TLE 12

Riffendel, sebuah pemukiman kecil yang ada di ujung utara Hutan Forst. Ada beberapa rumah kayu yang sudah terbengkalai. Hal ini menunjukkan tanah hunian ini sudah lama ditinggalkan. Konon tempat itu dulunya milik hewan liar yang sudah memiliki kesadaran manusia, tetapi belum punya domisili layak. Mereka akhirnya pergi dari sana setelah bergabung bersama Klan Agrios.

Tidak ada lagi yang berani mengunjungi tempat itu setelah ada rumor yang mengatakan sesosok makhluk malam mendiami Hutan Forst bagian utara itu. Ketakutan ini seharusnya bermakna sosok yang dimaksud telah menjadi momok bagi semua orang. Kendati hal ini hanyalah tuduhan, Ragash tidak pernah merasa terusik. Ia malah lebih menikmati hari-harinya dengan santai dan penuh ketenangan.

Saat ini Ragash sedang merebahkan diri di dahan pohon ketika merasakan angin tipis menyapu tepat di sebelah wajahnya. Ia membuka mata dengan malas dan menemukan anak panah menancap di dahan pohon tersebut hanya beberapa inci dari telinganya. Hal ini tidak menganggu sama sekali ia malah ingin menutup mata ketika sebuah teriakan menulikan indra pendengarnya.

"Kakek Tua! Turun!"

Ragash mendongak ke bawah hanya untuk melihat Camelia sudah siap dengan panah keduanya, tatapannya bahkan penuh pengancaman.

"Cepat datang kau punya utang penjelasan!"

Tidak menghiraukan, Ragash malah melipat kedua tangannya dan melanjutkan tidurnya.

"Enyah, aku mengantuk," ucapnya masih dengan mata tertutup.

Ketika tidak mendengar suara dari bawah sana, Ragash dengan ragu berpikir apakah anak nakal itu sudah pergi? Namun, belum saja ia sempat mengerutkan alis, sesuatu yang berat dan benyek mendarat di dadanya.

Ragash langsung membuka mata hanya untuk melihat sebuah mangga busuk bertahta dengan rapi di atas pakaiannya. Refleks ia menepis. Ada sisa lengket yang menempel di tangannya.

Antara rasa marah dan jijik, Ragash mengambil posisi duduk dengan wajah geram. Ia membelalak saat melihat pelaku di bawah sana sedang memilah tumpukan buah busuk lainnya. Ujung matanya berkedut.

"K-kau hentikan itu."

Camelia menoleh dengan tatapan mengejek. "Jangan harap kalau kau tidak turun."

"Anak sialan ini, hish."

Setelah mendengar bunyi bijakan di tanah Camelia baru menghentikan aktivitasnya.

Ragash yang merasa kehilangan wibawa, berkata dengan kesal. "Apa? Apa yang mau kau tanyakan."

"Kakek Tua, kau membunuh seorang amagine?"

Mendengar pertanyaan itu, Ragash menaikkan kepalanya dengan angkuh. "Jika kau datang hanya untuk menanyakan ini lebih baik pulang saja."

"Mencoba menyangkal?" Camelia menyeringai.

Ragash tetap tenang, keangkuhan tadi tidak turun sedikit pun. "Terus tuduh aku dan pertanyaanmu itu akan menjadi kenyataan."

Camelia mengangkat sebelah alisnya. "Oh? Tidak ada pencuri yang mengaku."

"Anggap saja seperti itu kalau begitu."

Camelia mengembuskan napas.

Percuma berdebat dengan orang ini.

"Aku akan melapor—"

Ragas langsung menyela, "Sudah kukatakan tapi kau tidak percaya. Aku tidak membunuh siapa pun." Ragash terdiam sejenak lalu tiba-tiba melarat ucapannya. "Siapa pun selain hewan."

Camelia diam-diam menilai lawan bicaranya. Ragash akan memalingkan wajah jika ia berbohong dan Camelia tidak melihat itu sekarang. Namun, keraguan datang menyelimuti saat pria itu tiba-tiba menggaruk hidungnya.

Apa maksudnya ini?

Camelia tidak bisa memaksakan tuduhannya karena tidak punya bukti.

