 

Natan menyempitkan mata kembali, dengan tangan yang dilipat diletakkan di depan dada. Berbeda dengan Raya yang melirik pria dengan wajah dinginnya itu, lalu dengan cepat memalingkan pandangan.

“Apakah kamu berharap bisa satu kamar denganku?” celetuk Natan.

“Saya tidak berharap seperti itu, Tuan Natan,” jawab Raya yang begitu polos. Tetapi membuat Natan semakin kesal.

Hah!

Natan hanya bisa menghembuskan napas dan ia berpikir akan tersiksa hidup bersama dengan wanita kampungan seperti Raya.

Mau bagaimana lagi, perintah Wiguna harus dituruti meski tidak sesuai dengan hati pria yang terkenal begitu dingin oleh semua karyawannya tersebut.

***

Bersambung.

Terpopuler

Comments

Suky Anjalina

Suky Anjalina

🥰

2023-07-05

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 71 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!