Bab 02

Yana tengah menemani suaminya makan, suaminya tampak lahap makan seperti kelaparan. karena yang di masak oleh Yana adalah makanan kesukaan suaminya.

“Anak-anak sudah makan?” tanya suaminya di sela makan.

“Sudah,” sahutnya.

“Mm ... Mas. Bagaimana kalau aku kembali jualan lagi? uangnya lumayan untuk biaya sekolah Diki dan Deva. Selain itu, aku bisa membantumu juga.” Yana sangat berhati-hati berbicara, karena takut menyinggung perasaan suaminya.

Sebelumnya Yana berjualan di kantin sekolah, sembari menunggu putranya pulang sekolah, ia juga bisa berjualan makanan.

“Apa kamu bilang? Coba katakan sekali lagi!” ujarnya menatap istrinya dengan tajam.

“Kenapa diam? Kamu ingin membuatku malu?! Apa kurang gajih yang setiap bulan aku berikan padamu?!” sentak Dian.

Baru saja beberapa jam dirinya minta maaf pada istrinya, kini kembali lagi marah-marah.

“Mas, tidak perlu membentak! Anak-anak belum tidur,” ujar Yana mengingatkan suaminya.

“Aku tidak peduli! Itu salah dirimu, aku lelah pulang bekerja! Tapi kamu memancingku, sudah jelas aku melarangmu! Jika uang bualan tidak cukup, itu kamu yang tidak becus mengelolanya!” sentak suaminya.

“Aku tidak berselera lagi untuk makan!” kesalnya mendorong kasar piring yang masih berisi makanan tersebut, hingga nasi tersebut berhamburan ke meja makan.

Yana hanya bisa menghela napas kasar.

Yana mengusap air matanya yang mengalir tanpa permisi.

Suaminya Dian keluar dari kamar lalu menutup pintu kamar dengan kasar, tampak ia memakai jaketnya dengan terburu-buru.

“Mas, mau kemana? Ini sudah malam, Mas.” Elena beranjak dari tempat duduknya.

“Bukan urusanmu! Minggir!” mendorong tubuh istrinya dengan kuat hingga tersungkur ke lantai, karena menghalangi jalannya.

“Aw ...” pekik Yana kesakitan.

Dian hanya meliriknya sekilas, lalu melanjutkan langkahnya tanpa berniat membantu istrinya.

Terdengar suara mesin mobil suaminya, yang perlahan menjauh.

Yana perlahan duduk, lalu melihat sikunya terlihat mengeluarkan darah akibat terkena sudut kaki meja.

“Mama,” panggil Diki putranya.

Ia tampak histeris melihat Yana yang terluka.

“Sayang, Mama baik-baik saja. Tolong ambil kotak obat, Sayang.” Yana berusaha menahan sakit, di sikunya.

Diki mengangguk, masih terisak dirinya beranjak dan setengah berlari mengambil kotak obat.

Di usia 9 tahun, Diki sudah pintar membantu ibunya.

Diki perlahan mengusap luka ibunya dengan kapas, lalu mengoleskan obat merah.

“Shh ... sayang, pelan-pelan Nak.”

Diki mengangguk, ia sama sekali tidak takut atau merasa jijik dengan luka ibunya.

“Ma, Papa kemana?” tanyanya melihat papanya pergi.

“Mungkin Papa ada urusan di luar, sekarang Diki bawa Adek tidur ya. Besok sekolah,” ujar Yana lembut.

Diki mengangguk.

Yana mengambil ponsel miliknya, berusaha menghubungi nomor suaminya. Namun, ponsel Dian malah tidak aktif.

“Kenapa kamu semarah itu, Mas. Aku hanya ingin membantumu, jika kamu tidak memperbolehkan akupun tidak mau,” gumamnya dalam hati, sembari mengusap foto mereka berdua di layar ponsel miliknya.

“Apa ada yang salah pada diriku, Mas? Sepertinya aku selalu salah di matamu!” berulang kali Yana mengusap air matanya yang hampir saja jatuh.

Keesokan paginya, Yana terbangun. Ternyata dirinya masih di sofa tertidur, sambil menunggu suaminya pulang.

Yana duduk dan mengintip dari jendela, ternyata tidak mendapati mobil suaminya di teras. Itu artinya, Dian suaminya tidak pulang.

“Apa mas Dian pulang ke rumah orang tuanya?” tanyanya dalam hati.

Ia mencoba menghubungi kembali nomor suaminya, namun sama seperti semalam tidak aktif.

Yana sudah pasrah, saat ini ia fokus dengan kedua putranya yang akan berangkat ke sekolah.

Setelah selesai bersiap dan menyiapkan bekal untuk kedua putranya. Yana langsung mengeluarkan motornya, setelah memastikan kedua putranya duduk dengan benar, ia melaju menuju sekolahnya.

Namun, di tengah jalan, mereka kehujanan.

“Astaga, Mama lupa bawa jas hujan, Sayang.”

Mereka berteduh di halte bus, sembari menunggu hujan reda.

“Ma, Deva telat masuk deh.”

“Mama pesan taksi ya, nak.”

Mereka berdua mengangguk.

Namun, ada sebuah mobil yang tidak mereka kenali berhenti tepat di depan mereka.

“Diki,” panggil seorang anak pria yang berpakaian seragam sekolah sama seperti putranya.

“Tante, biarkan Diki sama Deva ikut bersama aku dan Ayahku.”

“Tante ingin memesan taksi saja, nak. Tante tidak ingin merepotkan kalian,” tolak Yana secara halus.

“Aduh, Tante. Nanti telat, aku sudah bicara sama Ayah, Tante.”

Tampak Yana berpikir sejenak.

“Biarkan mereka ikut bersama kami, Nona. Putraku mengatakan, jika Diki adalah sahabatnya.”

Yana menatap putranya, Diki mengangguk. Karena sebelumnya, Diki sangat jarang berbicara padanya tentang dengan siapa ia berteman di sekolahnya.

“Terima kasih banyak, Tuan. Maafkan saya, jika merepotkan kalian.”

“Tidak sama sekali,” sahut ayah dari anak bocah tersebut.

Setelah melihat kepergian kedua putranya, Yana menunggu hingga hujan reda. Sembari memikirkan, kemana suaminya semalam.

Ia berniat ke rumah mertuanya, tapi ia takut jika dirinya di salahkan lagi. Ia juga ingin ke kantor dimana suaminya bekerja, takut jika suaminya malu dengan kedatangannya. Karena sebelumnya, suaminya tidak memperbolehkan dirinya untuk datang ke kantor tempat dirinya bekerja.

Akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke rumah saja dan membiarkan suaminya yang entah kemana perginya.

***

Hari Minggu, Yana mengajak kedua putranya untuk mengunjungi rumah mertuanya dan berharap suaminya juga ada disana.

Karena sudah tiga hari, sang suami tidak pulang ke rumah.

“Oma,” panggil Deva pada ibu mertuanya.

Wanita paruh baya itu menoleh, karena sedang menyiram bunga di teras.

“Eh, ada cucu Oma. Hanya kalian, dimana Papa kalian?” tanya mertuanya melihat mereka hanya datang bertiga.

Deg!

Hati Yana mulai gusar, itu tandanya suaminya tidak pulang ke rumah orang tuanya.

“Papa tidak pulang, Oma. Entah kemana,” sahut Deva polos.

Diki dan Deva langsung masuk ke dalam rumah, bermain dengan Opanya di dalam.

“Yana, apa suamimu tidak pulang?” tanya ibu mertuanya, menatapnya dengan tajam.

Terpaksa Yana mengangguk, karena Deva sudah terlanjur mengatakannya.

“Apa kalian bertengkar? Kamu ini bagaimana sih?! Jadi istri kok tidak becus! Seharusnya, kamu sebagai Istri itu harus patuh pada suami!” sindir ibunya terlihat kesal.

Yana hanya bisa menghela napas berat, dirinya sudah terbiasa dengan mulut pedas ibu mertuanya. Karena setiap ada pertengkaran antara dirinya dan suaminya, pasti ibu mertuanya selalu ikut campur dan menyalahkan dirinya.

“Jangan salahkan Suami kamu, jika ia mempunyai wanita lain di luar sana! Lihat, dandananmu itu! Seperti Ibu-Ibu yang sudah berusia 70 tahun!” celetuk ibu mertuanya.

“Maaf, Bu.” Yana hanya bisa berkata seperti itu, karena setiap ingin menjawab perkataan Ibu mertuanya. Dirinya selalu di anggap melawan perkataannya dan di katakan menantu kurang ajar.

“Cari suamimu itu! Awas saja jika terjadi pada putraku, kamu yang akan menanggung akibatnya!” kesalnya.

Yana bingung, harus mencari kemana lagi keberadaan suaminya. Karena dirinya sama sekali tidak mempunyai kontak teman suaminya.

Yana berpikir akan ke kantor suaminya besok, berharap bertemu dengan Dian suaminya.

***

Terpopuler

Comments

Anonymous

Anonymous

Gajiiiii.. bukan gajih

2023-10-29

0

TDT Angreni

TDT Angreni

selalu saja wanita yang di salahkan. walaupun kesalahan tidak ada pada kita. Mertua seperti ini, enaknya di apakan. mau sabar kita yang sakit hati. mau di lawan katanya menantu kurang hajar... emang mau menang sendiri... anak susah tua hilang kok kita yang di salahkan... 🤔🤔😠😠

2023-06-05

1

.

.

suami tak tahu diri

2023-04-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!