Tapi kalau bukan karena dia, apa penyebab kematiannya?

...•••••...

Kasus kematian tak berdasar itu teredam hanya dalam waktu dua hari. Camelia terus berpatroli namun tidak menemukan apa pun. Bahkan setelah autopsi mayat yang dilakukan di Pyrgos, ramuan-ramuan para alkemis itu tidak juga mengungkapkan hal berarti. Atau memang tidak ada hal janggal di sini?

Semua orang sibuk dengan persiapan festival yang akan dilakukan akhir musim gugur nanti dan para penggosip mulai beralih pekerjaan. Camelia sendiri pun akhirnya melupakan. Namun, ia tidak hanya bersantai. Ia jadi lebih sering berkeliaran di kediaman para amagine.

"Jadi namanya Nory? Kau bilang dia tinggal seorang diri di rumah yang itu? Ke mana orang tuanya?" Camelia menunjuk sebuah rumah kayu yang terlihat sudah tidak terawat berjarak lima meter dari tempat ia berdiri. Ia sedang mengobrol dengan seorang wanita paruh baya yang mengaku tetangganya.

"Ayahnya sudah lama meninggal. Kalau si Nelina aku tidak tahu. Setelah kepergian suaminya, Nelina hanya bekerja sebagai tukang masak di kediaman Tuan Malfoy. Dia digaji dengan cukup, tapi wanita itu sepertinya sudah terlanjur gila setelah menjadi janda. Dia pergi dan tidak kembali. Orang-orang menganggap dia sudah mati di luar sana."

"Oh jadi itu alasan kenapa Nory sering bersama si tua itu?"

Wanita di depannya sepertinya tidak menyukai cara Camelia memanggil Tuan Malfoy. Wajah ramahnya tidak lagi menampakkan senyum. Suaranya sedikit meninggi.

"Ya, Tuan Malfoy orang baik. Dia memperlakukan Nory sangat baik. Bahkan sekarang Tuan Malfoy yang merawatnya. Anak itu harus mengabdikan hidupnya untuk keluarga Tuan Malfoy."

Camelia tidak terlalu menyimak karena pikirannya berkelana memikirkan apakah Nelina, ibu Nory itu adalah salah satu korban orang hilang?

Dengan pemikiran itu Camelia menatap wanita di depannya, ia memasang senyum tetapi berucap dengan suara kecil, "Jika kalian semua menganggap orang hilang adalah orang gila maka pekerjaanku akan sia-sia." Camelia lalu memaksakan senyum lebarnya. "Benar, akan sangat baik jika ada banyak orang seperti Tuan Malfoy di dunia ini."

Lawan bicaranya tidak akan lagi percaya andai pun Camelia akan melontarkan pujian lebih. Wanita itu tidak lagi membalas. Sesaat kemudian seorang anak laki-laki keluar dari rumah mereka, ia berjalan lurus tetapi wanita itu dengan cepat menghadangnya.

"Luca! Mau ke mana kau."

Anak itu memberontak. "Aku mau pergi bermain ibu, lepaskan. Biarkan aku pergi."

Wanita itu malah menyeretnya. Kedua ibu dan anak itu seakan tidak mengindahkan keberadaan Camelia.

"Masuk! Nory tidak ada di rumahnya. Jangan bermain dengan dia."

"Tidak mau! Aku ingin bermain dengan Nory!"

"Sudah kubilang jangan bermain dengan anak itu!" Sang ibu menarik telinga, membuat anak yang bernama Luca itu histeris dengan tangisnya. Pemandangan itu pun berlalu ketika sang ibu berhasil menyeretnya ke dalam rumah. Suara jeritan teredam masih samar-samar terdengar dari dalam sana.

Nory yang terlihat menyedihkan ternyata masih punya seorang teman yang tulus, pikir Camelia.

Cukup melegakan, tetapi sayangnya pemandangan itu terlalu klise untuk mendapat simpati Camelia. Pemilik rambut brunette itu lebih peduli pada perutnya yang sudah bergemuruh sejak tadi.

"Aku sudah menahan makan sejak semalam. Awas saja kalau aku tidak bertemu dengan si kucing itu hari ini."

Camelia kembali menilik pemandangan samping rumah Nory yang tidak terawat. Rasa lapar yang ia tahan sejak tadi membuat pikirannya kembali kosong. Hanya ketika gemuruh di perutnya kembali terdengar, wajah Gerald segera muncul di pikirannya.

Si kucing itu harus datang hari ini, aku ingin memastikan sesuatu.

Bak padang tandus terguyur hujan, lutut yang dibalut celana kulit hitam itu akhirnya kembali memiliki tenaga setelah melihat Gerald lewat di depannya. Mengabaikan fisik yang sudah lemas, Camelia dengan semangat pergi menghampiri.

"Kita bertemu lagi."

Camelia hanya menepuk pundak itu sebentar, tetapi Gerald yang sedang menatap rumah Nory dengan cepat berbalik penuh raut terkejut.

"Ada apa?" Camelia melirik rumah Nory lalu kembali melihat Gerald. "Orangnya tidak ada di rumah."

Gerald mengabaikan ucapan Camelia dan hanya membatin, apa wanita ini ingin membunuhku perlahan? Mengapa dia terus muncul tiba-tiba!

Ekspresi pria di depannya mengundang tanya, tetapi belum saja Camelia berkomentar lagi, kehadiran seseorang menginterupsi keduanya.

Luca yang tidak lagi menangis mengusap mata sembabnya dan berhenti di depan mereka.

"Kau berhasil lolos?" Itu adalah pertanyaan yang muncul di kepala Camelia. "Kau ingin sekali bermain dengannya? Tapi Nory tidak ada di rumah."

Luca menjawab dengan gelengan.

"Kau temannya, 'kan?"

Anak itu hanya mematung dan tetap diam.

Lalu sesaat kemudian ia melempar pertanyaan mengejutkan. "Kalian punya uang?"

Bahkan Gerald yang tadinya tidak peduli mendongak untuk melihatnya.

Luca menyedot cairan hidungnya sebelum melanjutkan. Ia menatap Camelia. "Aku tahu banyak tentang Nory. Beri aku koin." Tanpa ragu ia mengangkat tangannya. "Berikan."

Alis Camelia terangkat sebelah. Ke mana anak yang sangat ingin bermain dengan Nory tadi? Sungguh tak terduga.

"Anak kecil, siapa yang mengajarimu begitu?" Camelia mendekat dan berlutut di hadapannya. "Bukankah kau temannya? Tadi kau ingin bermain dengan Nory?"

Luca lagi-lagi mengeleng. Ia tidak bersuara.

Tanpa diduga satu kantung koin perunggu lewat tepat di samping wajah Camelia. Ia menoleh dan menemukan Gerald dengan tanpa ekspresi sebagai pelakunya.

Camelia menunduk menahan tawa saat melihat kantung itu sudah berpindah tangan dalam sekejap. Ia menatap Luca masih dengan tawa itu. "Ternyata kau bukan teman yang baik."

"Apa yang kau tau?" Gerald menyela.

Tatapan Gerald yang dingin membuat Luca terguncang. Matanya mulai berkaca-kaca, genggaman pada kantung mengerat. "A-aku bukan temannya. Dia tidak punya teman. Semua orang membencinya!"

Camelia memegang pundak anak itu. "Wah kau terlalu tidak terduga."

Luca yang sudah tersulut emosi tetap berbicara walau tekanan yang naik di dada hingga ke tenggorokan membuatnya terbata-bata. "Dia kotor ... dia merayu Tuan Malfoy!" Ia mundur, pegangan Camelia di pundaknya terlepas. Tangannya menggenggam erat kantong koin itu. "Dia tidur dengan Tuan Malfoy!"

Camelia tidak merasa ini buruk tapi ia tertegun melihat Gerald tiba-tiba maju selangkah.

"Apa katamu?"

Seolah kehilangan keberanian, Luca menelan ludah dan hanya berkata, "Dia bukan anak baik." Ia tersedak. Air matanya menggenang di wajah.

Camelia masih menolak mengerti situasi ini. Ia malah bertanya, "Tadi aku dengar kau sangat ingin bermain dengannya?

"Itu bohong!" Luca meremas kantung koinnya. "Dia mendapat banyak makanan dan pakaian dari Tuan Malfoy. Aku juga ingin ..." Suara itu semakin mengecil sampai akhir kalimat.

Mulut Camelia sampai tidak bisa menutup. Woah penjilat? Cukup cerdik tapi Camelia menyayangkan usianya.

Sementara itu Gerald dengan reaksi berbeda kembali memotong. "Apa maksudmu dengan mereka tidur bersama?"

Pria itu tidak ingin berpikir terlalu jauh, tetapi pikirannnya sudah terlanjur berkelana.

Nada dingin dan raut wajah Gerald sangat mengintimidasi. Luca mundur perlahan. Ia ketakutan. Seolah ia mengatakan sesuatu yang fatal lalu menyadarinya, tangis itu semakin pecah. Luca berbalik dan pergi.

Cemelia menilai wajah Gerald.

Apa yang salah dengan mereka tidur bersama? Dia hanya anak kecil tapi si kucing ini menjadi sangat marah?

Ketika Gerald hendak mengejar, Camelia yang berlutut terlalu lama tidak tahan dengan pening di kepalanya. Ia baru ingin berdiri tetapi terduduk kembali. Tangan itu mencengkram keliman baju Gerald.

Apakah gejala darah rendah juga menyerang seorang potensial seperti Camelia?

"Tunggu," cicitnya. "Tolong aku ... aku lapar."

Gerald menoleh tidak tahan, ia mencerna sekali lagi ucapan Camelia. Wanita ini mengeluh lapar kepadanya?! Sungguh....

"Bangun."

"Bantu aku ..." Pegangan di tangan Camelia mengencang.

Gerald memalingkan wajah. Tidak sudi.

Namun, ia segera mengubur keengganannya saat melihat seseorang. Pria yang ia ikuti selama ini berjalan ke arah mereka. Gerald akan bersembunyi, tetapi dalam kegentingan itu Camelia malah tidak melepas penganggannya. Karena tidak ingin pria itu menyadari kehadirannya, refleks Gerald menggendong Camelia dan memasuki rumah di depan.

Beruntungnya ... tidak terkunci.

Camelia cukup terkejut, tetapi langsung tersenyum ketika tujuannya ia dapat dengan mudah. Dua kali bertemu dengan Gerald, dua kali juga Camelia mengalami fenomena kenyang yang tiba-tiba.

Ini memang hanya asumsinya tapi Camelia berpikir rasa kenyang itu muncul tiap kali ia bersentuhan dengan Gerald. Karena tidak ada kemungkinan lain, Camelia sengaja menahan lapar dan ingin membuktikan opininya. Lalu keinginannya terwujud begitu cepat. Dengan sangat mudah. Mereka kembali bertemu, bersentuhan bahkan ia berada dalam gendongannnya!

Ternyata benar.

Membenamkan wajahnya di dada Gerald, Camelia diam-diam tersenyum. Dia bukannya tersipu seperti wanita normal lain andai tiba-tiba digendong pria setampan Gerald. Namun ini tentang kebenaran yang baru ia dapat. Sekarang ia merasa kenyang...lagi.

Melupakan kesenangannya, Camelia mendongak untuk melihat wajah Gerald. Pria itu menatap waspada ke arah luar.

"Aku sungguh terkejut kau mau menggendongku."

Gerald diam sesaat sebelum menatapnya curiga. "Kau tadi terlihat sangat kesakitan."

Camelia terkekeh. "Iya tadinya...oh kucing, terima kasih."

Kucing...

Gerald mematung dan tanpa aba-aba melepas pegangannya.

Bunyi debum di lantai terdengar, Camelia jatuh tanpa persiapan.

"Aw! Kau—"

Gerald melangkah ke sudut lain. Tangannya mengepal kuat.

Terpopuler

Comments

Meymei

Meymei

sukaan ragash adalah ketenangan.. hee

2023-05-03

0

Little Dream

Little Dream

Di bilang kucing sih. Aduh gemes banget ama mereka ih

2023-04-05

0

Little Dream

Little Dream

Hush 😭

2023-04-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!