Siang harinya
Rania dan David sadar pernikahan mereka membawa keduanya ke dalam kehidupan yang penuh sandiwara. Seperti kali ini keduanya berlagak seperti suami istri yang tengah di mabuk kasmaran. Mereka terus saja melemparnya senyuman penuh kebahagiaan pada semua orang ketika mereka tengah makan siang bersama.
David duduk di samping istrinya, tersenyum lebar sambil memakan makanannya.
"Aku sudah menyuruhmu untuk mengantarkan semua barangmu ke rumahku sendiri, jangan hanya menyuruh para pegawaimu," ucap David pelan, dengan senyuman palsu yang terus berkembang di wajahnya.
"Aku sibuk," jawab Rania singkat juga sambil melirik suaminya tersenyum.
David juga melirik sang istri, tatapan keduanya beradu.
"Ibuku tak menyukai cara seperti itu. Kamu harus segera meneleponnya dan meminta maaf." David masih memaksakan senyuman di wajahnya.
"Baiklah sayang. Aku nanti akan meneleponnya, kamu jangan khawatir," jawab Rania sengaja dengan suara yang keras agar semua orang mendengarnya, tak hanya itu, Rania juga sengaja memegang tangan sang suami sambil pura-pura menatapnya penuh cinta.
Sontak saja hal itu membuat semua orang ikut tersenyum dan bahagia melihat kemesraan pengantin baru itu. Mereka merasa jika keduanya adalah pasangan yang sangat cocok dan serasi, selain karena sama-sama mempunyai fisik yang sempurna, cantik dan juga tampan, keduanya juga merupakan pewaris tahta dari kerajaan bisnis orang tua mereka.
Setelah makan siang, David dan Rania kembali harus berpisah karena kesibukan mereka masing-masing, Rania harus kembali ke kantornya juga David yang harus menghadiri beberapa pertemuan.
Keduanya kembali memamerkan kemesraan palsu mereka, saling berpelukan sebelum masuk ke dalam mobilnya masing-masing.
"Usahakan untuk pulang cepat." David tersenyum.
Rania tak menjawab, dia hanya membalas dengan senyum yang dipaksakan.
Di dalam mobil, Rania bergidik sambil mengusap kasar pipinya yang tadi dicium oleh David, melihat itu Gea, sahabat sekaligus asisten pribadinya yang duduk di kursi depan di sebelah supir hanya menahan tawanya.
"Akting kalian bagus sekali, kalian terlihat seperti pasangan suami istri yang saling mencintai."
Rania tak menggubris perkataan Gea, rupanya dia sedang kesal mengingat perkataan David jika ibunya marah padanya.
"Ada apa?" Gea melihat Rania heran.
Rania menghela napas panjang. "Sepertinya hidupku tak akan baik-baik saja setelah ini."
"Kenapa?"
"Sepertinya menikah dengan pria yang tak aku sukai belum cukup membuat hidupku menderita, aku juga harus bermental baja menghadapi mertua yang gila hormat."
Rania lalu mengingat pertemuan pertama dirinya dan sang calon ibu mertua beberapa hari sebelum pernikahan. Alih-alih menyambutnya hangat, calon mertuanya malah terus menunjukkan wajah sinisnya. Menatapnya tidak suka sambil terus berbicara tentang kriteria menantu idamannya.
"Saya lebih suka menantu yang diam di rumah saja, mengurus rumah sambil menunggu suaminya pulang kerja."
Rania melirik David.
"Ibu. Rania masih harus bekerja. Dia harus mengurus perusahaan milik ayahnya. Tapi ibu tidak usah khawatir, pekerjaannya tidak akan membuat Rania lupa akan tugasnya sebagai seorang istri." David melihat ibunya.
"Bukan hanya sebagai seorang istri. Tapi juga sebagai seorang menantu." Widuri berbicara dengan tegas.
Rania mengerutkan keningnya tak mengerti. Dia akan mengatakan sesuatu namun David menahannya.
"Tentu saja ibu. Dia pasti paham akan hal itu."
