Keesokan harinya, Rania tetap bekerja seperti biasanya, tapi dia terlihat agak aneh. Hal itu tentu saja membuat owner dari cafe tersebut menanyakannya kepada Rania.
"Nia, apakah kamu baik-baik saja?" tanya seorang wanita yang menggunakan baju biru dengan rambut hitam panjang terurai, berasa tepat di samping kanan Rania.
Rania yang saat itu terlihat sedang terlamun langsung memalingkan wajahnya karena dia terkejut mendengar suara dari wanita itu. "Ah? Aku... Baik-baik saja, kok!" balas Rania yang segera memalingkan wajahnya.
Mendapati jawaban itu, perempuan itu sebenarnya tidak percaya, dia juga sendiri tidak tahu jika Ayah Rania sedang sakit, dikarenakan Rania yang tidak berkata apapun. "Baiklah, jika ada masalah katakan saja padaku, mungkin aku bisa bantu! Atau bicaralah dengan orang yang sangat kamu percayai untuk mendengarkan keluh kesahmu itu, ingat jangan dipendam seorang diri, ya?" Wanita itu memberikan saran kepada Rania dan juga ingin Rania sadar dia itu tidak sendirian.
Rania yang mendengar baik-baik pesan terucap, gadis itu hanya memberikan balasan senyuman paling manis yang dia miliki. "Terima kasih, Bu... Saya akan mengingat betul saran Anda ini," jawab Rania yang terlihat manis.
"Sama-sama, oh iya aku tinggal dulu ya, ingin keluar," kata wanita itu lagi. Yang segera mengambil tasnya yang berada di atas meja.
Rania mengangguk pelan. "Baik," balas Rania tegas.
Wanita itu langsung menepuk bahu Rania dengan lembut, lalu dia berjalan untuk bisa meninggalkan cafe. "Hati-hati," tambah Rania mengingatkan. Dia tersenyum saat wanita itu pergi, setelah dia benar-benar seorang diri, gadis itu jadi kembali sedih.
Beberapa kali Rania mendengar suara ponsel yang bergetar, pesan dari bank yang tiada hentinya menghubungi dia. Rania mengabaikannya, dia pun berusaha untuk tetap tenang.
"Bagaimana ini? Apakah aku akan siap dengan semuanya? Apakah benar ini jalan yang harus aku ambil? Apakah ini yang kamu inginkan, Tuhan?" dalam benak Rania yang merasa bingung. "Tuhan... Aku harus bagaimana? Tolong bantu aku," kembali batin Rania bertutur. Dia menangis di dalam hati, menjerit di dalam perasaannya yang mencabik.
Sementara itu di ruangan kerja Rangga Aditama, lelaki itu terlihat fokus menatap layar komputernya. Hingga tidak lama kemudian muncul seseorang yang mengetuk terlebih dahulu pintu ruangannya. "Pak... Ini saya Erizal, bolehkah saya masuk ke dalam?" kata Erizal dengan suara yang lembut.
Mendengar hal tersebut, Rangga langsung mengangkat wajahnya dan melihat ke arah pintu. "Silakan masuk, Zal," balas Rangga dengan tegas.
Rangga kembali fokus menatap layar komputer saat Erizal membuka pintu dan masuk ke dalam. Erizal menatap tegas diri Rangga, hingga lelaki itu pun berdiri tegap di hadapan Rangga. Mereka dibatasi oleh meja saat itu. Rangga melirik diri Erizal sambil bicara, "Hal apa yang ingin kamu katakan padaku?" tanya lelaki itu dengan tegas.
"Saya sudah mendapatkan beberapa gadis untuk bisa menjadikan bahan percobaan Anda, mungkin mereka masuk kualifikasi jika Anda melihatnya sendiri," balas Erizal dengan percaya diri.
Rangga langsung menghentikan pekerjaannya dan menganggukkan kepala. "Bagus, lantas kapan kamu akan mempertemukan mereka denganku?" tanya Rangga penasaran.
"Di ruangan pribadi Anda, mungkin gedung xxx milik Anda, karena Saya rasa itu adalah tempat yang paling aman dan nyaman," tambah Erizal memaparkan.
Rangga menganggukkan kepalanya. "Okay, jam berapa aku akan bertemu dengan mereka?" tanya Rangga lagi.
"10 malam saya mengumpulkan mereka di sana, bagaimana menurut Anda?" jawab sekaligus tanya Erizal meminta saran.
"Okay, setuju! Nanti aku akan pergi ke sana, aku percayakan semuanya padamu," lanjut Rangga dengan tegas.
Setelah perbincangan berakhir Rangga kembali fokus dalam pekerjaannya. Dia memang sangat sibuk waktu itu. Banyak hal yang harus dia selesaikan.
••
Hingga malam pun tiba, Rania sangat resah, dia jadi bimbang. Dia beberapa kali terlihat mondar-mandir di dalam rumahnya. "Apakah aku yakin?" dalam benak Rania yang sebenarnya masih belum mantap.
Tidak lama kemudian, Rania dikejutkan dengan suara ponsel yang berbunyi, saat itu Rania meletakkannya di atas meja. Dia menggunakan pakaian merah dengan rambut terurai panjang.
Rania yang masih berada di tengah kebimbangannya, dia langsung memalingkan wajah dan melihat siapa orang yang menghubungi dirinya. "Ternyata dia, bagaimana ini?" dalam batin Rania yang belum yakin juga.
Namun saat itu Rania teringat mengenai hutang begitu banyak dan juga tagihan rumah sakit Ayahnya. Rania menghela napasnya cukup dalam. Lalu dia mulai memberanikan diri untuk mengambil ponsel tersebut. "Halo, Tuan," kata Rania. Dia yang langsung menjawab panggilan. Rania berusaha tetap baik di hadapan Erizal. Meskipun sebenarnya tidak begitu.
"Halo, Rania, hari ini saya akan langsung menjemput kamu, apakah kamu sudah siap? Dan bisakah kamu mengirimkan titik keberadaanmu saat ini?" tanya Erizal tegas.
Rania terdiam sejenak. Lalu dia pun kembali bicara, "Oh... Baik, saya belum siap juga, hehe! Saya akan mengirimkannya sesegera mungkin," balas Rania. Gadis itu jelas saja sedang berbohong.
"Baik, kalau begitu, saya tunggu ya," lanjut Erizal dengan tegas dan tenang.
"Hmm," tambah Rania yang sebenarnya ketakutan. Dia pun mengakhiri panggilan itu, dia langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kasur yang cukup tipis.
"Bagaimana ini? Sungguh membingungkan!" dalam benak Rania yang sebenarnya enggan.
Hingga beberapa saat kemudian, Erizal tidak juga mendapatkan kabar apapun dari Rania. Lelaki itu kembali menghubungi Rania dengan mengirimkan pesan singkat.
[Rania?]
Rania yang masih meratapi nasibnya langsung memalingkan wajah dan menatap kembali ponselnya.
"Dia mengirimkan aku pesan, aku juga tidak ingin mengingkari janji, keputusan ini apakah sudah bulat? Rania... Hufff..! Baik, aku akan benar-benar menjalani takdir ini!" kata Rania yang sedang bermonolog.
Dia langsung mengirimkan lokasi terkini kepada Erizal. Tangannya gemetaran saat itu karena ketakutan.
[Maaf menunggu lama] balas Rania kepada Erizal.
Di tempat lain Erizal yang berada di dalam mobil, terlihat sedang membaca pesan tersebut, setelah dia mendapatkan info dari Rania, lelaki itu pun segera menancap gas dan mendatangi Rania.
Rania tidak ada habis-habisnya menyalahkan dirinya sendiri. Rania meratapi nasibnya yang begitu buruk. "Sekarang aku tidak tahu lagi harus bagaimana," dalam benak Rania pasrah.
Tidak lama kemudian, Rania yang masih terlamun segera sadar, setelah dia mendengar suara klakson dari mobil seseorang. "Mungkinkah itu adalah Tuan Erizal?" dalam benak Rania yang terkejut.
Rania yang tidak sadar sudah menangis segera mengusap dan membersihkan sisa air matanya yang masih ada di wajahnya. Rania segera bangkit dan berusaha untuk berani. Dia menatap pintu rumahnya dengan tatapan yang tajam.
Segera Erizal menghubungi Rania kembali, setelah dia tiba dan melihat Rania tidak ada di hadapannya. Ponsel Rania kembali berbunyi, dia melihatnya dengan khawatir.
BERSAMBUNG....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments