Perbincangan tadi malam bersama orang tuanya berakhir kacau karena Zaina yang malah mengamuk karena kekasihnya yang benar-benar di cap buruk sama Mommynya. Sampai sang Daddy yang selama ini diam saja, membiarkan Zaina memilih apa pun keinginan hidupnya walau terkadang menentang pilihan Zaina yang terkesan ekstrem kini malah ikut menyudutkan Zaina.
Perempuan itu mengamuk, sampai meninggalkan meja makan begitu saja. Membuat orang tuanya hanya bisa saling memandang dan menatap penuh kecewa sama Zaina yang kini tumbuh dengan sikap yang jauh dari ajaran mereka.
"Pokoknya Momy sama Daddy nggak pernah paham sama apa yang aku rasain! daddy sama mommy cuma bisa nyuruh aku ini itu doang tanpa bisa ngomong sesuatu tentang aku. Memangnya aku nggak lelah apa mengikuti kemauan mereka," pekik Zaina sambil memukul bantal tak bersalah di depannya. Dia benar-benar mengamuk, menahan kesal di hatinya.
"Mereka cuma bisa bilang kalau Ghaly membawa pengaruh buruk untuk aku, padahal mereka nggak tahu kalau Ghaly salah satu alasan aku untuk bahagia dan masih hidup hingag detik ini. Karena kalau nggak ketemu sama Ghaly, mungkin mommy sama daddy itu nggak bisa bertemu sama aku lagi. Mereka nggak akan pernah bisa bertemu sama anak yang mereka percayai untuk bisa melakukan ini itu."
HUFT!
Zaina menutup mulutnya, ia mengerjap. Tiba-tiba saja merasa mual, ia langsung buru-buru melangkah ke kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya. Tubuhnya seketika lemas, ia menahan tubuhnya di wastafel dan membasuh mulutnya itu sesaat udah selesai.
"Aish ... ini pasti karena aku tadi malam nggak jadi makan malam, jadi nggak ada makanan yang masuk sama sekali ke perut aku sampai aku masuk angin kayak gini. Aih, udah tahu aku tipe orang yang gampang masuk angin. Tapi bisa lupa makan kayak gini."
Zaina kembali ke kasurnya dengan langkah gemetar, ia kemudian membawa ponselnya dan mulai menghubungi Ghaly yang hingga detik ini nggak ada kabar sama sekali. Ia menarik napas dalam saat panggilan itu nggak terjawab dari semalam.
"Kemana sebenarnya kamu Ghaly? aku harap saat ini kamu lagi mikirin ulang jawaban ini, karena nggak seharusnya kamu pergi dari aku. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu."
"Karena cuma kamu tempat aku untuk kembali."
“Aku benar-benar cinta sama kamu. Kalau kamu pergi dari hidup aku. Aku nggak tahu harus lanjutin hidup aku kayak gimana.”
***
"Sudah pergi?"
Zaina menutup mulutnya dan menatap sangat terkejut. "Nggak bohong kan? maksudnya Ghaly nggak suruh kamu buat bilang ke aku kalau dia pergi dan nggak tahu kemana gitu?" tuduh Zaina membuat perempuan muda itu menatapnya bingung dan hanya bisa menggeleng saja.
"Mbak ... aku baru banget tinggal di sini menggantikan kostan Ghaly. Bahkan aku nggak kenal sama Ghaly, aku cuma tahu dari pemiliknya aja. Dia bilang kalau ada yang cari ya bilang aja jujur kalau Ghaly tiba-tiba aja udah nggak di sini. Bahkan Ghaly main pergi gitu aja sebelum membayar bulan ini. Aku cuma disuruh kasih tahu."
Zaina meraup wajahnya frustasi. Dia nggak tahu harus cari ke mana lagi kalau udah kayak gini, nggak ada tempat yang biasa Ghaly tinggali selain kostannya ini atau apartemen miliknya. Tapi Ghaly nggak ada di apartemennya dan sekarang juga nggak ada di tempat kostannya. Lalu di mana laki-laki itu?
Bahkan malam tadi dia mendapat kabar kalau Ghaly sudah mengurus surat keluar kerja dari perusahaan daddynya.
Belum sempat di larang tapi surat itu udah berhasil di tanda tangani sama HRD. Membuat Zaina sempat mengamuk semalam.
"Mbak tahu nggak di mana keberadaan Ghaly? Dia ada ngomong sesuatu nggak mau pergi kemana?"
Perempuan di depan Zaina udah tampak kesal dan menggeleng, "saya nggak tahu sama sekali, mbak telepon aja orang itu. Aku mau ngurus urusan aku dulu jadi terhalang kayak gini kan!" marah dia dengan kesal lalu masuk ke tempat kostannya dan banting pintu membuat Zaina refleks mengelus dadanya dan berbalik meninggalkan tempat itu.
"Sebenarnya di mana kamu Ghaly? Jangan hilang kabar kayak gini, aku makin khawatir banget tahu nggak sih. Kayak urusan kita belum benar-benar selesai," ucapnya lalu menarik napas dalam.
“Dan ... jangan begini. Kamu buat aku, perlahan hancur tau nggak sih.”
***
Zaina mengendarai mobilnya menuju tempat-tempat yang dulu ia datangi sama Ghaly. Berharap ia bertemu sama Ghaly, tapi dua tempat yang udah dia datangi tapi dirinya nggak menemui Ghaly sama sekali. Membuat perasaan perempuan itu mulai nggak enak. Zaina menarik napas dalam menjalani mobilnya dengan perlahan, berharap menemui sang kekasih di jalan.
"Ayolah Ghaly ... jangan kayak gini, aku nggak bisa banget. Kita udah berjanji untuk habisin waktu bersama. Jangan kayak gini, aku nggak mau. Aku nggak peduli bakalan menentang kedua orang tua aku. Biar aku bisa hidup sama kamu. Karena cuma sama kamu aku benar-benar bisa merasakan bahagia."
Zaina merasa kalau hubungan dia sama Ghaly, tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Karena Ghaly yang egois dan mau menang sendiri lalu berakhir Zaina yang mengalah, meminta maaf atas kesalahan yang nggak dia buat sendiri. Ghaly juga sering minta ini itu, jumlah yang cukup banyak.
Tapi banyaknya uang yang di miliki Zaina membuat perempuan itu sama sekali nggak pernah mikirin harga sama sekali. Dia malah merasa bahagia kalau Ghaly bahagia akan barang yang di dapatkan. Tanpa perempuan itu sadar kalau sedang di manfaatkan sama Ghaly.
Dan juga,
Meskipun terkadang Zaina merasa kalau hubungannya udah terlampau toxic. tapi ia juga sadar kalau hanya Ghaly lah tempat dia kembali, tempat dia menemukan kebahagiaan.
Meskipun banyak orang yang bilang kalau bersama dengan Ghaly hanya membuat kehancuran di hidupnya. Tapi Zaina sama sekali nggak pernah merasakan hal seperti itu. Dia merasa kalau bersama Zaina hidupnya berbunga-bunga.
Dia di buat jatuh cinta dengan perkataan Ghaly yang selalu saja berhasil membuat dia tenang. Zaina selalu datang ke Ghaly setiap kali orang tuanya itu bertingkah dan membuat dia capek akan hidup.
"Ke mana Ghaly, jangan kayak gini. Aku nggak bisa, aku nggak bisa sendirian menghadapi orang tua aku yang kayak gitu. Aku butuh kamu."
Tapi, perempuan itu lupa kalau kini dirinya udah ketergantungan sama Ghaly.
Zaina menghentikan mobilnya di pinggir jalan, ia memukul setir tak bersalah dan memekik hebat. Tubuhnya bergetar dan Zaina berakhir menelungkup di kedua lengannya yang udah bertahan di setir. Ia menangis dengan sangat kencang di tempat sepi.
Tak ada perkataan yang dia ucapkan sama sekali. Zaina hanya mengeluarkan rasa sesak di dalam dadanya hanya karena dirinya yang membayangkan kalau Ghaly beneran pergi dan nggak bersama dirinya lagi untuk selamanya.
"Bagaimana aku jalani hidup kalau kayak gini? Aku nggak bisa ... aku butuh kamu, Ghaly."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments