Nafsu

Kisah Asmara Santri - BAB 2

Nafsuku yang membahayakan ku dan membuatku sakit.

-Kitab Minhajul Abidin-

.

.

.

Malam itu bintang sedang bertebaran di langit, di temani sang bulan yang juga terlihat bahagia. Hari sudah begitu malam tapi aku masih belum bisa memejamkan mata.

Melihat indahnya langit malam sedikit mengobati rasa rindu ku pada kedua orang tua ku yang telah tiada.

Ucapan abah tadi sore masih menari - nari di atas kepalaku. Bahkan bisa membuatku frustasi.

5 jam yang lalu...

"Kamu ini anak perempuan Sya, orang tua kamu sudah kembali pada Allah. Kamu masih betah hidup sendiri ? ngga pengen cari pendamping hidup? Kamu bentar lagi lulus Sya, siapa yang jagain kamu nanti." tutur abah mengkhawatirkan ku setelah aku beritahu kalau mau lanjut kuliah.

"Maafkan Aisyah, Abah. Aisyah pengen mandiri. Aisyah akan selalu melakukan pelajaran yang Aisyah dapat dari pesantren ini. Aisyah akan selalu sholat dan mengaji walaupun sesibuk apapun Aisyah nanti."

Abah terdiam. Bimbang dengan permintaan Aisyah. Sejak yatim piatu Aisyah diasuh langsung olehnya. Ia sungguh tidak rela Aisyah dilepaskan diluar sana tanpa ada yang melindungi. Abah sudah menganggap Aisyah sebagai putrinya sendiri.

Melihat kebimbangan Abah, Aisyah pun berkata lagi.

" Aisyah tidak ingin membebani Abah lagi. Terima kasih telah merawat Aisyah dengan baik seperti orang tua Aisyah sendiri. Aisyah ingin mencari bakat, siapa tau nanti jadi orang sukses. Aisyah ingin membahagiakan Abah juga Ummi." Aisyah berucap dengan mata yang berkaca - kaca.

Aisyah hanya menundukkan kepalanya. Tak berani menatap kesedihan Abah yang sudah dianggapnya sebagai ayah kandungnya sendiri.

"Melihat mu tersenyum itu saja sudah mampu membuat Abah dan Ummi seneng, Sya." hati Aisyah terasa sesak sekali ketika melihat senyum Abah yang terlihat di paksakan.

Namun aku telah bertekad.

" Abah, Aisyah minta tolong jangan beritahu umi dulu tentang hal ini. Ais ngga mau umi sedih. Nanti kalau Umi tau, Umi akan melakukan segala cara untuk mencegah kepergian Aisyah." pinta Aisyah dengan menunjukkan wajah imutnya.

Tepat saat itu terdengar suara teriakkan yang sangat keras bahkan bisa mendengungkan telinga Aisyah.

" TIDAK AIS!!" suara berat itu terdengar sangat keras.

" Astaghfirullahaladhim." pekik ais sambil mengusap dadanya mengekspresikan keterkejutan nya.

Abah cuma gelengin kepalanya rambutnya sudah agak memutih.

"Kamu tidak boleh pergi jauh." pinta Yusuf yang memang sangat tidak rela kehilangan Aisyah.

"Di luar sana ada banyak sekali orang dan tak semuanya akan baik padamu. Jika nanti ada lelaki hidung belang yang mengganggu kamu gimana ?" tambahnya.

"Tenang saja. Allah bersamaku...." ucapan Aisyah terpotong oleh Yusuf.

" Tidak ! Tidak boleh. Menikahlah denganku." pinta Yusuf dengan sungguh-sungguh.

Tunggu dulu.. Bukankah ini aneh. Kenapa kita harus menikah ? bukankah lucu ia bilang seperti itu. Kita tidak saling mencintai.

"Jangan bercanda, ya. Kita ini dua insan yang cuma mengenal nama." Aisyah mencoba menolak halus karna disana ada Abah.

"Aku serius Aisyah, aku mencintaimu sejak lama. Ku mohon menikahlah denganku." desak Yusuf.

"Aku ingin melanjutkan kuliah Yusuf."

" Sya, kau mau membahagiakan Abi sama Umi, kan ? maka cukup kita menikah dan mereka akan mendapatkan cucu." tuturnya yang sukses membuat Aisyah kelimpungan antara malu dan sedih.

Jujur, Aisyah hanya menganggap Yusuf sebagai kakak tidak lebih.

Dan disinilah Aisyah sekarang. Merenungi nasibnya yang begitu tragis.

