Mobil sedan berwarna silver melaju dengan kecepatan tinggi. Tangan yang terus sibuk menyetir diimbangi fokus ke depan. Sepanjang jalan utama yang merupakan jalan satu-satunya menuju Villa teramat begitu sepi. Wajar saja karena wilayah itu merupakan satu kawasan milik satu orang saja.
"Bara, coba telpon anak kita. Tanya mereka sampai mana dan minta Pak Joko untuk berhenti." ucap Aldo meminta adiknya tanpa menoleh ke samping. Kebiasaannya memang fokus yang selalu diutamakan, "Jalanan ini terlalu senyap. Perasaanku tidak nyaman."
"Ka, please jangan parnoan. Kita di tengah jalanan yang kanan kiri hutan. Bukankah kita biasa menjelajahi alam terbuka? Kenapa seperti baru pertama kali saja." Aldo tak ingin kakaknya khawatir. Apalagi ketakutan akan sesuatu yang tidak seharusnya.
Wajar merasa was-was ketika berada di wilayah yang sembilan puluh lima persen adalah alam bebas. Namun bukan berarti membiarkan pikiran negatif merajalela. Bukankah segala sesuatu yang terhubung dengan hati secara emosi akan menghantarkan firasat?
Suara helaan napas pelan terdengar berulang-ulang, "Aku hanya mencemaskan anak-anak. Kita berdua juga tahu, setiap kali istriku memiliki perasaan aneh. Sesuatu pasti terjadi. Kita harus bisa mengantisipasi agar keluarga tetap terlindungi."
Mendadak Barack ikut gelisah mengingat ucapan sang kakak benar. Sekilas ingatan melintas yaitu kenangan yang selalu menjadi alarm pribadi. Suatu ketika anak-anak meminta izin untuk pergi ke kolam renang tanpa pengawasan orang tua, tapi di tentang oleh nyonya Geraldo dengan alasan bukan hari baik untuk keluar rumah.
Sayangnya, para ayah memberikan izin demi kebahagiaan anak mereka. Satu kejadian tak terduga memporakporandakan ketenangan hati orang tua, ketika sebuah panggilan dari nomor Ans dengan suara asing mengabarkan Al mengalami cedera karena jatuh ke kolam renang.
Luka di kepala cukup serius hingga menjalani operasi selama delapan jam. Hari itu menjadi hari terburuk yang terjadi di keluarga Wellington. Sampai saat ini saja, Ans harus rutin melakukan medical check up dengan dokter spesialis yang kebetulan papanya sendiri.
Tak ingin terjadi sesuatu yang di luar harapan. Bara mencoba menghubungi nomor Ale. Nada dering tersambung dan tak berselang lama diangkat tetapi suara istrinya yang terdengar dari seberang. Dimana mengatakan ponsel anak-anak tertinggal di gazebo.
Pernyataan itu seketika menciutkan harapan di hati. Apalagi permintaan sang kakak ipar agar ia dan Aldo segera menemukan anak-anak. "Ka Aldo punya nomor pemilik villa? Aku butuh nomor Pak Joko."
"Cari di ponselku sudah ada nomornya Pak Joko." jawab Aldo membuat Bara mengambil benda pipih yang teronggok di sebelah tempatnya duduk.
Jemari sibuk menscroll nama-nama di kontak hingga menemukan nomor yang dibutuhkannya. Tanpa mengalihkan nomor, ia langsung menekan icon panggilan manual. Ponsel di letakkan ke dekat telinga tetapi yang terdengar suara musik. Entah lagu apa karena asing untuk didengar.
Sekali tak ada jawaban. Ia coba lagi hingga beberapa kali tetapi hasilnya nihil. Disaat tengah fokus menatap ke arah ponsel tiba-tiba tubuhnya terhuyung ke depan bersamaan mobil yang berhenti secara mendadak. Sontak Ia menoleh menatap sang kakak.
"Kita turun! Lihat itu mobil Pak Joko." Aldo menunjuk ke depan, lalu melepaskan sabuk pengaman, kemudian membuka pintu mobil. Langkah kaki keluar meninggalkan kursi kemudi, begitu juga dengan Bara yang langsung menyusul.
Mobil Pak Joko terparkir di tepi jalan hutan sisi kiri. Bara dan Aldo memeriksa melalui jendela yang ternyata tidak ada orang di dalamnya. Perasaan tak nyaman kian menyelimuti hati. Di wilayah hutan dengan pepohonan rimbun. Kemana penjaga villa itu membawa anak-anaknya pergi?
"Ka Aldo, bagaimana jika kita masuk ke dalam hutan?" tanya Bara meminta persetujuan sang kakak.
Aldo mencoba memeriksa kembali dengan mengintip ke dalam mobil. Dimana di dalam tampak begitu rapi tanpa ada tanda-tanda yang aneh. Lalu mengamati area sekitar tempat parkir hingga melewati rerumputan di sisi kiri mobil. Sekilas tampak sama tetapi ketika diperhatikan lebih seksama. Beberapa rumput sudah patah, layu seperti diinjak berulang kali.
"Mereka masuk ke hutan. Apa yang membuat Pak Joko begitu lancang membawa anak-anak ke dalam sana? Bara, sebaiknya kita bawa alat untuk antisipasi." Ujar Aldo langsung disetujui Bara yang berlari kembali ke dalam mobil sedan.
Sang adik mengambil linggis dan juga tongkat bisbol dari dalam bagasi. Kemudian mereka berdua mulai berjalan menyusuri rerumputan hijau berselimut embun pagi. Suara kicauan burung di atas pepohonan menjadi teman seperjalanan. Langkah yang semakin masuk ke dalam hutan tak mengurangi keteguhan hati seorang ayah.
Suara langkah kaki yang terdengar jelas menyibak keheningan menambah degupan jantung yang berdetak kian cepat. Was-was dengan apa yang terjadi pada anak-anak membuat pikiran kedua pria itu campur aduk. Sayup-sayup terdengar suara celotehan familiar dari arah depan sana membuat kedua pria itu saling pandang.
Tanpa menunda waktu Aldo dan Bara mempercepat langkah kaki mereka hingga setelah melewati semak setinggi lutut. Keduanya menemukan keberadaan anak-anak yang sibuk bermain sesuatu. Rasa lega di hati tak sanggup dibendung lagi. "Ans, Al, Ar, Ale!" panggil kedua ayah itu serempak hingga mengalihkan perhatian anak-anak yang membalas dengan lambaian tangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Ela Jutek
huhh bocah bikin panik aja dah
2023-04-05
1