"Brengsek! Sialan! Pecundang! Murahan! Arrgghhh!!!"
Zifana berteriak seperti orang kesetanan di dekat sebuah danau. Ia meluapkan semua rasa sakit, kecewa dan lainnya yang bercampur di dalam dada hingga membuatnya seperti hampir kehilangan kendali.
"Brengsek! Brengsek! Bajingan! Ya Tuhan, kenapa hidupku sial sekali! Arrggh!"
Semua umpatan kasar itu keluar dari bibir Zifana padahal sebelumnya gadis tersebut tidak pernah berbicara sekasar itu. Namun, rasa sakit karena pengkhianatan sang kekasih dan sahabatnya membuat Zifana tidak mampu lagi menahan emosi. Dadanya terasa bergemuruh hebat ketika mengingat mereka sedang telanjang bersama.
Ia tidak peduli meskipun ada orang yang mendengar teriakan tadi. Atau bahkan ada yang membicarakan dirinya yang lebih seperti orang gila karena berteriak tidak jelas. Yang terpenting bagi Zifana saat ini adalah dirinya bisa meluapkan segala amarah yang membuncah di dalam dada. Ia hanya ingin batinnya merasa lega.
Setelah puas berteriak. Tubuh gadis itu luruh dan terduduk di atas rumput. Napasnya tersengal karena berteriak dengan sekuat tenaga. Apalagi dalam keadaan perut lapar, membuat Zifana merasa lemas setelahnya.
"Kau sudah puas berteriak? Suara cemprengmu benar-benar mengganggu! Bahkan seperti akan memecahkan gendang telingaku!" cibir salah seorang lelaki yang ternyata sedang duduk tidak jauh dari Zifana.
Sepertinya lelaki itu tadi sedang tertidur ketika Zifana berteriak karena posisinya saat ini duduk di atas rumput dan ada sebuah tas yang tergeletak di belakangnya.
Zifana hampir saja mengagumi pria itu karena wajahnya yang tampan dan putih bersih, juga lesung pipi yang makin menambah kadar ketampanannya. Namun, Zifana berusaha mengusir pikiran itu.
Jangan sampai ia menjadi wanita genit.
"Aku tidak tahu ada orang di sini," kata Zifana santai.
"Makanya, kalau mau berteriak di tempat umum, lihatlah sekitarmu. Beruntung aku yang sedang tertidur. Coba kalau orang punya riwayat penyakit jantung dan ia meninggal di tempat. Aku yakin kau akan merasakan nikmatnya tidur di balik jeruji besi," ucap lelaki itu panjang lebar.
"Kau cowok, tapi kenapa mulutmu sangat cerewet," cebik Zifana. "Aku cuma mau meluapkan emosiku, tapi kau justru membuat emosiku kembali naik! Menyebalkan!"
Gadis itu lebih memilih untuk pergi dari sana daripada harus berdebat dengan lelaki yang bahkan tidak dikenalnya. Ia tidak mau jika moodnya akan semakin buruk karena lelaki tersebut.
***
"Ma, Zifana pulang."
Gadis itu masuk ke sebuah rumah mewah dengan pintu berwarna coklat yang menjulang tinggi. Wajahnya terlihat sangat lesu tidak seperti biasanya. Hal itu pun membuat sang mama menjadi terheran-heran.
"Loh, Zi. Kenapa wajahmu jelek sekali? Apa ada masalah? Kau juga pulang tidak bilang-bilang," ujar Dyah—mama Zifana.
"Zi capek, Ma." Gadis itu menghempaskan tubuh di sofa dan memeluk bantal yang tergeletak di sana. Lalu memejamkan mata persis seperti orang yang hendak tidur.
"Capek kenapa?" Sang mama terus saja menatap putrinya heran.
"Tidak papa, Ma. Zi mau ke kamar dulu aja. Zi sayang mama." Zifana mencium pipi sang mama lalu bergegas pergi ke kamarnya yang terletak di lantai dua. Ia tidak mau jika mamanya yang cerewet itu akan bertanya banyak hal padanya terutama tentang hubungannya dengan Jayden.
Melihat punggung putrinya yang menjauh dari pandangan, membuat wanita paruh baya itu hanya bisa menggeleng. Zifana, selalu saja seperti anak kecil. Terkadang terlihat sedih, tapi beberapa detik selanjutnya bisa saja berubah ceria.
"Zi-Zi, dasar tuh anak. Ada-ada saja tingkahnya."
Namun, ketika Zifana sama sekali tidak terlihat, wanita paruh baya tersebut menghela napas panjang. Merasa cemas pada keadaan putrinya karena ia yakin, bukan tanpa alasan Zifana terlihat sedih seperti itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Sri Peni
makin menarik
2025-04-08
0
nurcahaya
memang firasat ibu gk pernah salah
2023-05-04
0