Hildan pulang ke rumah malam ini, setelah cukup lelah melakukan banyak pekerjaan dikantor. Saat dia berjalan masuk menuju kamarnya, tidak sengaja Hildan melihat Jenny yang ketiduran diatas sofa. Dia menghampirinya dan menatap wajah tenang Jenny yang sedang terlelap.
"Untuk apa juga dia menungguku disini, tidak penting sekali. Mungkin dia sedang mencoba membuat aku tersentuh dengan semua ini"
Hildan benar-benar tidak memperdulikan Jenny yang sedang menunggunya pulang sampai dia ketiduran di atas sofa. Jenny terbangun ketika suara dering ponsel miliknya yang terdengar begitu nyaring. Jenny mengambil ponselnya dan mengangkat telepon dari pekerjanya itu. Dia melirik jam dinding yang menunjukan pukul 9 malam.
"Hallo Kak, pasokan bunga baru datang. Apa kita akan langsung pergi ke tempat acara untuk merangkai bunganya?"
"Iya Sil, lagian sudah tidak ada waktu lagi. Nanti aku jemput kamu, sekarang kamu sedang di toko 'kan, tunggu di situ biar aku menjemput kamu"
"Iya Kak"
Jenny berjalan perlahan menuju kamar suaminya. Dia mendengar mobil suaminya yang sudah pulang tadi, meski Hildan sama sekali tidak menyapanya. Jenny mengetuk pintu kamar Hildan beberapa kali. Sampai pintu terbuka dan memperlihatkan Hildan yang masih menggunakan handuk dengan rambut yang masih basah. Masih terlihat tetesan air di wajahnya dan tubuhnya.Jenny menunduk karena merasa malu sendiri menatap dada suaminya yang polos tanpa busana.
"Ada apa? Mengganggu saja"
"Maaf Mas, aku hanya mau izin kalau malam ini aku harus keluar karena ada pekerjaan"
"Cih, pekerjaan apa jam segini? Jual diri?!"
Deg..
Jenny merasa harga dirinya begitu di rendahkan oleh suaminya. Bahkan suaminya sendiri yang merendahkan harga dirinya saat ini. "Aku ada pekerjaan untuk merangkai bu...."
"Ahh sudahlah, aku tidak peduli apapun pekerjaan kamu. Lagian siapa peduli kamu mau kerja apapun, selama kamu bisa mengurus Zaina dengan baik. Maka aku tidak peduli semua tentangmu"
Hildan masuk kembali ke dalam kamar dengan menutup pintu kencang. Membuat Jenny begitu terkejut. Jenny menghela nafas dengan sikap suaminya ini. Dia kembali masuk ke dalam kamar dan melihat Zaina yang tidur dengan lelap. Jenny mengecup kening gadis kecilnya itu lalu bersiap untuk pergi bekerja.
"Bunda pergi dulu Nak, kamu baik-baik ya"
Jenny segera pergi menuju tempat tujuan, menjemput Sesil terlebih dulu sebelum dia pergi ke tempat acara wedding yang memesan rangkaian bunganya dari toko Jenny.
######
Jenny kembali pagi hari, dia benar-benar harus menyelesaikan pekerjaannya semalam karena pasokan bunga yang datang terlambat datang membuat Jenny bekerja di kejar waktu karena acara weddingnya adalah hari ini.
"Kau dari mana saja baru pulang jam segini?"
Jenny terlonjat kaget saat dia baru saja masuk ke dalam rumah dan mendengar suara Hildan yang begitu dingin dan dengan nada tinggi.
"Aku habis bekerja.. Arghh..."
Jenny menjerit saat Hildan menjambak rambutnya dengan kuat hingga kepalanya terbawa kebelakang. Menatap Hildan yang menatapnya dengan begitu tajam.
"Kau bekerja apa? Jual diri, iya? Sampai pulang pagi"
"Lepas, sakit Mas"
"Sakit ya?" Hildan menyeringai dan malah semakin memperkuat jambakan tangannya di rambut Jenny membuat Jenny menjerit kesakitan. Beberapa helai rambut terlepas dari kepalanya dan itu sangat menyakitkan.
"Kau sudah mengabaikan tanggung jawabmu untuk mengurus Zaina. Apa kau lupa apa tugasmu selama kau masih menjadi istriku?"
Air mata menetes di sudut matanya, dia begitu kesakitan. Bukan hanya kepalanya yang terasa sakit, tapi juga hatinya yang begitu terluka.
"Aku juga istrimu, aku bukan hanya pengasuh untuk Zaina saja. Tapi aku juga istrimu"
Brukkk..
Hildan menghempaskan tubuh Jenny dengan kuat hingga dia terjatuh di lantai dengan kepalanya yang membentur lantai dengan kuat. Sejenak Jenny merasa dunianya berputar, kepalanya terasa sakit dan pusing.
Hildan membungkukan tubuhnya, menatap Jenny dengan tatapan nyalang. "Semuanya juga karena kesalahan kau sendiri. Kau yang menerima perjodohan ini dan berpura-pura menyayangi Zaina di depan semua orang, membuat Mama langsung memaksa aku untuk menikahimu. Semuanya karena kamu, jadi terima saja penderitaan ini"
Hildan menendang kaki Jenny sebelum dia pergi dari hadapan Jenny. Sementara Jenny hanya terdiam dengan tangisan yang pecah. Tubuh dan hatinya begitu sakit dan terluka. Semuanya karena kesalahan dirinya, benarkah?
"Bunda..."
Jenny bangun dan mencoba menghapus air matanya ketika Zaina berlari ke arahnya. Zaina memeluk Jenny dengan tangisan yang kencang. Zaina tidak sengaja melihat kejadian tadi, bagaimana Ayahnya yang menyiksa Jenny.
"Kenapa Daddy jahat sekali sama Bunda, Zaina membenci Daddy"
"Zaina, Sayang kamu jangan berkata seperti itu. Daddy seperti itu sama Bunda karena memang Bunda yang salah. Jadi Daddy marah besar pada Bunda"
Zaina mendongak dan menatap Bundanya dengan mata yang basah. "Tapi kenapa harus sampai menyiksa Bunda? Apa Daddy tidak sayang sama Bunda"
Jenny tersenyum, dia menangkup wajah mungil Zania dan menegcup keningnya. "Daddy sayang sama Bunda, makanya Daddy marah karena Bunda pergi tanpa bilang padanya. Daddy marah karena dia takut Bunda kenapa-napa"
"Beneran Bunda?"
"Iya Nak, benar"
Jenny bangun dengan kakinya yang terasa sakit karena tendangan dari Hildan dan juga terjatuh membentur lantai. Jenny tersenyum tipis ketika melihat anaknya yang sedang menuntunnya menuju kamar. Seolah sedang membantu Jenny agar tidak jatuh.
"Ayo mandi dulu Nak, sekarang kamu sekolah"
"Kalau Bunda sedang sakit, tidak papa Zaina tidak sekolah juga"
Jenny menggeleng pelan, jika dia tidak mengantar Zaina sekolah. Mungkin apa yang di lakukan oleh Hildan akan lebih dari ini.
"Tidak papa Sayang, Bunda sehat kok. Sekarang ayo kita mandi bersama"
Mendengar itu Zaina langsung bersorak riang. Jenny membawa anaknya untuk mandi bersamanya. Berendam di dalam air hangat membuat tubuh Jenny sedikit lebih rileks lagi.
"Bunda, kalau misalkan Daddy terus jahat sama Bunda. Kita pergi saja ke rumah Oma ya"
Jenny terkekeh mendengar itu, merasa jika Zaina begitu menyayanginya. Membuat Jenny tidak akan tega meninggalkan anak ini. Jenny masih akan mencoba untuk bertahan sampai dia benar-benar capek.
"Daddy baik kok sama Bunda, jadi kamu jangan berfikir kalau Daddy jahat sama Bunda. Tadi itu karena memang Bunda yang salah"
Mau bagaimana pun, Jenny tidak mau kalau sampai Zania membenci Ayahnya sendiri. Jenny tidak mau Zaina menjadi anak yang durhaka. Bagaimana pun Hildan tetap Ayahnya Zaina yang merawat dan membesarkan dia sampai saat ini.
Selesai mandi, Jenny segera memabantu Zaina untuk bersiap sekolah. "Zaina keluar duluan ya, Bunda mau ganti baju dulu"
"Baik Bunda"
Jenny berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang sembab karena terus menangis. Juga wajah lelah yang belum tidur semalaman karena harus bekerja. Jenny menyingkirkan poni rambutnya, di keningnya ada bekas kebiruan karena benturan keras saat Hildan mendorongnya tadi dan membentur lantai.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
pergi saja Jenny....kasian akan dirimu
2023-05-20
0
lovely
pantas di benci punya ayah Macam s hildan beraninyaa.k cewek lemahhh Mac.jenni
2023-05-05
0
Yoo anna 💞
dasar laki-laki sinting 😏
2023-04-09
1