Keadaan Hildan malah semakin tidak baik, suhu tubuhnya semakin tinggi. Mungkin juga karena dia yang terlalu banyak bekerja dan kurang istirahat. Hildan tidur dengan gelisah, kepalanya yang terasa begitu berat dan pusing.
Sementara di dalam kamar, Jenny juga tidak bisa tidur karena memikirkan keadaan Hildan. Bodohnya dia masih peduli pada suaminya itu. Karena mungkin perasaan dia yang tidak bisa di bohongi jika dia memang mencintai Hildan, bahkan sebelum mereka resmi menikah.
Akhirnya Jenny berjalan keluar kamar dan menuju kamar Hildan, dia memutar hendel pintu dengan pelan. Dan ketika dia masuk, dia melihat Hildan yang sedang duduk menyandar di atas tempat tidur dengan tangan memijat pelipisnya.
Hildan mendongak dan menatap Jenny yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. Dia tersenyum tipis pada istrinya itu. Sudah pasti Jenny tidak akan membiarkan Hildan sakit sendirian di dalam kamar.
"Kau mau kemana?"
Jenny yang siap berbalik dan pergi dari kamar Hildan, langsung menghentikan langkah kakinya. DIa menghela nafas pelan, lalu dia berbalik dan menatap Hildan dengan helaan nafas pelan.
"Aku hanya mengecek keadaan Mas saja, kalau sudah baik-baik saja aku akan kembali ke kamar Zaina"
"Aku masih sakit, apa kau tidak mau menemani aku?"
Jenny terdiam mendengar itu, dia tidak bisa terus berdekatan dengan Hildan karena sudah pasti Jenny akan semakin sulit untuk menghilangkan perasaannya.
"Maaf Mas, tapi aku harus menjaga Zaina" Jenny segera keluar dari dalam kamar dan menutup pintu kamar.
Hildan menghela nafas pelan, namun dia masih bersikap acuh tak acuh dengan sikap Jenny. Toh Hildan tidak pernah meminta Jenny untuk memperhatikannya. Hildan mencoba tidur dengan suhu tubuhnya yang panas.
Hingga pagi ini Hildan terbangun, ketika dia merasa sebelah tangannya berat seolah tertindih sesuatu. Ketika dia membuka mata, dia melihat Jenny yang tidur dengan posisi duduk dan kepalanya berada di sampingnya. Menindih tangannya, Hildan memegang keningnya saat dia merasa ada sesuatu disana. Ternyata itu adalah handuk kecil untuk kompresan.
Ada sebuah debaran aneh dalam dadanya, hatinya berdesir ketika dia merasa kalau Jenny begitu memperhatikannya. Jenny yang masih memperhatikanya setelah dia melakukan banyak hal yang menyakitinya.
"Bangun.."
Jenny mengerjap ketika Hildan menggoyangkan tangannya yang dia tindih. Jenny bangun dengan mengucek matanya pelan. Jenny menatap Hildan yang sudah bangun, padahal niatnya dia akan pergi ke kamar Zaina sebelum Hildan bangun dan menyadari jika dirinya ada di kamarnya. Namun, dia malah ketiduran. Semalam Jenny sengaja untuk datang ke kamar Hildan tengah malam, dia memeriksa keadaan Hildan yang ternyata masih demam. Membuat Jenny langsung mengopresnya.
"Kamu jagain aku semalaman?"
Jenny tidak menjawab, dia berdiri dan mengambil handuk kecil di tangan Hildan lalu memasukannya ke dalam wadah berisi air bekas kompres.
"Cuti bekerja dulu hari ini, kalau memang masih demam periksa saja ke Dokter"
Jenny berlalu dari kamar Hildan, dia tidak mau memberi ruang untuk hatinya lagi dengan segala harapan agar suatu saat nanti suaminya akan menerima dia sebagai istrinya. Namun nyatanya Jenny tidak pernah mendapatkan harapannya terwujud, karena memang Hildan yang tidak pernah membuka hatinya untuk Jeny.
######
Keadaan Hildan yang sudah merasa lebih baik membuat dia baru keluar kamar siang hari. Hildan berjalan menuju dapur, namun dia tidak mendapatkan keberadaan Jenny disana. Hildan baru ingat jika ini sudah waktunya jam pulang sekolah. Pasti Jenny sedang menjemput anaknya pulang sekolah.
Hildan menghela nafas pelan, ketika dia sedang memikirkan apa yang akan terjadi dalam kehidupan kedepannya, tiba-tiba Erina datang menghapirinya.
"Kamu sakit ya, padahal aku sudah ke kantor kamu dan kata asisten kamu katanya kamu sedang sakit, jadi aku datang kesini saja"
Erina duduk di depan Hildan di meja makan kosong yang berada di dapur. "HIldan, sebenarnya sudah dari lama aku ingin mengatakan ini. Semua ini tentang pesan terakhir dari adikku, tapi aku merasa bingung bagaimana cara aku memulai semuanya"
Hildan langsung menatap Erina dengan bingung, dia tidak tahu tentang pesan terakhir dari mendiang istrinya. Dan kenapa baru saat ini Erina mengatakan hal ini.
"Apa? Pesan terakhir apa?"
Erina merogoh tas miliknya dan mengambil sebuah surat dari dalam sana dan menyerahkannya pada Hildan. "Aku menemukan ini di dalam laci nakas ruang perawatan Zaina waktu itu, ketika dia baru saja meninggal.
Hildan mengambil surat itu dan membukanya. Dia mulai membaca surat itu.
Untuk Suamiku tercinta, Hildan..
Sayang, kalau memang aku tidak bisa bertahan dengan keadaan ini. Maka tolong jaga anak kita dengan baik. Aku tahu kamu pasti bisa, aku sangat mencintaimu Hildan.
Jika boleh aku juga mempunyai satu permintaan untuk kamu. Jika memang umurku tidak bisa bertahan lama, tolong kamu nikahi Kak Erina dan jadikan dia untuk Ibu pengganti untuk anak kita.
Dari istrimu yang sangat mencintaimu, Zaina.
Hildan terdiam membaca surat itu, dia langsung menatap Erina dengan tidak percaya. Rasanya Hildan tidak mungkin menikahi Erina, karena dia juga tidak mencintai Erina.
"Apa isi dari surat itu? Sebenarnya aku belum berani membacanya karena pasti kamu yang harus membacanya yang pertama"
"Zaina ingin kita menikah dan kamu menjadi Ibu pengganti untuk anak kita"
Deg..
Jenny terdiam di ambang pintu dapur, dia bermaksud untuk mengambilkan minum untuk anaknya ke dapur. Tapi dia malah mendengar hal yang begitu mengejutkan.
"Aku tidak bisa memaksa kamu juga Hildan, apalagi kamu juga sudah menikah dengan wanita lain. Jadi, aku tidak akan memaksa, lagian ini hanya sebuah pesan terakhir yang tidak perlu kamu pikirkan. Ini hanya harapan dan keinginan Zaina sebelum dia meninggal. Namun sekarang dia juga sudah meninggal lama, jadi tidak perlu kamu pikirkan lagi"
Hildan menggeleng pelan, dia akan menuruti semua yang diinginkan mendiang istrinya. Apalagi ini tentang permintaan terakhir dirinya sebelum meninggal dunia.
"Aku akan menikahimu, semuanya hanya demi Zaina. Aku ingin dia bahagia diatas sana jika melihat aku telah menuruti keinginannya"
Tess..
Air mata Jenny yang menetes begitu saja di pipinya. Mau bagaimana pun, Jenny tidak bisa melarang Hildan menuruti keinginan mendiang istrinya. Namun Jenny juga tidak siap untuk di madu.
Cobaan apalagi ini, Ya Tuhan?
Jenny berlalu dari sana dan keluar dari rumah. Mengendarai mobilnya tanpa tujuan arah. Dia hanya ingin menangis sejadi-jadinya tanpa ada orang yang tahu. Jenny berhenti di sebuah danau buatan yang sejuk. Duduk di pinggir danau dengan tangisan yang semakin pecah.
"Apa yang harus aku lakukan?"
Rasanya Jenny sudah tidak punya pilihan lain. Dia tidak akan siap di madu dan sekarang dia juga tidak bisa terus bersama dengan Hildan. Maka pilihan yang tepat hanya dia yang meninggalkan Hildan dan menyudahi semua ini.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Evy
Hanya akal akalan Erina itu pasti.kalo memang ada surat wasiatnya tidak akan menunggu sampai bertahun2.dari bayi skrg anaknya juga sudah sekolah. pakai logika saja...
2025-03-08
0
Mia Sukatmiati
Kenapa menangis,,harusnya bersyukur lepas dari pria dajjal
2023-10-02
0
Siti Nurmilah
udah lah jenny tinggalin aja lelaki bodoh kya si hildan gampang bnget kehasut gak punya prinsip jd cowo pling surat itu akal2 an si erina
2023-04-08
3