Lendri dan kedua orangtuanya sudah menemui Mayra dan juga dua korban lainnya. Mereka juga berbicara singkat dengan keluarga yang bertabrakan dengan Aldo dan Mayra. Mereka sama-sama merasakan kesedihan atas musibah kecelakaan ini. Sedangkan untuk menemui Aldo, mereka belum diizinkan untuk menemui secara langsung.
Dokter yang sebelumnya sudah berbicara dengan bulek Tiyas tadi terlihat akan menghampiri mereka lagi. Langkah kakinya semakin mendekat.
"Untuk keluarga pasien Aldo." ujar dokter itu.
Pak Sandi, bu Sani, dan Lendri langsung mengangkat tangan sembari mengatakan, "Ya, Dokter"
"Mari ikut ke ruangan saya." ujar dokter itu.
Ketiganya berjalan mengikuti langkah dokter tersebut. Pak Sandi dan bu Sani langsung duduk di kursi setelah dipersilahkan oleh dokternya. Sementara Lendri berdiri di belakang kedua orangtuanya.
"Begini, Pak, Bu ... pasien Aldo mengalami pendarahan di kepala yang tidak biasa. Pasien harus mendapatkan penanganan di rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap, sedangkan di klinik ini sangat jauh dari kata lengkap. Untuk itu, kami akan keluarkan surat rujukan ke rumah sakit Greyya Hospital yang ada di kota X." terang dokter tersebut.
"Untuk berangkat kesana, silakan dipersiapkan siapa dari pihak keluarga yang akan ikut mendampingi. Dari sini akan dibawa menggunakan ambulance." imbuh dokter.
"Baik, Dokter, saya yang akan mendampingi putra saya." jawab pak Sandi yakin.
"Baik, Pak, kalau begitu silakan siap-siap ya, keberangkatan sudah dipersiapkan karena melihat kondisi pasien yang harus segera mendapatkan penanganan.'' balas dokter tersebut.
"Baik, Dok, terima kasih." ucap pak Sandi.
"Permisi."
Pak Sandi dan keluarganya langsung cepat-cepat keluar dari ruangan dokter. Mereka kembali menemui bulek Tiyas yang masih berada disana.
"Benar Aldo harus di rujuk, Bulek. Ayah sama aku yang akan ikut kesana naik ambulance." ujar Lendri yang akhirnya memutuskan untuk ikut bersama ayahnya.
"Baiklah kalau begitu." jawab bulek Tiyas.
Pak Sandi dan Lendri sudah bersiap-siap, motor mereka sudah dititipkan ke klinik tersebut agar aman selama ditinggal ke kota X. Mereka sudah di mintai tanda tangan dan sebagainya yang diperlukan untuk rujukan itu.
Beberapa saat kemudian, persiapan mengenai rujukan itu sudah selesai. Ambulance pun sudah siap membawa pasien.
"Do'akan semuanya lancar ya, Bu, Bulek." ujar Lendri berpamitan.
"Iya, Len, do'a Ibu selalu ada untuk kalian." jawab bu Sani.
"Kamu sama ayahmu jangan sampai telat makan, kalian harus sehat." timpal bulek Tiyas.
"Baik, Bulek." jawab Lendri.
Ambulance pun akhirnya sudah meninggalkan klinik tersebut. Aldo belum juga sadarkan diri. Bu Sani menatap mobil ambulance itu dengan perasaan dan pikiran yang hancur.
"San, aku juga mau ke kota X, In syaa Allah nanti aku bisa jenguk Aldo. Do'akan saja semoga Allah memberikan kesembuhan untuk anakmu. Dikuatkan lagi hatimu ya, ada Mayra disini yang nggak pengin lihat kamu sedih terus menerus." ujar bulek Tiyas.
"Ujian ini memang berat, tapi, kamu pasti sanggup menghadapi karena kalian orang-orang pilihan." tutur bulek Tiyas panjang lebar.
Bu Sani menyeka air matanya yang masih saja lolos, padahal ia sudah berusaha menahannya agar tidak menetes.
"Terima kasih Mbakyu, tak do'akan sampean lancar perjalanannya. Terima kasih banyak sudah menolong anak-anakku tadi." ucap bu Sani yang masih terharu.
"Sama-sama, San ... ya sudah aku tak berangkat dulu." pamit bulek Tiyas.
''Assalamu'alaikum.'' ucap bulek Tiyas sebelum meninggalkan klinik tersebut.
''Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.'' jawab bu Sani.
Bulek Tiyas langsung melangkah dengan sedikit buru-buru setelah menerima jawaban salamnya.
''Mimpi apa aku tadi malam? kok ya jelek banget ... mimpi Aldo menikah, ada kembar mayang yang bagus-bagus, di mimpi itu, rumahku juga sangat ramai, keluarga dan tetangga pada kumpul.'' bathin bu Sani sembari melangkahkan kakinya menemui Mayra lagi.
Bu Sani kembali ke ruangan putrinya, Mayra. Ia mendekati ranjang, ia usap kening putrinya itu, lalu menciumnya. Lagi-lagi air mata wanita itu mengalir.
''Ya Allah anakku.'' lirih bu Sani.
''Oalah Nduk, cah ayu, anak gadis Ibu satu-satunya. Cepat sehat to, Nduk, cepat bangun.''
Mayra sempat membuka mata, tetapi ia terpejam lagi setelah menerima pengaruh obat bius di dalam tubuhnya.
Menunggu putrinya yang belum membuka mata, pikirannya terus berputar memikirkan putra sulungnya yang harus mendapatkan perawatan di rumah sakit besar. Bu Sani mencoba menghubungi adiknya yang akan di datangi oleh Aldo dan Mayra tadi pagi.
Suara dering itu tak lama kemudian muncul angka tanda sudah di jawab.
''Halo, assalamu'alaikum.'' ucap bu Sani.
''Wa'alaikumussalam, Mbak San.'' balas adiknya itu.
''Oh ya, Mbak, Aldo sama Mayra jadi kesini apa nggak?'' tanya adik bu Sani.
Bu Sani yang berusaha menahan tangisnya pun lagi-lagi tidak berhasil. Suara tangisnya sampai terdengar pada sambungan telepon itu.
''Lho, Mbak? ada apa kok sampean tiba-tiba nangis?'' tanya adiknya itu khawatir.
Bu Sani mencoba menarik nafas dalam-dalam agar lebih tenang dan bisa menjelaskan pada adiknya itu.
''Tadi pagi Aldo sama Mayra sudah jalan ke rumahmu, Rim. Tapi, pas di perjalanan mereka kecelakaan, tabrakan sama motor juga.''
Bu Sani menarik nafas lagi.
''Mayra di rawat di klinik yang paling dekat sama rumah. Sedangkan Aldo harus di rujuk ke kota karena darah di kepalanya bagian belakang terus ngalir, di sini tidak ada persediaan kantong darah, kondisinya kritis, Rim, Aldo belum sadar-sadar juga. Ayahnya sama Lendri yang ikut ke sana, aku di sini jaga Mayra.''
Setelah berusaha untuk menceritakan kejadian hari ini pada sang adik, bu Sani kembali menangis. Adiknya yang di sana pun juga shock mendengar kabar tidak mengenakkan ini.
''Innalillahi.. yang sabar ya Mbak, aku mau siap-siap ke sana kalau gitu. Nanti aku kabari yang lain dulu, siapa tau ada yang mau ikut, mumpung anak-anak juga masih libur.'' ujar adik bu Sani yang juga sudah mengeluarkan air mata sejak sang kakak menceritakan kondisi Aldo dan Mayra.
''Iya Rim, terima kasih ya.'' ucap bu Sani.
Sambungan telepon itu sudah berakhir setelah saling mengucapkan salam. Bu Sani lanjut menghubungi beberapa saudara lain yang rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahnya, hanya tetangga desa.
Begitu mendapatkan kabar dari bu Sani, mereka semua langsung shock. Yang sedang di kebun pun langsung pulang ke rumah masing-masing setelah mendapatkan kabar tidak mengenakkan ini. Mereka tentu saja bersedih dan mengatakan akan datang. Karena kabar itu mendadak, banyak hal yang harus dipersiapkan oleh mereka.
''Buu.'' panggil Mayra lirih.
Mayra membuka matanya secara perlahan, ditatapnya sang ibu tengah menelpon saudaranya sambil menyeka air mata. Setelah dilihatnya selesai, ia baru berani untuk memanggil ibunya.
Kondisi badan Mayra masih lemas, bahkan suaranya juga terdengar lemah.
Mendengar panggilan dari anaknya, bu Sani langsung kembali ke sisi ranjang. Sebelumnya ia sedikit menjauh karena tidak ingin mengganggu.
''Ya Allah, Alhamdulillah anak gadis Ibu sudah sadar.'' ucap bu Sani yang langsung mencium kening Mayra.
''Alhamdulillah kamu sudah sadar.'' ucap bu Sani lagi.
Mayra tersenyum tipis sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan itu. Ia teringat kejadian tadi pagi. Tiba-tiba air matanya jatuh membasahi kedua pipinya.
''Sekarang aku ada di mana, Bu? tadi aku cuma mimpi 'kan, Bu? kak Aldo nggak kenapa-kenapa 'kan, Bu?'' tanya Mayra sembari menangis.
Melihat putrinya menangis, bu Sani pun tak kuasa untuk menahan air matanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments