Bab 3: Bermainlah Bersamaku Kalistha

Goresan tinta mulai menyusun kalimat indah. Mengekspresikan suasana hati Kalistha yang sedang senang saat ini.

Sunyi, tak ada satupun yang mengusik. Saat ini Kalistha duduk di depan teras rumahnya. Sebuah buku kecil berwarna pink berada di atas tangannya.

Sementara di tangannya yang lain dia sedang menggenggam sebuah pena. Disampingnya ada segelas coklat hangat yang menemaninya.

Dinginnya kota Tokyo menandakan bahwa musim salju akan segera turun. Sudah berjam-jam Kalistha duduk di situ. Dia merangkai kalimat demi kalimat di atas lembaran kertasnya.

Dear Diary

Musim salju pertama

Kadang, pertemuan kecil menciptakan percikan kesan yang akan begitu sukar dihapus. Bagian manakah yang harus kususun lebih dulu?

Dia begitu tampan, parasnya yang begitu indah memikat mataku. Untuk tetap terpaku tepat pada kharismanya.

Cahaya matanya yang hangat tak sedikitpun redup. Aku suka, melihat tawanya yang renyah itu mengalun.

Hufft, tapi kenapa bayangnya tak pernah sedikitpun sirna? Bagaikan menghantuiku siang dan malam. Pemuda tampan itu terus saja nampak di depanku.

Hatiku yang rapuh, perlahan mulai terbenahi karenanya. Apakah ini sebuah skenario baru yang kau ciptakan padaku Tuhan? Apakah dia adalah tokoh penting di dalamnya?

Jika hal itu benar, dengan senang hatiku akan menerimanya masuk dan menyambutnya.

Tunggu, ada apa denganku? Mengapa aku terus memikirkannya? Sudahlah, tak perlu bermimpi terlalu tinggi.

Ditengah kesibukannya yang asik menulis. Nampak dari kejauhan seorang gadis Belanda memperhatikannya sejak tadi.

Beberapa menit yang lalu baru saja ia sampai. Namun Kalistha sama sekali tak menyadari keberadaanya.

Dalam kepalanya Arteta bertanya-tanya. Apa yang sedang dipikirkan oleh Kalistha saat ini. Sahabatnya itu tidak biasa melamun. Tapi kali ini, bahkan kedatangannya saja Kalistha sama sekali tak tau dan acuh.

Arteta memilih untuk menepuk bahu Kalistha yang sedang menulis. Terkejut dengan tepukan di bahunya, konsentrasinya teralih ke arah orang yang menepuk bahunya.Ketika Kalistha mendongak dia terkejut. Rupanya itu adalah Arteta.

"Arteta, sejak kapan kau disini?" tanya Kalistha padanya.

Arteta tidak menjawab itu. Dia menghela nafas sejenak. Letih rasanya setelah menyelesaikan satu tugas. Arteta memilih untuk duduk disamping Kalistha lalu mengambil segelas coklat hangat milik Kalistha.

"Hei, kenapa kau meminumnya, Teta? Buatlah sendiri, dasar!" gerutu Kalistha ketika minumannya disambar diminum begitu saja oleh Arteta tanpa seizinnya.

"Bisa kau diam sebentar? Aku baru saja dari perjalanan jauh, aku haus. Lebih baik kau buat saja lagi!" ujar Arteta pada Kalistha.

Kalistha memanyunkan bibirnya setelah mendengar apa yang Arteta katakan. Benar, apa kata Barsh. Arteta memang mengesalkan. Tapi, bagaimanapun dia. Arteta tetap memiliki hati yang baik.

"Bisa-bisanya, tidak kau buat saja sendiri sana!" ucap Kalistha lagi lalu mengambil segelas coklat hangatnya dari Arteta yang tinggal separuh.

"Tumben sekali, kenapa kau berada di depan teras rumah? Dan apakah itu? Buku kecil apa itu?" tanya Arteta pada Kalistha ketika melihat keberadaan buku kecil berwarna pink yang sedang Kalistha bawa.

Arteta menunjuk buku yang digenggam Kalistha. Hal itu membuat Kalistha terbelalak lalu tatapannya tertuju tepat pada buku yang dibawanya. Kalistha menutupnya mencoba menutupi satu sajak tentang Barsh yang baru saja dia ukir di sana.

"Tidak, ini hanya untuk mengusir jenuh, jadi ada baiknya jika aku menulis sesuatu didalam sini." ujar Kalistha pada Arteta.

Namun ketahuilah, Arteta bukanlah gadis biasa pada umumnya. Dia ini anak dari seorang detektif besar di Amsterdam. Raut-raut wajah pembohong jelas saja Arteta tau.

"Pembohong, jika kau jenuh hal pertama yang kau lakukan adalah melukis bukan?" ucap Arteta pada Kalistha.

Itu membuat Kalistha tersenyum. Sahabatnya ini benar-benar tau bahwa dirinya hobi melukis. Dan apa yang Arteta katakan itu benar.

Sebab jenuhnya Kalistha akan membuat mahakarya. Dan itu, sudah cukup menumpuk di paling atas rumah Kalistha. Beberapa lukisan hasil karya tangannya sendiri.

"Aku hanya ingin mengganti hobi saja, tidak boleh?" tanya Kalistha yang masih berusaha menutupinya.

Gadis Belanda disampingnya itu mulai menatapnya dengan pandangan tak biasa. Arteta mencoba menguak satu fakta yang Kalistha sembunyikan darinya.

Kalistha sangat tidak senang dengan tatapan Arteta yang seperti mengintrogasinya. Hatinya mulai resah, sahabat baiknya ini memang selalu tidak puas jika mendapatkan jawaban yang tidak detail.

"Kau mencintai seseorang ya?" tebak Arteta.

"Huh.." lirih Kalistha mematung setelah itu.

Semburat merah terlukis jelas dalam wajahnya setelah itu.

"Tidak, lagi pula siapa yang sedang kucintai saat ini?" ucap Kalistha mencoba membantah apapun yang Arteta katakan.

"Berbohong padaku itu tidaklah mungkin, ceritakan padaku siapa pemuda yang berhasil mengambil simpati dan hatimu?" ujar Arteta yang masih kukuh dengan argumennya.

"Teta, sudah berapa kali kukatakan? Tidak ada, kalau pun ada kau yang pertama mengetahuinya. Oh ya, kenapa kau kemari? Bukankah kita ada kelas malam?" tanya Kalistha setelah menjelaskan segalanya pada Arteta dia baru ingat bahwa mereka ada kelas malam hari ini.

"Aku hanya ingin memberitahumu sesuatu!" ujar Arteta pada Kalistha.

Raut wajah Arteta mulai berubah, dari dalam tas nya ia mengambil sesuatu. Sebuah map dengan tumpukkan kertas di dalamnya.

Kalistha tau apa isi dari map itu. Dia hanya mampu tersenyum tipis ketika Arteta memberikan itu padanya. Ada dua kemungkinan setelah map itu dibuka.

Apakah nanti akan ada kemungkinan baik? Ataukah berita buruk yang akan membuat hatinya bergetar pedih?

Ini adalah masa sulitnya Kalistha. Dia tidak sanggup dan Arteta tau itu. Arteta mengatakan pada Kalistha,

"Baru saja rumah sakit menelfonku dan menyuruhku kesana! Dan ini adalah hasil Roxen kaki Syena!" jelas Arteta padanya.

Kalistha mencoba menetralisir kesedihan di hatinya. Dengan berat hati perlahan Kalistha mulai membuka map besar itu. Kalistha mencoba memahami hasil laporan dari dokter mengenai kaki adiknya.

Ini berita buruk. Rupanya masih belum ada perkembangan yang terjadi pada kedua kaki Syena.

Kaki itu masih sama mutlak cacat kata dokter. Tapi, Kalistha selalu percaya bahwa adiknya itu pasti akan sembuh dan berjalan normal kembali.

"Sepanjang malam dia selalu menangis karena kondisi kakinya. Lalu, mengapa Tuhan tidak berbaik hati padanya? Memberinya satu saja kesempatan untuk bisa berjalan normal kembali." ujar Kalistha, Arteta menatap sendu sahabatnya itu.

Rasanya, Arteta tidak akan kuat apabila menjadi seorang Kalistha.

"Kau harus tetap kuat demi adikmu! Jika adikmu tidak mampu tegar menghadapi cobaannya, maka kau sebagai seorang kakak harus menjadi suri teladan untuknya. Kau harus yakin pada Tuhan, dia pasti memiliki rencana dan kado untukmu di masa depan nanti!" tutur Arteta, setitik air mata yang jatuh dari kelopak mata Kalistha pun dihapus olehnya.

Ketika keduanya terlarut dalam obrolannya. Dari kejauhan sambil berjalan menggendong Syena di bahunya. Barsh berjalan mendekati Kalistha dan Arteta yang masih duduk di halaman rumah.

"Kakak!!!" teriak Syena riang.

Arteta dan Kalistha pun menoleh ke arah sumber suara itu. Terlihat Barsh nampak riang menggendong Syena di bahunya.

"Kau? Kenapa kemari?" tanya Arteta ketika Barsh berada tepat didepannya lalu menurunkan Angela.

"Ada apa? Aku hanya ingin mengajak peri kecil ini bermain, lagi pula dia begitu senang. Mengantarnya pulang adalah tugasku bukan?" jawab Barsh, seraya mengusap lembut surai Syena.

"Apa kakak tau, kakak ini baik sekali. Dia mengajakku berkeliling kota Tokyo, dan mengajakku ke toko mainan besar!" ucap Syena bercerita riang pada Kalistha dan Arteta yang memperhatikannya.

Kalistha nampak senang sekali rasanya. Jarang baginya melihat Syena sebahagianya ini. Apalagi bersama dengan orang baru yang baru saja dikenalnya. Itu Barsh!

"Kau pasti lelahkan sayang? Masuk dan ganti bajumu ada bento untukmu, sudah kusiapkan daritadi jangan lupa minum obatmu juga yaa!" ucap Kalistha.

Syena mengangguk mendengar itu. Dia pun masuk kedalam rumahnya. Entah mengapa Arteta begitu faham mengenai suasana ini.

Ketika hanya tinggal dirinya sendiri di sana tanpa Syena. Melihat tatapan yang terjadi antara Barsh dan Kalistha. Arteta memilih mundur saja sebelum jadi obat nyamuk.

Kepergian Arteta masuk ke dalam rumah Kalistha membuat Barsh merasa merdeka. Merasa tak ada lagi yang mengganggu. Barsh mulai menatap lembut Kalistha yang berdiri di depannya.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Kalistha pada Barsh. Namun yang ditanya hanya tersenyum.

"Apa? Kenapa kau tersenyum seperti itu?" tanya Kalistha lagi yang merasa aneh dengan tatapan Barsh di sini.

"Ikutlah bersamaku!" jawab Barsh sambil mengulurkan tangannya pada Kalistha.

"Ini bukan jadwal dimana aku harus mengajarimu piano bukan?" ucap Kalistha mencoba mengalihkan ajakan Barsh ke arah lain.

"Memang bukan, cobalah ikut bersamaku sebentar Kalistha!" ajak Barsh lagi padanya.

Kalistha sedikit mencari cari alasan yang tepat untuk menolak ajakan Barsh. Bukannya tak senang akan tawaran yang diajukan. Hanya saja hatinya masih ragu pada Barsh.

"Pukul 4 nanti salju mulai turun di Tokyo! Aku harus tetap di rumah menjaga Syena!" ujar Kalistha.

Setelah mengatakan itu Kalistha pun membalikan tubuhnya untuk masuk kedalam rumah. Barsh yang kesal pun mencoba menahannya.

Satu tarikan dari Barsh membawa tubuh Kalistha kembali menghadap ke arah Barsh. Kalistha menubruk kecil  tubuh Barsh.

Hingga membuatnya refleks menyentuhkan kedua telapak tangannya berada tepat di atas dada bidangnya Barsh.

Kalistha terkejut dia terpaku dalam posisi tubuhnya saat ini. Berbeda dengan Barsh yang saat ini berseringai sambil memperhatikan raut wajah Kalistha yang syok.

"Sudah berapa kali kukatakan? Jangan membuatku kecewa, ikutlah bersamaku!" ujar Barsh lagi padanya.

Kalistha terjebak dalam posisi ini. Dan posisi ini membuatnya bungkam, hingga begitu keluh lisannya untuk berucap.

Tapi, Kalistha adalah pribadi yang keras kepala. Dia pun segera mendorong tubuh Barsh ke belakang lalu menjauhkan tubuhnya dari Barsh.

"Maaf aku tidak bisa." ucap Kalistha lagi, ia pun berbalik dan masuk kedalam rumahnya.

Melihat Kalistha yang menghindar dan mulai menjauh. Barsh berlari kecil ke arahnya. Kalistha memekik ketika sepasang tangan kekar mulai mengangkat tubuhnya, menggendongnya, membawanya dengan paksa.

"Apa-apaan kau ini, turunkan aku." pekik Kalistha pada Barsh yang membawanya paksa.

"Aku sudah bilang untuk tidak membuatku kecewa. Jika aku seperti ini bukan salahku, kan?" jawab Barsh sambil tersenyum pada Kalistha.

"Dasar!" ucap Kalistha pada Barsh.

Kalistha pasrah ketika Barsh membawanya masuk ke dalam mobil.

Terpopuler

Comments

@Risa Virgo Always Beautiful

@Risa Virgo Always Beautiful

Kalistha sama Barsh tahan dengan udara dingin ternyata

2023-04-30

0

@Risa Virgo Always Beautiful

@Risa Virgo Always Beautiful

Kalistha sedang merasakan jatuh cinta ke Barsh

2023-04-29

0

@Risa Virgo Always Beautiful

@Risa Virgo Always Beautiful

Kalistha fokus nulis diary ngga tahu sahabatnya datang

2023-04-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!