Tanpa menunggu penjelasan dari Ayra, sudah bisa ditebak, Maya pasti akan bertindak anarkis. Wanita tua itu sudah menjambak bahkan menyeret Ayra dengan kasar, kemudian menjatuhkannya ke lantai.
"Sudah'lah miskin, kampungan, tidak berguna, benalu, dan ternyata kau pencuri juga!" umpat Maya dengan suara lantang.
"Aku gak mencuri, Bu. Ini uangku," jawab Ayra berusaha bangkit. Dia tidak mau menunduk di depan kaki wanita itu. Dia tidak salah, kenapa harus sujud?
"Kau pikir aku akan percaya? Kalau memang ini uangmu, lantas kau dapat dari mana? Pasti mencuri, kan?"
"Aku gak mencuri!"
"Lantas? Melacur?"
Sumpah demi Neptunus, penguasa lautan, ingin sekali Ayra menjambak dan menampar wanita itu. Dia masih punya jarum dan benang dalam tasnya, mungkin bisa untuk menyulam bibir wanita itu. Seenak jidatnya saja menuduh Ayra melacur.
"Aku bekerja, Tante!" sahut Ayra lantang. Tentu saja hal itu membuat Maya merasa tidak dihargai, menarik baju yang melekat di tubuh Ayra, berusaha menyeret gadis itu, tapi tangannya disentak oleh Ayra.
Cukup sudah dia bersabar, dia tidak akan mengalah lagi. Tapi Maya bukan wanita yang gampang untuk dikalahkan. Merasa kalau bertarung satu lawan satu dia akan kalah, Maya berlalu dari kamarnya.
Wanita licik itu memilih menggunakan otak dan kekuasaannya untuk mengalahkan Ayra. Maya masuk ke dalam kamar, menghubungi seseorang yang bisa dia kendalikan dengan nama besar keluarganya.
"Maafkan Bibi ya, Neng," ucap Bi Ijah yang membantu memasukkan kembali baju-baju milik Ayra ke dalam koper lalu menyimpan ke dalam lemari.
"Gak papa, Bi. Wanita itu yang keterlaluan," jawab Ayra bergetar. Hati sebenarnya tidak kuat dengan keributan tadi, tapi di depan Maya, dia berusaha untuk menunjukkan keberaniannya.
"Iya, Neng. Yang penting Ibu sudah melepaskan Neng Ayra," jawab Bi Ijah bernada lega.
Bi Ijah ikut duduk di samping Ayra, mencoba menghibur dan menenangkan hati gadis itu. 30 menit berlalu, kamar Ayra kembali dibuka. Wajah Maya muncul lagi, dengan tatapan sini. Satu alisnya naik ke atas menatap jijik pada Ayra.
"Itu orangnya, Pak. Dan bukti uang saat penggeledahan bisa Bapak sekalian bertanya pada pembantu saya yang satu lagi," ucap Maya tegas.
Ayra masih bingung, dia tidak mengerti maksud ibu mertuanya.
"Silakan, Pak," lanjut Maya sembari melipat tangan di dada. Hatinya puas tidak terperi.
"Ibu... Apa maksud semua ini?" pekik Ayra kaget sekaligus ketakutan. Seberani apapun dia, siapa yang berani melawan pihak berwajib?
Kedua polisi muda itu sudah membawa Ayra dengan paksa. Tidak peduli Ayra meronta, menangis dan berteriak mengatakan dia tidak bersalah.
"Anda bisa menjelas di kantor," ucap salah satu dari pria berseragam coklat itu.
Sekuat apapun Ayra meronta, dia tidak bisa lepas dari pegangan kedua pria bertubuh kekar itu. Bi Ijah tidak kuasa melihat keadaan Ayra yang diseret paksa.
"Neng Ayra...," cicit Bi Ijah berlari menyusul Ayra hingga ke pintu. Ayra terus meronta minta dilepaskan, tapi hingga tubuhnya lemas, kedua pria itu tetap tidak mau melepaskannya.
***
Dua hari di ruang itu tanpa Ayra di rumah membuat Maya merasa bahagia. Hidupnya tenang tanpa ada kerutan di keningnya.
"Bu, saya mohon, lepaskan Neng Ay. Kasihan dia, Bu," ucap Bi Ijah menyatukan telapak tangannya, memohon belas kasihan Maya.
"Ah, diam kamu Ijah! Jangan ikut campur atau kamu juga saya jebloskan ke bui, sama seperti wanita kampung itu!"
Seketika Ijah menutup mulutnya. Dia tidak akan menang. Wanita itu tidak punya hati dan belas kasih, bagaimanapun memohon, pasti tidak akan dikabulkan.
"Ingat Ijah, kamu jangan cerita pada siapapun, terlebih pada suami saya dan juga Dewa!" Ancam nya dengan mimik wajah menakutkan. Bi Ijah yang ketakutan hanya bisa mengangguk.
Hari ini Dito dan Dewa tiba di rumah. Memasuki ruang tamu, kening Dito sedikit berkerut. Rumah terlihat sepi, dan kemana Ayra? Biasanya dia pasti datang menyambut kedatangannya. Hal itu hampir setiap sore dilakukan gadis itu setiap dirinya pulang dari kantor.
Ayra tentu saja tahu kalau hari ini mereka kembali, tapi gadis itu tidak tampak. "Mungkin dia sedang beristirahat," batin Dito menghempaskan tubuhnya ke sofa.
Tidak hanya Dito, Dewa juga menatap aneh keadaan rumahnya yang tampak sepi. Ibunya juga tidak kelihatan, dan terlebih tidak ada nyanyian kecil yang biasa dilantunkan Ayra dengan tidak tahu malunya, meskipun suaranya sangat jelek.
Dewa menebak, saat membuka pintu kamarnya, Ayra akan muncul dengan wajah culunnya, tapi kenyataanya kamar itu juga kosong.
Penasaran akan keberadaan gadis itu, yang seharusnya tidak perlu, Dewa turun dan menemui ayahnya.
"Gak ada orang di rumah, Pa. Sepi," ucap Dewa ikut duduk di depan Dito. Tidak lama, Bi Ijah datang menghadap. Wanita itu tidak menyambut kedatangan majikannya karena sedang sholat.
"Pada kemana semua orang? Ayra dan Mama mana, Bi?" tanya Dewa melepas jaket jeans nya.
"Ibu lagi pergi ke rumah sakit menjenguk temannya, Den," ucap Bi Ijah, lalu berhenti sampai di situ saja, padahal ayah dan anak itu sama-sama menunggu kelanjutan warga dari Ijah.
"Lalu, Ayra?" samar Dito cepat. Bi Ijah diam, dia gak tahu harus jawab apa. Ingin rasanya buka mulut, tapi takut pada Maya.
"Jawab, Ijah!" hardik Dito yang mulai cemas. Dia bisa merasakan ada yang tidak beres saat ini di rumah nya.
"Bi, dengar gak papa tanya apa?" lanjut Dewa yang kini ikut merasa cemas. Apa terjadi sesuatu yang buruk pada istrinya. Istri? Oke, ralat, gadis kampung itu. Dan dia khawatir juga bukan berarti apa-apa, tapi karena... ya, sekedar khawatir saja.
"Itu Tuan, Den, Neng Ayra ditahan polisi," jawab Bi Ijah takut-takut. Namun, dia juga kasihan melihat nasib Ayra. Mungkin kalau majikannya ini mengetahui keadaan Ayra, maka gadis itu bisa dikeluarkan dari sana.
"Apa? Ditahan? Kenapa bisa, Bi?" Suara Dito menggelegar di ruangan itu. Dia sama sekali tidak menyangka kalau keadaan Ayra akan menyedihkan seperti ini selama tiga hari mereka pergi.
Dewa kali ini benar-benar khawatir. Ditambah lagi untuk ibunya. Dia yakin, kalau dalang di balik semua ini adalah ibunya!
Bi Ijah pun akhirnya menceritakan semuanya pada Dito dan Dewa. Amarah Dito kian berkobar. "Kamu keterlaluan, May!" umpatnya mengeratkan tinju. Bangkit berdiri dan segera meminta Komar menyiapkan mobil.
"Papa, di sini aja. Aku yang akan membawa Ayra pulang," ucap Dewa menahan ayahnya untuk tetap tinggal. Pasalnya selain karena lelah, kesehatan ayahnya tidak sedang stabil.
Dewa juga harus segera menghubungi ibunya, menanyakan keberadaan Ayra saat ini. Di kantor polisi mana dia ditahan.
"Kamu ngapain mau jemput dia pulang? Dia itu pencuri. Biarkan aja dia membusuk di penjara!" seru Maya tidak mau mengatakan dimana Ayra berada.
"Mama cepat, Ma. Jangan main-main, Papa sudah marah besar!" hardiknya tegas. Ibunya itu memang sudah sangat keterlaluan.
Dewa sendiri merasa iba, bisa dibayangkan gadis itu ketakutan dan harus tidur di lantai.
Setelah diancam, Maya pun menginginkan alamatnya pada Dewa, dan segera meluncur ke sana.
"Selamat sore, Pak. Saya ingin bertemu dengan istri saya," ucap Dewa yang untuk pertama kali mengakui Ayra sebagai istrinya walau sekedar informasi saja. Dalam hatinya, toh dia tidak akan bertemu dengan para polisi yang ada di front office.
"Siapa istri kamu?" hardik penjaga.
"Ayra Putri, Pak," jawab Dewa tegas. Setelah mengisi berkas, dan sekaligus membayar uang jaminan, Ayra bisa keluar.
Saat di depan ruang depan kantor polisi itu, Ayra yang masih ketakutan, begitu melihat Dewa segera menghambur dalam pelukan pria itu.
"Aku takut, Dewa," desisnya sambil terisak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Wirda Wati
😭😭😭😭
2025-01-23
0
Neng Ati
kalau emang dewa ga suka SM ayra,semoga Egi secepatnya muncul bawa ayra pergi dr Maya yg ga punya perasaan.
2023-04-13
1
nctzen💋
wahhh keterlaluan s nenek lampir ini,,,ekhh om dito buat apa km angkat ayra jadi mantu kalau cuma mau bikin ayra menderita.Gak sadat diri banget udah di kasih enak sama ortu ayra ini balasannya membiarkan anak dan istrimu berbuat dzolim sama ayra!!!geuleuhh ikh.semoga s nenek lampir segera kena azabnya!
2023-04-13
1