Putri CEO Tersembunyi
"Dokter, bagaimana dengan sahabat saya? Apa dia baik-baik saja?" Vianna bertanya dengan nada sumbang. Gadis itu tidak sabar untuk mengetahui bagaimana keadaan sahabatnya.
"Nona Tiffany baik-baik saja. Bahkan kandungannya juga baik-baik saja," jawab sang dokter.
Kedua mata Vianna membulat. "Kandungan? Apa maksud Anda, Dokter? Teman saya sudah lama bercerai. Bagaimana bisa dia hamil?"
"Maaf, Nona. Soal itu mungkin teman Anda yang tahu. Saya hanya menyampaikan hasil pemeriksaannya," tegas dokter itu.
Vianna tidak bisa banyak protes. Ia melangkah pergi meninggalkan ruangan dokter menuju IGD tempat sahabatnya di rawat. Rasa bingung masih menyelimuti hati akan tetapi ia tidak tahu harus bagaimana.
Di IGD seorang wanita duduk di atas tempat tidur sambil memandang ke jendela. Kedua matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Di pergelangan tangannya ada perban untuk menutupi luka yang baru saja ia perbuat. Perannya juga masih basah karena darah belum berhenti total.
"Tiffany," panggil Vianna sangat pelan.
Nihil. Tiffany masih membisu. Wanita itu hanya diam seperti patung. Seolah-olah pemandangan di jendela jauh lebih menenangkan.
"Tiffany … ada hal penting yang harus aku katakan." Vianna duduk di pinggiran tempat tidur dan memandang wajah temannya.
"Aku lelah, Vin. Aku lelah." Tiffany berbicara dengan nada yang sendu. Lagi-lagi buliran air mata menetes membasahi pipi. Dadanya terasa begitu sesak.
"Aku nggak sanggup untuk hidup. Aku ini hanya wanita bodoh yang tidak sekolah tinggi. Wajahku juga tidak cantik. Ditambah lagi aku ini seorang janda," sambungnya lirih.
"Tiffany, tapi kau tidak harus bunuh diri," protes Vianna. "Masih banyak yang bernasip lebih parah dibandingkan dirimu, Tiffany. Kau pikir bunuh diri akan menyelesaikan masalah?"
"Apalagi yang bisa aku lakukan? Aku capek hidup menderita seperti ini!" Suara Tiffany meninggi. Emosinya masih belum bisa dikendalikan dengan baik.
"Setidaknya kau bertahan demi anakmu. Anak di dalam kandunganmu!" teriak Vianna mulai kesal.
Tiffany yang tadinya ingin marah segera menahan kalimatnya. Ia menggeleng tidak percaya atas pernyataan sahabatnya barusan. Namun, Vianna dapat melihat binar di mata temannya. Wanita itu bahagia.
"Hamil?" tanya Tiffany masih dengan mata tak percaya.
"Ya. Aku tidak tahu pasti berapa usianya. Sebab aku sangat terkejut. Tapi, siapa ayah bayi itu? Kau yang lebih tahu siapa ayahnya karena itu anakmu," tandas Vianna.
"Bukannya aku ingin menuduhmu. Tapi kau sendiri yang bilang kalau kau dan Dante sudah lama tidak berhubungan sebelum kau di usir. Juga... perceraian kalian sudah berlalu beberapa bulan."
Ada rasa senang dan bingung. Senangnya Tiffany bisa memiliki anak yang akan menemani hidupnya. Memang selama ini ia sangat ingin jadi ibu. Bahkan perceraian yang ia alami juga disebabkan karena ia tidak bisa mengandung.
Sedihnya, Tiffany tidak tahu siapa pria yang sudah menghamilinya. Malam itu benar-benar malam terburuk yang pernah ia alami. Jelas-jelas anak itu tidak mungkin anak mantan suaminya karena mereka tidak bertemu selama beberapa minggu sebelum perceraian terjadi.
"Tiffany, apa dia anak Dante?" Vianna akhirnya bertanya lagi setelah sekian lama Tiffany hanya terdiam.
"Tidak, Vianna. Dia bukan anak Dante," sanggah Tiffany.
"Lalu, anak siapa?" Vianna semakin penasaran.
Tiffany mengatur napasnya. Ia kembali memandang ke jendela yang terdapat pemandangan indah di sana. Mengingat beberapa memori singkat yang sebenarnya tidak ingin dia simpan di dalam ingatannya.
"Aku juga tidak tahu. Siapa ayah anak ini."
***
Waktu pun berlalu. Tanpa sadar, 7 tahun telah terlewati. Tiffany hidup dengan baik bersama putrinya, Quinn. Baik yang dimaksud bukan sebuah hidup yang tenang. Melainkan tetap bisa tersenyum bersama putri tercinta.
"Mommy!"
Tiffany segera berlari kencang ketika melihat anak kecil kuncir dua berdiri tidak jauh di depannya. Dengan seragam sekolah, anak kecil itu terlihat sangat manis dan menggemaskan. Dengan senyum khas anak kecil yang lucu, Quinn memamerkan giginya yang bersih.
"Mommy kangen banget sama Quinn." Tiffany memeluk erat anak kecil itu dan tidak mau melepasnya lagi. Tanpa peduli kalau anak kecil diperlukannya melebarkan mata karena susah bernapas.
"Mom, Quinn tidak bisa bernapas!"
Tiffany segera melepas pelukannya. Ia tertawa garing mendengar putrinya protes. Sambil memperhatikan keadaan sekitar.
Ditariknya satu tangan Quinn. "Baiklah, ayo kita pulang," ajak Tiffany.
"Mom, Quinn mau itu."
Anak kecil itu menunjuk pria penjual permen gula di seberang jalan. Tiffany merasa tidak setuju. Tapi hari ini ia sudah berjanji akan menuruti semua kemauan putrinya. Tiffany tidak memiliki pilihan.
"Baiklah, tunggu di sini biar mommy belikan."
"Dua ya," ujar Quinn sambil memamerkan dua jarinya.
"Oke sayang." Tanpa menunggu lagi Tiffany berlari menyebrangi jalan.
Wanita itu mengeluarkan sejumlah uang dan membawa permen gula permintaan putri tercinta. Karena terlalu bersemangat, Tiffany menyebrang tanpa melihat-lihat. Quinn yang melihat jelas mobil yang melintas tidak mau tinggal diam. Ia berlari untuk menyelamatkan ibunda tercinta.
"Mommy, awas!"
Saat mobil itu mengerem mendadak, di saat itu juga Quinn berhasil menarik tangan Tiffany. Mereka sama-sama terjatuh dan duduk di pinggiran jalan. Seorang pria turun dari mobil untuk memeriksa keadaan mereka berdua.
"Apa kau punya mata? Kenapa menyebrang secara tiba-tiba!" Seseorang pun berseru.
Tiffany membantu Quinn berdiri. Untuk beberapa saat ia tidak peduli dengan pria yang mengomel di hadapannya. Hanya keadaan putrinya yang menjadi perhatian utama Tiffany saat itu.
"Sayang, apa ada yang sakit?"
Quinn menjawab dengan gelengan kepala. Dipandangnya pria berpakaian rapi yang baru saja membentak ibu kandungnya. Seperti ingin mengeluarkan kata-kata makian. Tapi masih di tahan.
"Maafkan saya, Tuan." Tiffany berucap tanpa memandang.
"Maaf? Tidak sesederhana itu."
Tiffany mendongak. Dia mematung melihat pria yang berdiri di hadapannya. Seperti merasa sangat dekat dengan pria tersebut. Seolah-olah mereka pernah bertemu namun di mana.
"Paman, maafkan mommy. Mommy hanya ingin memberiku permen gula ini." Quinn menunjuk permen gula yang sudah kotor karena terjatuh di jalan.
Pria itu memandang wajah Quinn. Hati yang dipenuhi emosi dan ingin marah tiba-tiba saja terasa dingin. Ia memandang wajah Quinn dengan saksama. Urat-urat di wajahnya yang sempat menegang karena marah kini melunak.
"Anak ini … kenapa aku merasa sangat dekat dengannya?" Pria itu membatin bingung.
"Tuan, sekali lagi maafkan saya." Tiffany sudah berdiri. Ia menarik Quinn dan memeluknya dengan erat.
Pria itu berdehem pelan. Ia merapikan jasnya dan membuang tatapannya ke arah lain. "Berhati-hatilah lain kali." Ia memutar tubuhnya dan kembali masuk ke dalam mobil.
Tiffany dan Quinn saling memandang dengan wajah lega. Semua baik-baik saja jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tiffany mengernyitkan dahi ketika melihat wajah Quinn mirip dengan pria yang hampir saja menabrak dirinya.
"Mereka memiliki warna bola mata yang sama. Pantas saja aku merasa seperti pernah bertemu dengannya." Tiffany membatin dengan gelisah. "Hanya warna bola mata. Apanya yang perlu dikhawatirkan?"
"Mommy, minggir."
Tiffany dan Quinn menyingkir ketika mobil itu ingin lewat. Mobil sedan berwarna hitam itu melesat cepat meninggalkan ibu dan anak tersebut.
Quinn memperhatikan permen gula yang seharusnya sudah dia lahap. Karena permen gula yang ia beli kotor, Tiffany merasa sangat sedih. Apa lagi itu harus ia beli dengan uang terakhirnya.
"Mom, mommy kenapa?" Quinn menggoyangkan tubuh Tiffany. Dia tahu kalau ibu kandungnya sedang menahan tangis.
Tiffany menggeleng dengan senyuman pahit. "Maafkan mommy, Quinn. Seharusnya mommy hati-hati agar kau bisa memakan permen gulanya."
"Mom, Quinn tidak ingin permen gula lagi. Quinn ingin makan masakan mommy." Quinn melebarkan senyuman. Seolah gadis kecil itu tahu bahwa sang mommy tidak memiliki uang.
"Benarkah? Apa kau tidak berbohong?" Tiffany merasa tersentuh.
Quinn menggeleng pelan. "Ayo mom kita pulang. Quinn sudah lapar."
"Baiklah sayang. Ayo kita pulang."
Tiffany menggendong putrinya dengan wajah berseri. Mereka berjalan menuju ke halte untuk menunggu bis di sana. Sebenarnya bus akan tiba lebih lama. Para orang tua justru membawa anak mereka pulang dengan taksi. Karena keterbatasan ekonomi, Tiffany harus membawa Quinn pulang dengan angkutan umum.
"Mom, kenapa mommy sedih?" Quinn yang selalu tahu apa yang dipikirkan ibu kandungnya kini mulai menyelidiki yang terjadi. Dia takut ibunya masih belum melupakan soal permen gula. Juga uang yang sudah tidak tersisa.
"Tidak ada," sahut Tiffany.
"Uang mommy habis?" tanya Quinn.
Tiba-tiba saja Quinn meletakkan tasnya di pangkuan. Ia membuka tasnya dan mengambil sejumlah uang di dalamnya. Tiffany kaget bukan main melihat putrinya memiliki uang segitu banyak.
"Quinn, uang siapa ini?" Kedua mata Tiffany melebar. Wanita itu terkejut bukan main.
"Uang Quinn, Mommy," jawab Quinn.
"Darimana kau mendapatkan uang sebanyak ini!" Tiffany tahu walau uang jajan yang ia berikan di tabung Quinn, tetap saja tidak akan sebanyak ini jumlahnya.
"Mom, Quinn membantu ibu guru membuka email-nya yang lama." Quinn mengungkapkan bagaimana ia mendapatkan uang itu.
"Email?" Tiffany semakin bingung.
"Ya. Bu Guru lupa password emailnya yang lama jadi Quinn bantu menemukannya." Quinn mengukir senyuman lebar.
"Ba-bagaimana Quinn bisa melakukannya?" batin Tiffany dengan bingung.
Sungguh seperti mimpi Quinn dapat melakukannya. Bukankah itu semua seperti mustahil dilakukan oleh anak usia 6 tahun?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Ayu
cpt bgt sdh 7 thn kemudian ya thor. psti pria yg hampir menabrak mereka ayah biologis nya
2025-06-03
1
YuWie
sdh 7th dan ekonomi tiffany masih pas2an.. apakah quin yg akan mencari uang
2025-06-10
0
Kurnaesih
tok tok tok asalamualaikum Thor aku mampir 🥰
2025-06-20
0