Bab 5. Tas

"Masih berani kamu bertanya ada apa?" Widuri menatap sangar putranya.

"Lihat yang sudah dilakukan istrimu. Dia mau memberikan kita makanan sampah seperti ini." Widuri menunjuk ke lantai yang berserakan.

David mengikuti arah telunjuk ibunya, piring pecah berhamburan dimana-mana, namun matanya justru fokus pada kaki sang istri yang sedikit mengeluarkan darah.

David buru-buru mendekati Rania, berjongkok di hadapannya untuk melihat luka di kakinya. Membuat Widuri semakin geram, dia yang juga melihat luka di kaki menantunya sama sekali tak merasa bersalah.

"Jangan terlalu memanjakannya. Seharusnya kamu bertanya padanya kenapa dia memberikan kita makanan sampah seperti ini?" Widuri melihat putranya.

Mendengar itu membuat Rania bergeser agar suaminya tak bisa melihat kakinya.

David lalu berdiri sambil menghela napas panjang, melihat ibunya sedikit kesal.

"Ibu tak harus melakukan ini."

Widuri tampak semakin murka.

"Apa? Jadi kamu membela istrimu? Jadi ibu yang salah?"

"Ibu maaf tapi menurutku ibu sudah keterlaluan." David memegang lengan istrinya, menariknya agar Rania ikut bersamanya.

Keduanya pergi meninggalkan Widuri yang tertegun tak percaya, sang putra kali ini membela orang lain daripada dirinya.

Entah mengapa, Rania hanya pasrah saja ketika suaminya membawanya pergi dari sana, bahkan sedikit merasa lega, dirinya telah terbebas dari amukan Widuri yang sepertinya tak akan mereda jika dia tetap berdiri disana.

Keduanya telah sampai di dalam kamar. Rania juga tetap terdiam pasrah ketika suaminya mendudukkannya di tepi tempat tidur.

David segera mengambil kotak obat, setelah mendapatkannya dia kembali berjongkok di hadapan sang istri yang terus termenung mengingat kejadian tadi.

Rania sedikit meringis kesakitan ketika lukanya diobati sang suami.

David dengan hati-hati lalu menempelkan plester di luka yang diakibatkan oleh goresan pecahan piring.

"Memangnya apa yang kamu masak?" tanyanya sambil berdiri dan menyimpan kembali kotak obat.

"Telur ceplok gosong," timpal Rania enteng.

David mengulum senyum. Wajar saja jika ibunya mengamuk seperti itu.

"Aku sama sekali tak bisa masak." Rania berdiri. "Kenapa ibumu bersikeras menyuruhku memasak padahal ada banyak pembantu di rumah ini."

"Ibuku masih berpikiran kolot. Dalam pikirannya tugas seorang istri itu ya memasak, membereskan rumah dan mengatur rumah tangga."

"Jika sudah tahu seperti itu, kenapa kamu tetap memilih untuk menikah denganku dari pada wanita pilihan ibumu yang selalu dibangga-banggakannya itu? Jangan katakan demi perusahaan karena kamu sendiri yang bilang jika perusahaanmu sama sekali tak diuntungkan dengan pernikahan kita," tanya Rania menelisik.

David mengulum senyum mendengar perkataan istrinya.

"Cepat katakan apa alasanmu menikahiku?" Rania kembali bertanya.

"Karena aku hanya ingin kamu yang menjadi istriku," jawab David enteng.

Rania mendelik kesal.

"Karena kamu ingin aku yang diperlakukan seperti ini oleh ibumu. Begitu kan?"

"Anggap saja seperti itu," jawab David asal sambil berjalan meninggalkan kamar, tak peduli ekspresi wajah Rania yang menghentakkan kaki dengan kesal.

David berjalan menuju kamar ibunya.

Ibunya pasti sedang merajuk saat ini. Seperti yang kerap kali dilakukannya jika sekali saja dirinya membuat ibunya kecewa, seperti membantah perintahnya atau tidak menuruti semua keinginannya.

Seperti dugaannya, Widuri duduk di tepi tempat tidur, bermuram durja bahkan langsung membuang muka melihat kedatangan sang putra.

"Ibu. Maafkan aku"

Widuri tak menggubris perkataan putranya, David hafal betul keteguhan hati sang ibu jika sudah merajuk akan susah sekali untuk ditaklukkan.

"Aku mengakui jika aku sudah salah."

"Kamu sudah sangat keterlaluan. Kamu memilih untuk membela istrimu dibandingkan ibumu sendiri." Widuri menatap putranya kecewa.

"Ibu. Bukan aku membelanya. Aku hanya ingin agar ibu tidak mendapat masalah."

"Masalah? Apa maksudmu?"

"Ibu. Seperti Gendis, Rania juga putri seseorang. Jika kelak Gendis menikah lalu mertuanya memarahinya hingga tak sengaja melukai kakinya, apa yang akan ibu lakukan?"

Mata Widuri membulat seketika.

"Tapi kan ibu tidak sengaja melukainya."

"Aku tahu. Tapi kan keluarganya belum tentu menerima ketidaksengajaan ibu. Ibu tahu kalau Rania adalah putri satu-satunya dari Pramono Rahardjo."

Widuri menelan ludah.

"Ibu tak takut dengannya," timpalnya pelan.

"Bagaimana jika ayahnya melapor pada polisi?" gertak David.

Widuri gelagapan.

"Karena itu tadi aku membujuknya." David memegang tangan ibunya.

Widuri sepertinya luluh. Dia sedikit menyunggingkan senyuman pada putranya.

"Tapi nak. Dia sudah sangat keterlaluan. Masa dia hanya memasak telur ceplok untuk makan malam kita? Sudah itu telur itu gosong lagi." Widuri sewot.

"Aku ingin ibu maklum. Dia sama sekali tidak pernah memasak."

"Lalu kenapa kamu bersikeras untuk menikahinya? Kamu tahu jika ibu tak menginginkan menantu yang kaya, ibu hanya ingin menantu yang pintar mengurus rumah."

"Maafkan aku ibu. Tapi aku yakin jika dia mau belajar."

"Baguslah kalau dia mau belajar. Karena ibu akan terus menuntutnya untuk menjadi menantu yang ibu inginkan. Katakan pada istrimu agar dia belajar dengan cepat. Ibu bukan tipe mertua yang akan memanjakan menantunya."

"Baik ibu. Akan aku sampaikan."

Tengah malam.

Rania tak bisa memejamkan mata, hanya terus mengerjap dengan tatapan lurus ke atas langit-langit kamar.

Dia memiringkan tubuhnya, foto sang suami langsung terpampang jelas di hadapannya. Rania segera mengambil foto itu, menatap lekat wajah sang suami yang tengah berdiri dengan gagah, memancarkan kharisma kewibawaan dan tentu saja ketampanan yang sempurna.

Baru kali ini dia menyadari jika suaminya memang memiliki wajah yang tampan, seperti yang selalu dia dengar dari banyak orang terutama karyawati di kantornya. Bahkan saat itu mereka berteriak heboh ketika mendengar dirinya akan menikah dengan David Bratasena, CEO muda yang kaya juga digilai banyak wanita.

Rania mendesah. Seandainya mereka tahu bagaimana rasanya menjadi istri dari seorang David yang mereka puja. Tak seindah bayangan. Bukan dimanja dan diperlakukan bak seorang putri raja, namun justru sebaiknya. Setelah hari pertamanya di rumah ini sang ibu mertua berhasil membuat menangis karena perhiasan miliknya diambil, sekarang di hari kedua bahkan kakinya sudah dibuat terluka, sebab piring berisikan masakan yang dia buat untuk pertama kali dalam hidupnya, dilempar hingga melayang beterbangan di hadapan wajahnya.

