"Mommy! Lihat apa yang aku bawa!" Quinn berlari menuju ke tempat di mana Tiffany sedang membersihkan kekacauan yang disebabkan oleh para depkolektor. Quinn berlari dengan sebuah tas ransel kecil di punggungnya.
"Quinn, perhatikan langkah kakimu. Mengapa kau berlarian?" Tiffany berdiri. Wanita itu menghela napas karena masih banyak yang harus ia kerjakan.
"Darimana aku harus mencari uang untuk membeli peralatan rumah tangga yang hancur ini? Bahkan banyak piring-piring yang pecah dan hanya menyisakan beberapa saja. Bagaimana aku bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untuk Quinn? Aku benar-benar payah!" Tiffany membatin dengan sendu. Wanita itu bahkan tidak sadar jika Quinn menunggunya untuk merespon panggilannya.
"Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh Mommy?" tanya Quinn.
Untuk sekian kalinya, Tiffany tersadar setelah ia melamun. Buru-buru Tiffany memposisikan dirinya untuk berjongkok. Tiffany tersenyum untuk menyamarkan kegelisahannya.
"Maafkan mommy, Quinn. Mommy telah banyak berhutang padamu. Bahkan untuk membuat makan malam, mommy tidak memiliki uang." Tiffany hampir saja menangis. Wanita itu tidak bisa melihat wajah Quinn yang mungkin saja sudah lapar.
"Mom, kenapa Mommy sedih? Mommy jangan sedih. Kalau Mommy sedih, Quinn juga akan sedih. Tapi nanti malam kita makan di luar ya, Mom! Aku ingin makan mie ramen." Quinn berbicara dengan kedua mata yang berbinar. Semakin membuat Tiffany menangis dan terisak pelan.
"Mom? Mommy kok malah nangis? Apa Mommy tidak ingin mengajak Quinn keluar rumah? Kalau Mommy khawatir soal uang, Quinn juga sudah punya uang. Kita juga bisa membayar utang pada orang-orang jahat itu," pungkas Quinn.
Tiffany menghapus air matanya. Sungguh bebannya sangat berat membesarkan Quinn seorang diri. Terlebih dengan segala keterbatasan yang ia miliki. Tangan Tiffany mengusap pipi Quinn. Tidak terasa jabang bayi yang dulu ia pertahankan mati-matian kini menjelma menjadi bocah perempuan menggemaskan.
"Nak, uangmu dari membantu Bu Guru tidaklah cukup untuk membayar utang mommy. Tapi, kalau buat makan malam hari ini dan sarapan besok, masih bisa. Kalau begitu, mommy pinjam uang Quinn dulu ya. Nanti kalau mommy sudah punya uang, mommy bakalan ganti." Akhirnya Tiffany memilih untuk menggunakan uang Quinn dari hasil membantu gurunya di sekolah.
Meskipun Tiffany tidak ingin melakukannya, tapi rasanya semakin menyakitkan bila Quinn sampai harus melewatkan makan malam. Sebab Quinn masih berada dalam masa pertumbuhan dan Tiffany tidak ingin mengabaikannya.
Quinn tidak menjawab. Melainkan ia membuka tas ransel yang sejak tadi ia taruh di punggungnya. Gadis kecil itu memperlihatkan bagaimana uang bergepok berada di dalam sana. Kedua mata Tiffany tak ayal membulat.
"Quinn, darimana kamu mendapatkan uang sebanyak ini? Mommy tidak pernah mengajarimu untuk mencuri, Quinn! Walaupun kita berdua harus kelaparan sekalipun! Mommy tidak pernah mengajarimu untuk menjadi pencuri!" Tiffany membentak Quinn.
Bahkan Tiffany hendak memukul Quinn. Beruntung, Tiffany mengurungkannya saat Quinn menutupi tubuhnya dengan tas miliknya. Kedua mata Tiffany terpejam. Tangan yang sudah melayang di udara dan urung itu, kini ditarik oleh Tiffany.
"Kau harus mengembalikan uang itu, Quinn! Jangan membuat mommy marah!" ancam Tiffany.
"Tapi … ini uang Quinn, Mom. Ini milik Quinn. Dan uang ini untuk membayar orang-orang jahat itu. Supaya mereka tidak mengganggu kita lagi," ucap Quinn.
"Jangan berbohong, Quinn! Mommy tahu, mommy sangat payah! Mommy tahu tidak bisa membahagiakanmu, tapi tolong jangan mencuri! Lebih baik kita mati kelaparan daripada kita makan dari hasil mencuri!" Tiffany kembali membentak Quinn.
Wanita itu bahkan tidak ingin mendengarkan pembelaan dari Quinn. Tiffany menaruh sapu. Kemudian wanita itu menutup tas ransel milik Quinn.
"Ini milik Quinn, Mom." Quinn masih kekeh dengan pendiriannya. Gadis kecil itu menarik tas ransel miliknya.
"Quinn! Mommy tidak pernah mengajarimu untuk mencuri ya!" Tiffany tidak ingin mendengarkan Quinn terlebih dahulu. Namun, kedua mata Tiffany mengerjap pelan. Sebab, mata Quinn menatapnya dengan tajam.
"Mommy, kau tidak ingin mendengarkan penjelasan dariku? Ini jelas uangku. Aku mendapatkannya karena aku sudah bekerja. Aku membantu orang. Kami berdua sudah bersepakat. Dan itu adalah gajiku selama 1 bulan ke depan. Kenapa Mommy tidak mempercayaiku? Padahal orang lain saja percaya padaku." Quinn mengeluarkan kembali uang-uang yang ia dapatkan dari Luca.
Tiffany mengusap wajahnya dengan kasar. Wanita itu tak mampu lagi berkata-kata. Quinn mengeluarkan surat kontrak kerja yang ia miliki. Tentu saja membuat Tiffany bingung. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Sebab di sana memang dengan jelas membuktikan bahwa Quinn benar menjadi ahli IT di salah satu perusahaan ternama.
"Bagaimana bisa?" Tiffany membaca sekali lagi. Benar, itu nama Quinn dan juga data diri Quinn tertera di sana.
Tiffany memandang ke arah Quinn yang sibuk menghitung uang. Wajah bahagia gadis kecil itu tampak jelas di pelupuk mata Tiffany. Hampir tak masuk di akal Tiffany.
Akan tetapi, haruskah Tiffany mempercayai putrinya dapat melakukannya? Jika itu bukan putrinya, bisa saja Tiffany meragukannya. Namun, bukankah Quinn merupakan putrinya sendiri? Di saat Tiffany kehabisan kata-kata, di sisi lain Luca sedang mencari tahu tentang Quinn.
"Jadi, ini data diri bocah ingusan itu? Kau jangan membuatku malu. Masa kau dikalahkan oleh bocah tengik itu?" kesal Luca.
"Saya bisa menjaminnya, Tuan. Sebab, nama anak kecil itu rupanya tidak asing di dunia pendidikan. Dia sudah memecahkan rekor berkali-kali. Tapi, aneh sekali mengapa bocah kecil itu tidak mendapatkan fasilitas untuk menunjang kemampuannya?" tanya asisten pribadi Luca, Joni.
"Hmm. Dia berusia 6 tahun 5 bulan. Identitas ini benar. Bukankah seharusnya dia mendapatkan banyak tawaran menjanjikan dari dunia pendidikan? Lalu, mengapa di sini tertulis dia masih bersekolah di taman kanak-kanak? Dengan kemampuannya dia bisa masuk sekolah menengah ke atas melalui jalur akselerasi. Bakat yang luar biasa! Joni, dan dia berada dalam genggaman tanganku!" Luca tertawa keras.
Sepertinya Luca sangat puas dengan Quinn yang tiba-tiba datang kepadanya. Laki-laki itu mengamati semua hal informasi tentang Quinn. Yang mana rupanya Quinn memiliki IQ 178! Sungguh suatu keajaiban bocah berbakat itu mendatangi dirinya. Luca menyeringai. Ia seperti merencanakan sesuatu.
"Apa yang sedang Anda pikirkan, Tuan?" tanya Joni.
"Hmm. Bagaimana jadinya, apabila aku memberikan fasilitas untuk bocah tengik itu, Joni? Mungkinkah kemampuannya akan meningkat? Baru kali ini aku bertemu dengan orang yang menyerupaiku. Memiliki IQ di atas rata-rata! Ha-ha-ha!" Luca tergelak untuk beberapa waktu.
Setelahnya Luca justru terdiam. Semakin membuat Joni merinding ketakutan. Karena mood Luca selalu berubah-ubah seenak jidat.
"Apakah ada sesuatu yang Anda butuhkan, Tuan?" Joni seolah bisa membaca pikiran Luca. Laki-laki itu bertanya pada Luca bilamana Luca membutuhkan bantuan.
"Terkadang orang yang memiliki kepintaran di atas rata-rata bisa saja dikucilkan oleh lingkungan. Aku mengerti situasi itu lantaran aku pernah mengalaminya. Menjadi berbeda bukanlah keinginan kita. Bisa saja suatu hari nanti ini akan menjadi kelemahannya." Luca terdiam. Laki-laki itu masih mengawasi identitas diri Quinn dengan seksama.
"Tapi, mengapa bocah itu tidak memiliki ayah? Di sini tidak tertulis. Lalu, siapa ayah bocah tengik ini?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
C2nunik987
Quinnn darah daging mu sendiri km blg bocah tengik...datangi Quinn dan mommy nya km bakal tercengang .... IQ mu kau wariskan pada anak mu sendiri Daddy tengil ....anaknya tengik Daddy nya tengil 😅😅😅😅
2025-02-24
0
Muse
anaknya tengik...bapaknya basi donk wkwk
2023-11-01
1
Darsiti Bu
tak kenal anak mu sendiri Luca
2023-10-25
0