"Baguslah. Beritahu istrimu juga akan peraturan di rumah kita. Katakan jika dia harus selalu menuruti apapun yang ibu katakan, dia memang istrimu tapi semua di rumah itu tetap ibu yang mengaturnya."
"Baik ibu." David mengangguk. Lain halnya dengan Rania yang tercengang tak percaya.
Widuri kembali mengatakan banyak hal lagi tentang apa yang harus Rania lakukan dan tidak lakukan jika sudah menikah dengan putranya nanti. Rania yang sudah jengah tak sepenuhnya mendengarkan, dengan mimik wajah malasnya dia bertopang dagu sambil memainkan sendok di tangannya.
Seandainya saja jika bukan karena perusahaan ayahnya yang sedang membutuhkan investasi besar, maka dia pasti akan mundur dari pernikahan ini. Membayangkan situasi sulit yang harus dihadapinya setelah pernikahan nanti.
"Ajak saja suamimu untuk pindah dari rumah ibunya." Gea mengagetkan Rania yang sedang termenung.
"Tidak bisa. Tertuang di perjanjian pra nikah jika aku harus bersedia tinggal bersama mertuaku."
"Dasar anak mami." Gea mencibir.
Rania hanya memegang kepalanya pusing.
Malam hari.
Rania turun dari mobil, Gea dan supirnya lalu pamit untuk pulang.
"Besok pagi kami akan menjemputmu." Gea melambaikan tangannya.
Rania tertegun sejenak melihat rumah besar nan mewah dan super megah di depannya.
Dia lalu melangkah kakinya setelah sebelumnya menarik napas panjang. Ini adalah kali pertamanya memasuki rumah itu, rumah keluarga besar suaminya, rumah yang mulai saat ini harus dia tempati dan entah sampai kapan dia mampu bertahan di sana.
Rania akan membuka pintu yang menjulang tinggi, namun sebelum tangannya terangkat, pintu itu telah di buka dari arah dalam.
Beberapa pelayan berpakaian serupa menyambutnya dengan setengah membungkuk. Seorang diantara mereka lalu mempersilahkan istri dari tuan mereka untuk masuk.
Rupanya kedatangannya sudah ditunggu oleh nyonya rumah, dengan wajah angkuhnya Widuri memperhatikan Rania yang berjalan mendekatinya.
Selain ibu mertuanya yang menyambutnya sinis, Rania juga melihat dua adik iparnya sama-sama melihatnya tak suka.
"Akhirnya kamu pulang juga." Widuri melihat jam besar di dinding.
"Iya ibu. Pekerjaanku sangat banyak."
Widuri terus menatap wajah menantunya tajam.
"Pekerjaan tidak bisa dijadikan alasan, harusnya kamu sudah pulang sebelum suamimu pulang."
Rania tak menjawab, dia hanya menghela napas mendapatkan sambutan pertama yang kurang mengenakkan dari mertuanya.
"Baiklah ibu. Aku ingin beristirahat."
"Apa aku sudah menyuruhmu untuk pergi?" Widuri kesal.
"Apa tidak ada yang mau kamu sampaikan?" Widuri mengharapkan permintaan maaf menantunya atas kejadian tadi siang.
"Oh iya. Soal tadi siang. Maaf ibu aku sangat sibuk hari ini jadi kau tidak sempat mengantarkan barang milikku."
"Apa kamu pikir rumah ini adalah hotel? Bisa datang dan pergi seenaknya sesuka hati?"
"Aku kan sudah minta maaf ibu." Rania kembali akan melangkah.
"Tunggu dulu."
"Masih ada yang ingin ibu sampaikan?" Rania kembali menghela napas panjang sambil melihat ibu mertuanya lagi.
"Suamimu belum makan malam. Kamu harus membantu menyiapkan makanan untuk suamimu."
"Apa?"
"Apa perkataanku kurang jelas?"
"Tapi ibu. Banyak pelayan di rumah ini. Mereka bisa menyiapkan semuanya kan?"
Widuri terkesiap mendapatkan jawaban tak terduga dari menantunya.
"Ibu. Dia berani sekali menjawab perkataan ibu." Gendis memegang lengan ibunya, gadis berusia 19 tahun itu tampaknya ingin memanasi sang ibu.
"Berani sekali kamu menjawab perkataan ibuku?" Gilang menambahi. Adik David nomor dua itu juga tampaknya sangat ingin melihat kakak ipar baru mereka dimarahi oleh ibu mereka.
Rania menggelengkan kepalanya tak percaya. Selain ibu mertuanya rupanya dia juga harus menghadapi adik-adik iparnya yang juga sama saja.
"Aku lelah. Aku mau istirahat. Dimana kamar suamiku?" Rania memutar tubuhnya membelakangi mereka bertiga
Widuri merapatkan giginya kesal. Dia akan berteriak memanggil menantunya namun diurungkan melihat David yang sedang menuruni tangga.
"Kamu sudah pulang?" David melihat istrinya.
"Dimana kamarmu. Aku lelah." Rania lagi-lagi menarik napas dalam-dalam sambil melihat suaminya.
David tak menjawab, dia hanya memanggil salah satu pelayan untuk mengantarkan Rania ke kamarnya.
Rania menaiki tangga dengan santai, tak memperdulikan tatapan sinis mertua dan kedua adik iparnya.
Beberapa saat kemudian.
Rasa lelah dan jengkelnya membuat Rania segan untuk keluar kamar, padahal beberapa kali pelayan memanggilnya atas suruhan nyonya besar.
Setelah mandi, dia hanya membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, sambil memperhatikan kamar sang suami yang besar dan cukup luas itu.
Tak berselang lama, suaminya masuk ke dalam kamar, berjalan mendekatinya dengan sedikit kesal.
"Kenapa tidak turun ke bawah? Ibu menyuruhmu untuk turun."
"Harus berapa kali aku katakan jika aku lelah." Rania menutupi wajahnya dengan selimut.
"Aku hanya ingin kamu tahu jika aku tak suka jika kamu terus membuat ibuku kesal dan marah." David menatap tajam sang istri yang berbaring di atas tempat tidur.
"Aku tak bermaksud membuat ibumu marah, tapi sepertinya memang ibumu itu pemarah."
"Jaga mulutmu. Jangan mengatakan hal buruk tentang ibuku." David sedikit membentak.
Rania langsung menyingkap selimut di wajahnya, dia beranjak dari tidurnya, berdiri menghampiri sang suami yang sedang marah.
"Baiklah-baiklah. Aku juga hanya ingin kamu tahu aku akan menjalankan kehidupanku sesuai keinginanku, aku tidak suka diatur, tidak itu olehmu apalagi oleh ibumu."
"Ingat jika kamu adalah istriku. Kamu harus menuruti apa perintahku." David memegang lengan istrinya
"Aku memang istrimu. Bukan pesuruhmu. Aku akan menuruti apa katamu jika itu masuk akal menurutku." Rania menepis kasar tangan suaminya.
"Jangan memanfaatkan statusmu sebagai suamiku. Ingat pernikahan ini hanya sebatas kesepakatan. Jangan kamu kira hanya aku saja yang diuntungkan dari pernikahan ini sehingga aku harus selalu menuruti apa katamu. Kamu dan perusahaanmu juga sama-sama diuntungkan, jadi mari kita saling menghormati. Jangan merasa sok berkuasa satu sama lain."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
💜⃞⃟𝓛 ༄༅⃟𝐐🇺𝗠𝗠𝗜ᴰᴱᵂᴵ 🌀🖌
bagus, aku suka caramu Rania
2024-12-05
0
💜⃞⃟𝓛 ༄༅⃟𝐐🇺𝗠𝗠𝗜ᴰᴱᵂᴵ 🌀🖌
penuh dengan sandiwara
2024-12-05
0
Aprisya
aku nyimak dulu kak
2023-07-10
4