Rania tersenyum getir. Garis hidup memang sedikit kejam padanya. Setelah sebelum menikah dia harus terus bersinggungan dengan sang ibu tiri yang tak pernah sepaham dengannya, kini setelah menikah ada ibu mertua yang sepertinya bertekad ingin membuat hidupnya seperti di neraka.

Tapi setidaknya ketidakakurannya dengan ibu tiri selama ini telah melatih mentalnya, berhasil membuatnya untuk menjadi wanita yang tak lemah dan tak berdaya, dia akan melawan selama itu benar menurutnya dan prinsip itu juga yang akan dia pegang teguh di rumah ini.

***

Pagi hari.

"Minta maaflah pada ibu dan katakan jika kamu akan belajar untuk menjadi menantu sesuai keinginannya," ucap David yang baru saja masuk ke dalam kamar setelah tadi malam kembali tidur di ruang kerjanya.

"Baiklah-baiklah. Aku tahu jika aku tak melakukannya kamu pasti akan mengancamku dengan perusahaan. Benar kan?" jawab Rania santai sambi melihat David pada pantulan kaca di depannya.

"Baguslah kalau kamu sudah mengerti," timpal David sambil berjalan menuju kamar mandi.

Rania hanya mengerling kesal sambil menyambar tasnya, dengan langkah gegas segera keluar kamar.

Sesampainya di meja makan, dia sudah disambut dengan kehadiran mertua serta kedua adik iparnya. Wajah mereka tampak biasa saja, seperti tak terjadi apapun tadi malam.

Rania lalu duduk, dia bersiap akan mengatakan sesuatu, meminta maaf sesuai titah sang suami.

Mulutnya sudah terbuka, namun kemudian sesuatu di depannya membuatnya membulatkan mata.

Dia melihat tas kesayangan miliknya ada di hadapan Gendis. Tas hitam branded edisi terbatas berharga ratusan juta.

"Kenapa tas ini ada padamu?" Rania yang syok menunjuk tas miliknya.

Gendis hanya tersenyum cengengesan.

"Oh iya kakak ipar aku lupa bilang kalau aku ingin meminjamnya sebentar."

"Apa?" Mata Rania semakin terbelalak.

"Sudah jangan ribut. Jangan hanya gara-gara tas, sarapan pagi ini terganggu lagi seperti kemarin." Widuri melihat menantu dan putrinya bergantian.

Rania tak percaya dengan perkataan mertuanya.

"Ibu. Tapi dia sudah mengambil tasku tanpa izin." Rania menunjuk Gendis.

"Hanya tas. Kenapa kamu pelit sekali?" Widuri memelototi Rania.

Rania semakin membelalakkan matanya tak percaya.

Terpopuler

Comments

💜⃞⃟𝓛 ༄༅⃟𝐐🇺𝗠𝗠𝗜ᴰᴱᵂᴵ 🌀🖌

💜⃞⃟𝓛 ༄༅⃟𝐐🇺𝗠𝗠𝗜ᴰᴱᵂᴵ 🌀🖌

bagus Rania, jangan jadi wanita yang cengeng lawan terus

2024-12-05

0

💜⃞⃟𝓛 ༄༅⃟𝐐🇺𝗠𝗠𝗜ᴰᴱᵂᴵ 🌀🖌

💜⃞⃟𝓛 ༄༅⃟𝐐🇺𝗠𝗠𝗜ᴰᴱᵂᴵ 🌀🖌

yaelah itu menantu emang buat jadi babu 🙄

2024-12-05

0

💜⃞⃟𝓛 ༄༅⃟𝐐🇺𝗠𝗠𝗜ᴰᴱᵂᴵ 🌀🖌

💜⃞⃟𝓛 ༄༅⃟𝐐🇺𝗠𝗠𝗜ᴰᴱᵂᴵ 🌀🖌

bagus, biarkan ibu mu darting wkwkwk

2024-12-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!