Luka Sierra
"Ini upahmu."
Wanita itu, menerimanya dengan semangat. Senyumannya merekah melihat amplop yang begitu tebal.
Pria yang berada di hadapannya hanya tersenyum kecil. Lalu memukul wanita itu dengan amplop yang ia pegang. "Jika kau sesenang itu melihat uang. Seharusnya kau lebih bersemangat bekerja!"
Wanita itu mengusap keningnya, kesal dengan perlakuan pria yang berada di hadapannya. "Baiklah. Aku akan lebih rajin."
Pria itu menyerahkan amplopnya, lalu pergi meninggalkan wanita yang tengah bahagia itu.
"Mengapa mendapatkanmu itu susah sekali? Bahkan, aku harus berkeringat di malam hari demi mendapatkan dirimu!" celotehnya tak jelas. Dia memasukkan uangnya pada tas ransel, kemudian berjalan di tengah malam, sendirian.
Wanita itu menatap langit malam yang begitu indah. Matanya terpesona melihat bintang-bintang yang berkelip di tengah kegelapan. "Sampai kapan aku harus hidup seperti ini? Aku pikir, kehidupan setelah SMA adalah yang terbaik, namun kenyataan yang kuhadapi malah sebaliknya."
Wanita itu menundukkan kepalanya. Berusaha tersenyum disaat matanya mulai berkaca-kaca. "Rasanya lelah untuk mengeluhkan semuanya. Beban yang tak terlihat ini, terasa berat untuk kuhadapi."
Beginilah dia. Ketika dirinya sendiri, ia akan mengungkapkan semuanya. Bercerita sendiri, seolah melepaskan semua yang dipendamnya. Wajar bukan jika merasa lelah? Tak ada salahnya, jika harus menenangkan pikiran.
Tiba-tiba, deringan ponsel membuatnya tersadar. Dengan cepat, ia mengangkatnya, belum sempat mengatakan apapun, ia sudah mendapatkan teriakkan.
[ "Mengapa, kau lama sekali?! Aku sudah lama menunggumu!" ]
Dengan gugup, wanita itu menjawab. "T-tunggu! Aku akan segera ke sana."
Wanita itu, segera mematikkan sambungannya. Dia langsung berlari sekencang mungkin, ada rasa takut dibenaknya. Dia tak ingin, membuat siapapun kecewa, ia tak sanggup jika harus menerima sebuah kebencian dari siapapun.
***
"Ini untukmu."
Pria itu tersenyum tipis. Dia mengelus rambut pacarnya dengan lembut. "Kamu yang terbaik. Aku sangat menyangimu. Maaf, karena membentakmu di telepon."
Sierra tersenyum manis. "Tidak apa-apa. Aku mengerti, aku harap kamu menggunakan uang itu dengan baik."
Lelaki itu mengangguk dan tersenyum. Dia ingin memeluk wanitanya itu, namun Sierra menolaknya dengan sopan. "Maaf."
"Seharusnya, aku yang meminta maaf. Aku lupa, jika kamu tak mau disentuh, sebelum menikah."
Sierra, tersenyum kecil. Pacarnya, memang perhatian. Dia, selalu menurut saat dirinya meminta apapun.
"Tetapi, aku berharap. Suatu saat nanti, kita akan menikah, aku ingin membangun rumah tangga bersamamu," ucapnya tiba-tiba, membuat Sierra keheranan. Mengapa, Maldi mengatakan seperti itu? Tak biasanya, lelaki itu membicarakan pernikahan.
Maldi sedikit kesal, melihat ekspresi Sierra yang tak merespon. "Mengapa, eskpresimu seperti itu? Apa, kau tak ingin menikah denganku?"
Sierra menggelengkan kepalanya. Dia gemas, melihat wajah pacarnya yang terlihat lucu. "Ayolah, mana mungkin, aku menolak menikah denganmu?"
Maldi tersenyum tipis. "Maaf, Aku tak bisa menemanimu. Aku, masih ada urusan." Maldi berdiri dari duduknya, ia memasang wajah menyesal.
Sierra ikut berdiri. Ia tersenyum manis. "Tidak apa-apa. Jika itu memang penting, aku tak bisa mencegahmu."
"Aku, pergi." Maldi berbalik badan. Pria itu pergi di tengah keramaian. Sierra hanya memandangnya, ingin berteriak menyuruhnya kembali, tapi tak bisa.
***
"Nona Sierra, kenapa baru pulang?"
Sierra tersenyum kikuk. "Bibi, tidak akan memberitahu Bunda kan?"
Sang pembantu itu mengangguk patuh. "Nyonya Besar dan Nona Serla sedang tidak ada di rumah. Jadi mereka tidak akan tahu, jika Nona pulang tengah malam."
"Ini, sudah larut malam. Tetapi mengapa, mereka belum pulang?" tanya Sierra keheranan. Wanita berusaha mengingat tentang sesuatu. Hari ini, tak ada yang spesial, tak ada acara apapun.
"Maaf, Nona. Saya kurang tahu."
"Tidak apa-apa. Kalau begitu Sierra pergi ke kamar dulu."
***
Pagi yang cerah membuat Sierra terbangun dari tidurnya. Wanita itu mengkerutkan keningnya mendengar sesuatu. Dengan cepat, Sierra bangun dan bergegas keluar kamar.
"Apa, yang salah dari diriku?! Mengapa, dia tak pernah sekalipun melirikku?!"
Sierra terkejut, melihat barang-barang yang berserakan. Bahkan pecahan kaca pun tergeletak di lantai.
"Sayang. Jangan begini ya? Masih banyak lelaki lain yang lebih baik dari dia. Bunda mohon, jangan menyakiti diri sendiri!"
Sierra menguap, melihat drama pagi ini. Adiknya ini memang ratu drama, dia suka sekali membuat orang lain lelah dengan tingkahnya.
Serla tak mendengar, dia terus menangis sambil melemparkan barang. "Aku, tak suka jika keinginanku tak terwujud! Pokoknya, Serla ingin dia!"
Savia atau Sang Bunda kebingungan, dia tak tahu harus membujuk Serla bagaimana lagi. Matanya, menoleh pada pintu, tempat dimana seseorang yang berdiri dan hanya menonton.
"Sierra, mengapa diam saja? Cepat, tolong Bunda!"
"Mengapa, kita harus repot? Dia sudah 18 tahun! Dia, seharusnya tahu, harus bersikap bagaimana!"
"Kau, jangan ikut campur!" sentak Serla yang tak suka dengan ucapan Kakaknya.
"Aku, juga tak mau ikut campur! Apalagi mencampuri seseorang yang lebay sepertimu, sangat memuakkan!"
"Sierra!"
Sierra menoleh pada Bundanya, wanita itu terdiam melihat wajah Bundanya.
"Bunda mohon, jangan memperumit."
Serla tersenyum tipis. Dia senang melihat wajah Sierra yang menahan amarah.
Sierra berjalan ke arah lemari kaca, hal itu membuat Bundanya maupun Serla terkejut.
Sierra membuka lemari kaca, mengambil sesuatu yang paling berharga bagi Serla. Tanpa banyak kata, Sierra melemparkan benda itu dengan tenaga.
"APA YANG KAU LAKUKAN?!"
Serla menghampiri benda kesayangannya, perempuan itu menangis sesenggukan. Dia memeluknya erat, seolah tak mau kehilangan.
"Apa maumu, Sierra?" tanya Sang Bunda yang berusaha sabar. Sebenarnya, dirinya juga terkejut melihat tindakan Sierra yang gegabah.
"Seharusnya, kau tak tinggal di sini! Aku menyesal, karena pernah memintamu tinggal bersama kami," terang Serla yang masih menangis. Benda ini sangat berharga karena ini adalah bukti dari semua kerja kerasnya.
Sierra, tak merasa bersalah. Dia malah melipatkan tangannya. "Menurutku, benda itu tak cocok denganmu! Kasar dan egois! Sikap mana yang mencerminkan menjadi panutan? Para penggemarmu, tak tahu betapa buruknya sikap idola mereka yang selama ini dibangga-banggakan!"
"Lantas, apa kau lebih baik dariku? Kau, tak lebih dari seorang pembunuh!"
PLAK!
Suara tamparan itu menggema di ruangan mewah ini. Semua orang terdiam, tak ada satupun yang berteriak. Namun suara tamparan itu terdengar kembali.
PLAK!
Sierra, menoleh ke samping. Tangannya memegang pipinya yang terasa panas. Ini masih kurang! Rasa sakit ini, tak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.
Sierra mengatupkan bibirnya, mata hitamnya menoleh ke depan, dimana ibunya memeluk adiknya dengan erat. Tak, bisakah ibunya lebih memperhatikannya?
"Sierra. Maafkan Bunda! Bunda tak sengaja!"
Betulkah? Apakah, itu tulus? Mengapa, Bundanya meminta maaf sambil memeluk adiknya? Seolah, ia tak begitu berharga dibanding Serla.
"Aku juga sakit, Bun. Kenapa, Bunda selalu lebih perhatian pada Serla? Di sini, masih ada aku, yang selalu ingin diperhatikan."
Savia, mengelus punggung Serla yang tengah menangis. "Seharusnya, kamu jangan membentak adikmu, apalagi sampai menamparnya. Dia masih kecil, mentalnya terlalu lemah."
Sierra tersenyum kecut, lantas bagaimana dengan dirinya? Apa, mentalnya baik-baik saja? Mengapa, semua orang menganggapnya tak mempunyai masalah apapun.
Memang, semua ini berawal karena kesalahannya. Namun, pembalasan ini terlalu berat baginya, dirinya tak bisa menanggung semuanya sendirian, disaat semua orang mengacuhkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Suri Ptr Doank
hadir kak..... oya itu vano sama keina apa kabar, knp g d terusin up nya kak
2023-04-02
0
Diana Susanti
grazy up kak
2023-04-01
0