Jenny sedang bersiap untuk menjemput Zaina pulang sekolah. Namun ponselnya yang tiba-tiba berdering membuat Jenny menghentikan aktivitasnya sejenak. Dia melihat nomor ponsel suaminya yang meneleponnya.
"Ha-hallo Mas?"
Sebuah ketakutan yang kini tertanam di diri Jenny setiap dia berhadapan dengan suaminya. Jenny takut jika mungkin suaminya akan menyiksanya lagi setiap kali dia membuat kesalahan.
"Jemput Zaina!"
"I-iya, ini juga aku sedang bersiap untuk menjemput Zaina"
"Hmm"
Sambungan telepon langsung terputus begitu saja, membuat Jenny menghela nafas pelan. Jenny segera mengambil tas selempang miliknya. Dia segera pergi mengendarai mobilnya. Meski sebenarnya tubuhnya masih terasa tidak baik, kepala Jenny juga masih terasa pusing. Namun dia harus menguatkan dirinya sendiri karena tidak mungkin jika dia tidak menjemput Zaina dan mungkin saja dia akan kena amarah suaminya lagi.
Ketika Jenny sampai di sekolah, dia sudah melihat Zaina yang menunggu di depan gerbang sekolah. Jenny membukakan pintu mobil dari dalam. "Zaina, ayo masuk Sayang"
Zaina mengangguk dan segera masuk ke dalam mobil Ibunya. Gadis kecil itu memakai sabuk pengaman di tubuhnya.
"Bunda sudah sembuh sekarang?"
Jennya tersenyum mendenagr pertanyaan penuh anda khawatir dari anak sambungnya ini. "Bunda baik-baik saja, semoga akan semakin sehat ya"
"Iya Bunda, amin"
Jenny mengendarai mobilnya dengan pelan, dia tidak bisa berkendara normal karena kondisi tubuhnya yang sedang tidak fit. Jenny lebih mementingkan keselamatannya daripada kecepatan saat ini.
Kepalanya mulai terasa pusing kembali saat dia melihat beberapa kendaraan yang berseliweran dengan cepat di jalanan. Jenny menggelengkan kepalanya ketika penglihatannya terasa bekunang-kunang. Dia mencoba untuk kembali fokus pada jalanan di depannya. Tapi kepalanya malah semakin pusing, hingga dia tidak melihat jika lampu merah di depannya.
Mobil Jenny terus melaju, menerobos lampu merah hingga ada sebuah mobil di depannya dia begitu terkejut dan langsung membanting stir ke bahu jalan dan mobilnya menabrak bahu jalan dengan keras.
"Bundaa...."
Teriakan Zaina terdengar sebelum Jenny tidak sadarkan diri.
######
Jenny mengerjapkan matanya, dia melihat suasana putih yang bersih. Jenny merasa bingung dimana dia berada saat ini, hingga ingatan tentang kecelakaan yang terjadi membuat dia tersadar.
"Zaina, bagaimana keadaan Zaina?"
Jenny langsung bangun dan menatap suaminya yang berdiri di samping ranjang dengan wajah yang murka.
"Mas, Zaina dimana? Bagaimana keadaannya?"
Plak..
Tamparan keras mendarat di pipi Jenny, hingga dia memegangi wajahnya dengan rasa sakit. Sudut bibirnya sampai mengeluarkan darah saking kuatnya tamparan Hildan padanya.
Hildan mencengkram dagu Jenny dnegankuat, menatap wajahnya dengan tatapan yang begitu dingin dan tajam. "Kau hampir menghilangkan nyawa anakku, apa kau gila Hah? Kau hampir membuat Zaina pergi menyusul Mommynya, sialan"
Plak..
Tamparan yang kembali mendarat di pipi sebelahnya. Jenny mendongak dan memberanikan diri untuk menatap Hildan. "Siapa yang gila? Aku yang sedang sakit tapi kau paksa untuk menjemput anakmu. Atau kau? Yang menjadikan aku istri, namun hanya kau pekerjakan untuk menjaga anakmu dan kau siksa"
Tangan Jenny bergetar saat dengan berani dia berkata seperti itu. Jenny sebenarnya tidak seberani itu. Apalagi ketika tatapan suaminya yang semakin tajam padanya.
"Berani kau!"
Hildan menatap Jenny dengan tersenyum penuh misteri. Dia mengelus pipi Jenny dengan punggung tangannya. Jenny memejamkan matanya, bukan karena menikmati elusan lembut tangan Hildan di pipinya. Tapi dia sangat takut karena mungkin hari ini Hildan akan membunuhnya.
Tangan Hildan turun ke bagian leher, masih tersenyum. Namun beberapa saat kemudian senyuman itu lenyap seiring dengan cengkraman kuat di leher mungil Jenny. Hanya perlu menggunakan satu tangan untuk Hildan mencengkram kuat leher Jenny.
Wajah Jenny terlihat merah padam karena kehabisan nafas, tubuhnya bergetar kuat. Jenny memejamkan matanya, dia siap jika saat ini harus mati di tangan suaminya. Namun melihat Jenny yang pasrah, bahkan dia tidak berontak sedikit pun untuk melepaskan cengkraman kuat tangan Hildan di lehernya. Hildan langsung melepaskan cengkraman tangannya di leher Jenny.
Jenny terbatuk-batuk dan langsung menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dia mendongak dan menatap Hildan dengan matanya yang berkaca-kaca. "Kenapa tidak membunuh aku saja? Kenapa kau malah melepaskan aku? Bunuh saja aku saat ini. Aku siap mati di tanganmu, asal itu akan membuat kamu puas"
Hildan mengusap wajah kasar, dia juga tidak mengerti kenapa sekarang dia jadi seperti ini. Bahkan dia hampir membunuh Jenny.
"Aku tidak akan membunuhmu, sebelum aku puas bermain-main denganmu"
Hildan berlalu keluar dari ruangannya, membuat Jenny hanya bisa menatap punggungnya dengan mata yang berkaca-kaca. Dan pertahanan Jenny runtuh juga, dia menangis sejadi-jadinya di dalam ruangan ini.
Apa salahku hingga aku harus melewati semua ini. Sampai aku harus merasakan luka yang sangat dalam.
Tidak tahu apalagi yang harus Jenny lakukan saat ini. Rasanya dia sudah tidak punyai pilihan apapun lagi selain pasrah saja pada takdir hidupnya yang mungkin akan membuat dia mati di tangan suaminya sendiri.
######
Hildan duduk di kursi tunggu, dia mengacak rambutnya sendiri dnegan frustasi. "Kenapa wajahnya yang seperti tidak mempunyai semangat hidup lagi, membuat aku lemah dan kasihan padanya"
Wajah Jenny yang masih terlintas dalam ingatan Hildan benar-benar membuatnya frustasi. Bagaimana Jenny yang terlihat pasrah saat Hildan hampir membuat nyawanya melayang. Jenny benar-benar sudah tidak mempunyai harapan hidup lagi.
Hildan berdiri dan masuk ke dalam ruangan anaknya. Bersyukur karena tidak ada luka yang serius yang dialami oleh Zaina. Anak itu hanya terluka di bagian kepalanya saja, itu pun tidak parah.
"Daddy, bagaimana Bunda? Zaina ingin bertemu dengan Bunda"
"Zaina harus istirahat dulu biar bisa langsung pulang hari ini"
"Lalu, apa Bunda juga bisa pulang hari ini?"
Hildan mengangguk saja, akibat kecelakaan itu, Jenny juga tidak terluka terlalu parah.Hanya bagian kepalanya yang terluka dan kakinya yang memar karena terbentur. Tidak ada luka lain yang perlu dikhawatirkan.
"Zaina istirahat saja sekarang"
Hildan berjalan ke arah sofa, dia duduk disana. Dan bayangan Jenny saat dia mencekiknya langsung kembali terbayang di ingatannya. Entah kenapa saat ini Hildan merasa sangat lemah. Dia merasa kasihan dengan Jenny ketika melihat wajahnya yang pasrah begitu saja saat Hildan hampir membunuhnya.
Apa dia benar-benar akan pasrah saja ketika aku benar-benar membunuhnya? Sial kenapa aku terus memikirkan dia. Jangan sampai terpancing dengan wajah menyedihkannya itu, Hildan.
Drett.. Drett..
Hildan menatap ponselnya yang berdering diatas meja, dia segera mengambilnya dan mengangkat telepon dari Asistennya itu.
"Hallo, ada apa?"
"Hallo Tuan, Nona Erna kembali datang ke perusahaan dan ingin bertemu dengan Tuan"
"Kau suruh saja dia datang ke rumahku nanti malam"
"Baik Tuan"
Entah apa yang akan terjadi nanti malam.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Anonymous
ah goblok bget sh jd perempuan…
2023-10-26
0
Mia Sukatmiati
novel yg laki selingkuh tapi tudak kasar le istrinya dan akhirnya menyesali perselingkuhannay aku sellau dukung pemeran wanita tuk balikan lagi,tapi klo sdh kdrt ,kayak gini ,kok jijik rasanya klo mau tetep bertahan,,
2023-10-02
1
Yunerty Blessa
Jenny pergi saja tiada gunanya kau bertahan dengan suami tak punya perasaan
2023-05-20
0