Setiap mengingat kejadian itu, ingin rasanya aku menangis. Seharusnya aku bahagia telah menemukan seseorang yang mencintaiku dengan tulus, tapi entah mengapa hatiku rasanya perih sekali setelah mendengar ungkapan cinta itu.

Andai saja itu bukan Yusuf, tapi Abdul. Aku pasti akan kegirangan setelah mendengarnya.

Harus pada siapa aku mengadu ? Liya pasti akan berceramah panjang kali lebar jika aku bercerita.

Dan Cha cha pasti akan sedih kalau tau Yusuf telah memilih ku, karna gadis itu sudah lama menaruh hati untuk Yusuf.

Tiba - tiba...

"Aduh." entah siapa yang iseng di tengah malam begini.

Kenapa juga harus ada kemeja yang mendarat seenaknya di kepalaku dan menambah kekesalanku.

Langsung ku tarik kemeja putih yang menutupi kepalaku dan betapa terkejutnya aku melihat siapa si pemilik kemeja. Aku menerjabkan mata berkali - kali berharap penglihatan ku salah. Namun, itu semua hanyalah nihil.

"A...ab..dul." seruku dengan suara pelan.

"Sudah tengah malam. Udara jam segini ngga baik buat kesehatan. Tidurlah." ucapnya sedikit berteriak dari atas jendela santri putra.

Abdul, kau tau, aku menantimu semenjak pertama kali pertemuan kita. Kau tau, mendengar suaramu saja sudah menghilangkan beban yang seharian ini menumpuk di pundakku.

Astaghfirullahal'adhim Ya Allah.. Abdul itu bukan siapa - siapa. Aku tak boleh mengaguminya lebih. Ini hanya lah nafsu belaka. Dan ku tau, orang yang tidak bisa menguasai nafsunya tidak pantas disebut sebagai seorang muslim.

Na'udhubikamin dhaliq.

"Hey Ais." panggil nya yang langsung membuyarkan lamunanku tentang nya.

Setelah menyadari kebodohan ku, aku pun pergi dan menutup jendela rapat - rapat.

Ahh .. Malu lah aku di tertawakan Abdul seperti itu. Sepertinya dia sadar kalau aku sendari tadi memperhatikan nya.

Aduh Ais... Kamu bodoh banget. Mau pasang muka dimana kamu besok.

🌹🌹🌹🌹

huft.. Sudah hampir dua jam aku mencarinya tapi tak muncul juga orang nya.

Dimana sih dia, tenggorokan ku mengering. Belum kemasukkan air sendari tadi. Ngga peka banget tu orang. Tau gini tadi malam aku tinggal saja ni kemeja di tkp. Ngga aku bawa kekamar.

Huh, Munafik banget sih kamu Aisyah.

Nyatanya aku selalu tersenyum mengingat kejadian itu. Aku bisa merasakan kehangatan dari seorang Abdul yang selama ini cuma ada di angan ku. Lelaki yang diam - diam aku cintai.

'Percaya atau tidak, kemeja ini telah ku peluk dalam tidur ku semalam. Ya, Allah. Maafkan hamba mu ini ya Allah. Saya khilaf.' Pikirku sambil senyum-senyum sendiri mengingat kebodohannya semalam.

"Lagi mikirin aku, ya." ucap Abdul dari belakang ku. Aku sangat kaget di buatnya.

"Ge.. ge er." sanggah ku menutupi kegugupanku. Aku pun melempar kemeja yang sendari tadi ku bawa. Terlihat tidak sopan sih di lempar, tapi aku reflek melakukannya karna aku gugup sekali.

"Terima kasih." seruku pelan. Entah ia dengar atau tidak aku tidak perduli. Yang penting aku bisa cepat pergi dari sini.

"Lain kali kalau mencariku jangan ditempat yang sepi seperti ini. Kata ustad Taib Subhan itu ngga boleh. Mendekati zina katanya." teriak Abdul yang tak ku hiraukan tapi aku mendengar nya.

Aku tak bisa menampik kenyataan bahwa hatiku sungguh bahagia setelah bertemu sang pujaan hati.

🌹🌹🌹🌹

Karna lupa mengerjakan tugas, Abdul kini tengah di hukum memindahkan lima kardus dari kantor ke gudang. Karna Abdul sudah berniat dari lubuk hati terdalam untuk menjadi lelaki yang baik, jadi Abdul mematuhinya.

Abdul membawa semua sekaligus karna malas bolak-balik. Malangnya lagi, karna tumpukkan kardus yang terlalu tinggi, Abdul kesulitan melihat jalan di depannya. Ia pun tanpa sengaja menabrak seseorang.

"Maafkan aku." ucap Abdul sambil menumpuk kardus itu kembali.

"Kau di hukum lagi ?" seseorang bicara padanya.

Suara itu sangat familiar di telinganya. Abdul pun menoleh ke asal suara itu dan dugaan nya benar. Itu Aisyah.

"Kau baik - baik saja ?" tanya Abdul karna Aisyah terlihat murung.

"Aku tidak terluka, tapi kamu. Lihatlah kakimu berdarah." jawab Ais sambil menunjuk kaki kiri Abdul. Dan saat itu juga Abdul baru sadar kalau kakinya terluka.

"Aku pergi dulu." pamit Abdul sambil membawa tumpukkan kardus itu.

"Sini, biar aku bantu." pinta Aisyah menawarkan bantuan.

"Tidak perlu." Tolak Abdul halus.

"Kaki mu terluka." ucap Aisyah sambil merebut paksa tumpukkan kardus itu.

"Ini hanyalah goresan." jawab Abdul sambil menampakkan deretan gigi putih nya. Alias tersenyum. Untung saja ia habis sikat gigi tadi. Jadi keliatan kinclong - kinclong giginya.

"Tapi tetap saja." setelah berdebat cukup lama, akhirnya mereka memutuskan untuk membawanya ke gudang bersama.

🌹🌹🌹🌹

Setelah selesai merekapun menumpuk semua kardus itu dengan rapi.

Ceklek

'Suara apa itu?'

Kedua sejoli beda jenis itu berlarian menuju pintu keluar. Dan benar saja seperti nya pak satpam tak tau kalau ada orang di dalam gudang.

"Permisi, apa ada orang di luar sana ?" teriak Abdul sambil menggedor-gedor pintu.

"Tolong.. ada orang disini." Teriaknya lagi kali ini lebih kencang.

"Tunggu Abdul." setelah Abdul menyingkir dari pintu Aisyah pun mencoba membuka pintu itu dari jepitan rambutnya yang ia ambil dari balik jilbabnya.

"Minggir Ais." setelah berucap Abdul langsung mendobrak pintu dengan keras.

"Sudah Abdul. Lihat, lenganmu jadi memar semua." protes Aisyah yang gak rela kalau tubuh mulus sang pujaan hati jadi lecet semua.

"Kita akan keluar." Abdul masih berusaha mendobrak pintu.

"Cukup Abdul. Tanganmu berdarah."

Abdul pun melihat ceceran darah di kedua tangannya. Sendari tadi ia tak merasa sakit sedikit pun karna yang ada di dalam fikirannya adalah bagaimana cara keluar dari ruangan itu. Sampai ia tak menghiraukan lukanya.

Sepertinya ia tak sadar kalau sedang terluka.

Seingat Aisyah, ia membawa beberapa jilbab di tas ranselnya. Aisyah pun pengambilnya.

Tanpa sadar kedua mata mereka bertemu.

Mereka merasakan ada sebuah rasa yang aneh dalam diri masing-masing. Ini bukanlah cinta. Ini hanyalah nafsu saja.

Aisyah memalingkan mukanya lebih dulu dan mulai berjalan menjauh. ia khilaf. Ia telah berzina mata dengan Abdul. Ya Allah, sesungguhnya hamba hanyalah manusia biasa yang tak luput dari segala dosa.

Mereka berdua berdua terdiam cukup lama.

"Kau tidur lah disana." ucap Abdul dari kejauhan.

"Bagaimana dengan mu ?" Aisyah mulai curiga padanya.

Entah mengapa ia menjadi was - was . Ia memang mencintai nya, tapi dirinya juga perempuan yang ingin menghadiahkan kehormatannya untuk suaminya kelak.

"Aku tidak akan tidur. Aku tidak akan kemana-mana termasuk ke sana." ucap Abdul dengan nafas yang memburu.

"Bagaimana aku bisa mempercayai mu." ucap Aisyah.

Sungguh. Keadaan ini sangat mengkhawatirkan mereka berdua. Walau bagaimanapun mereka juga sudah tau apa yang terjadi pada orang dewasa kalau cuma berduaan seperti ini.

Mereka sama-sama terdiam.

"Baiklah. Bagaimana kalau malam ini kita tidak tidur?" saran Abdul.

"Tapi, besok aku ada ulangan harian." jawab Aisyah.

"Mau bagaimana lagi ? toh malam ini kamu juga tidak belajar."

"Kau benar." perselisihan ini berakhir dengan kekalahan Aisyah. Mereka saling membisu. Tenggelam dalam angan masing-masing. Akhirnya mereka pun tertidur dengan sendirinya karna kelelahan. Kegiatan di pondok pesantren memang menguras tenaga.

-To Be Continued-

Mohon kritik dan sarannya 🙏

Salam hebat Luar Biasa !

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!