...••••••...
Setelah mendaratkan satu bogem telak ke perut Tirian, Camelia akhirnya keluar dari sana dengan perasaan dongkol. Ia memang akan menemui Aletta untuk menjelaskan, tapi langsung menyesal begitu bertemu. Jika bukan karena tekanan cacing di perut yang meminta makan Camelia sudah ingin menghilang dari sana.
"Aku tau kau terbiasa berada di sekitar para pria, tapi kau pikir berdua dalam satu kamar itu bagus?!" Setelah meletakkan lauk pauk di atas meja makan, Aletta menatap Camelia dengan tatapan mengancam. "Camelia! Kau sadar apa yang kau lakukan?"
Camelia menelan eliksir yang baru ia teguk, intonasi tinggi yang masuk dalam telinganya membuat cairan obat itu seakan tersangkut. Ia memijat pelipisnya dan membatin, oh sial, apa ini karma?
Saat itu Camelia berhasil melarikan diri saat ia mengacaukan wajah Aletta dan mencuri cerminnya, tetapi pada akhirnya ia mendapat jatah omelan itu sekarang. Hidup memang benar-benar adil!
"Setidaknya biarkan aku mengisi perutku dulu." Camelia tampak putus asa.
Walaupun dalam keadaan marah, Aletta yang terbiasa melayani keperluan Camelia jika kebetulan mereka bertemu di istana akhirnya mulai mengisi makanan pada piring kosong. Tentu saja mulutnya masih terus mengoceh.
Menyerahkan makanan, tatapan Aletta masih penuh selidik saat ia bertanya, "Sejak kapan kau bersamanya?"
Camelia memutar bola matanya. "Sudah aku bilang aku tidak mengenalnya."
Raut wajah Aletta mendadak berubah. "Kau mau menyerahkan dirimu pada orang asing?!"
Tentu saja konteks pemahaman Camelia mengarah pada hal berbeda. Jadi ia menjawab, "Kau pikir aku mudah menyerah? Aku berusaha melawannya tapi aku hanya tidak beruntung hari ini."
Camelia yakin tidak ada yang berlebihan dari ucapannya. Ia cukup tersentak saat Aletta tiba-tiba duduk di sampingnya bahkan memutar tubuh yang baru ingin memasukkan satu sendok makanan ke dalam mulut. Camelia yang tanpa persiapan hanya pasrah menatap sebagian makanan mengotori celana kulitnya sementara sendok di depan mulutnya telah kosong.
"Jadi dia memaksamu?" Aletta yang tanpa rasa bersalah menatap serius wajah temannya. Sementara Camelia mulai kehilangan kesabaran.
"Apa sebenarnya yang kau bicarakan? Dia hanya pria tidak waras. Minggir! Kenapa kau tidak bisa membiarkan aku makan dengan tenang?!"
Mendengar ini keraguan Aletta akhirnya menurun. Ia bergeser sedikit, tapi masih melempar pertanyaan terakhir.
"Benar-benar tidak ada yang terjadi?"
"Tidak! Tidak ada! Berduel saja tidak sempat!"
...••••••...
Setelah usia Camelia mencapai belasan tahun di mana akalnya mulai berfungsi dengan baik, hubungannya dengan Ratu Serafina yang notabene adalah bibinya mulai berjarak. Dinding es di antara keduanya bukan tak berdasar.
Hanya saja ketika itu Camelia mulai paham bahwa dalam dunianya ada kelompok-kelompok yang hidup berdasarkan variasi penduduk. Saat itu pikiran dangkalnya memilah perbedaan yang dimaksud bukan berasal dari tampilan fisik seperti warna rambut ataupun warna mata, tetapi tentang yang kuat dan lemah. Mereka yang dapat mengolah sihir adalah orang-orang kuat, begitulah yang tertanam dalam kepalanya.
Setelah mengetahui kalau ia yang sebenarnya adalah keturunan wizard tidak ada bedanya dengan seorang amagine, untuk pertama kalinya Camelia merasa bahwa menjadi berbeda itu sangat buruk.
Seperti biasa, Camelia memasuki ruangan Ratu Serafina dengan perasaan terpaksa. Untungnya rasa lapar di perut dan luka yang tersebar di tubuhnya sudah lebih dulu diobati. Ia hanya perlu mengumpulkan niat tanpa terganggu oleh rasa sakit itu. Walaupun tampaknya kali ini cukup berbeda, Camelia seperti membawa sedikit minat seolah ada yang ingin ia sampaikan pada ratu Zoeearth itu.
Sementara itu sang ratu yang berdiri menatap ke jendela tampak terbiasa dengan atmosfer yang disebar oleh sang keponakan. Ia mencoba menunggu Camelia yang sudah masuk sejak tadi untuk bersuara. Namun pada akhirnya, ia mengalah dan berbalik untuk menyambutnya. Tidak ada raut tersinggung di wajah sang ratu. Ia bahkan tersenyum memaklumi lalu mengalah untuk memulai sapaan.
"Kau sibuk sekali sampai tidak sering menjengukku. Kau tinggal bersama teman amagine-mu?"
"Benar Yang Mulia, Anda mungkin sudah sering melihatnya di istana. Dia bekerja di Pyrgos." Alih-alih tersinggung atas ucapan sang ratu, Camelia malah memperjelas tujuannya. "Ada apa Anda meminta saya kembali, Yang Mulia?"
Bukankah dinding es ini terlalu nyata? Walaupun seharusnya sudah terbiasa, Ratu Serafina selalu merasa tertohok mendengar sapaan formal yang keluar dari mulut keponakannya sendiri. Andai itu sebuah bentuk penghormatan, seharusnya terlalu tidak perlu dalam komunikasi yang hanya ada dua orang ini.
Apa yang bisa dikatakan, Ratu Serafina hanya bisa memaklumi. Karena paham tabiat Camelia, ia tidak ingin lagi berbasa-basi. Setelah mengambil posisi duduk di seberang Camelia, sang ratu memulai obrolan sesungguhnya.
"Pada akhirnya kita akan membentuk garnisun. Tentu kau sudah dengar tentang penculikan itu. Garnisun sudah harus bergerak sekarang. Namun secara khusus kau diminta seseorang untuk berjaga di malam festival musim gugur yang diadakan Klan Agrios nanti."
Itu bagus. Camelia mengungkapkan persetujuannya di pikiran. Setidaknya latihan selama ini tidak akan sia-sia. Namun, alisnya langsung mengerut mendengar ucapan sang ratu berikutnya.
"Aku tahu selama ini kau sudah menghabiskan waktumu dengan berlatih dan aku sudah melihat hasilnya. Namun jika kau tidak ingin mengambil tugas ini aku akan memaklumi."
Mendengar ini Camelia tidak tahan untuk tidak berkomentar. "Yang Mulia ingin aku berhenti? Kenapa?"
Ratu Serafina menyadari perubahan intonasi Camelia lantas dengan cepat menjelaskan, "Aku hanya bertanya karena aku tidak ingin memaksamu. Lagi pula ini terlalu beresiko. Pelakunya sepertinya bukan orang biasa. Aku hanya tidak ingin melibatkanmu dalam bahaya."
Camelia tahu kalimat itu terdengar seperti seseorang sedang mengkhawatirkannya. Namun yang muncul di kepalanya hanyalah pikiran 'tidak, ini tidak benar'.
"Apa yang Anda katakan?" Ekspresi tidak senang tampak jelas Camelia perlihatkan. "Kenapa aku merasa Anda hanya ingin menghambatku?"
Ratu Serafina tertegun. "Apa maksudmu?"
"Anda tidak ingat?"
Ratu Serafina menatapnya, hanya diam dan menunggu.
"Dulu saat seorang anak kecil menangisi nasipnya, menangis tersedu-sedu mempertanyakan mengapa dirinya berbeda, mengapa tangannya tidak dapat mengeluarkan sihir ... Anda sendiri yang datang padanya dan mendorongnya untuk mengambil jalan ini.
"Bukankah Anda sendiri dulu yang mengatakan dengan melatih pertahanan fisik perlahan-lahan kemampuanku akan muncul? Mҽҽña di tubuhku akan terbentuk? Belakangan aku menyadari semua omongan Anda itu hanya bualan. Namun, mendengar ucapan Anda hari ini kenapa aku merasa Anda benar-benar sedang menghalangiku?"
Satu embusan napas lolos dari mulut sang ratu. Ia memejamkan mata sesaat seolah berat untuk mengatakan kalimat selanjutnya. "Ya aku tau, aku..." Ada jeda sejenak sebelum Ratu Serafina bisa melanjutkan. "Mungkin kau berpikir ucapan itu hanya omong kosong, tapi aku tidak bermaksud membohongimu."
Pada saat ini Camelia ingin menyeringai, tetapi pada akhirnya ia memilih hanya mengangkat alis dan tetap mendengarkan.
"...apa yang kau alami ini bukan sesuatu yang bisa disembuhkan dengan eliksir. Kau keturunan seorang penyihir, seharusnya dengan beberapa pelatihan dapat membantumu membangun mҽҽña-mu. Aku tidak berpikir ada cara paling baik selain cara itu. Namun, dalam praktiknya itu memang tidak menghasilkan apa-apa. Walaupun begitu setidaknya sekarang kau tidak begitu lemah."
Camelia tahu itu. Namun, bukankah tidak akan ada asap jika tidak ada api? Semua hal tentu punya penyebabnya. Mengenai kelainan genetis seperti ini, dua orang yang sangat Camelia kenal mungkin dapat menjadi contoh. Aletta dan Niles. Keduanya adalah kakak beradik yang berbeda 'jenis'.
Niles memiliki darah Klan Agrios di tubuhnya. Sehingga ia memiliki wujud falkon sebagai bentuk lainnya. Namun Aletta? Ia hanya seorang amagine tanpa kemampuan apa pun. Kenapa kemudian hal ini tidak menjadi sebuah keanehan? Karena alasannya jelas. Dua kakak beradik itu lahir dari dua orang yang juga berbeda 'jenis'. Sang ibu berasal dari amagine sedangkan sang ayah adalah seorang agrios.
Walaupun mereka lahir dari hubungan tanpa pernikahan, tetapi itu masih masuk akal jika dibandingkan dengan Camelia yang sama sekali tidak punya penjelasan. Terdistraksi oleh pemikiran ini, Camelia tidak tahan untuk menanyakan.
"Siapa orang tuaku?"
Pertanyaan itu asing ketika mendarat di indra Ratu Serafina, tetapi tidak ada reaksi berlebihan saat ia mendengarnya. Sebaliknya, alis pemimpin Zoeearth itu malah mengerut. "Ada apa? Kau tidak pernah menanyakan ini sebelumnya."
Di dalam hatinya Camelia membenarkan. Selama ini ia memang tidak memiliki keinginan untuk mengetahui apa pun tentang orang tuanya. Camelia hanya cukup tahu bahwa mereka telah tiada dan ia menganggap tidak ada lagi yang perlu ditanyakan.
Hanya saja, jika memang kondisinya ini disebabkan oleh jati diri orang tuanya yang bukan seorang penyihir, bukankah seharusnya Ratu Serafina tidak perlu menyangkal atau membohonginya terlalu jauh? Camelia tidak yakin Ratu Serafina mampu berbohong selama itu. Jadi ia dengan cepat mengubah pikirannya.
Wanita itu menatap sungguh-sungguh lawan bicaranya saat ia berkata, "Jika ini bukan karena orang tuaku, maka...apa Anda juga berpikir seseorang telah menutup pintu energiku?"
Hanya dengan mendengar ini netra Ratu Serafina membelalak. "Tidak akan ada orang yang berbuat sekejam itu!"
"Ah begitu?" Perubahan pada suara sang ratu terlalu jelas. Camelia menarik salah satu sudut bibirnya sebagai reaksi. Walaupun begitu ia tidak bertanya lebih lanjut. Camelia tidak menunggu reaksi Ratu Serafina saat ia mulai berdiri dari tempatnya.
Ia melanjutkan, "aku sudah memutuskan akan menjalankan tugas ini. Aku akan menyusuri tempat-tempat mencurigakan yang ada di Troas. Jadi mulai sekarang jangan menungguku pulang."
Melihat Ratu Serafina yang ikut berdiri dan hendak mengatakan sesuatu, Camelia dengan cepat menyela. "Mengenai penjagaan di festival itu, aku akan ada di sana jika waktunya telah tiba. Tunjuk saja siapapun jika Anda membutuhkan orang tambahan, tapi aku akan bergerak sendirian."
"Kau yakin?" Raut Ratu Serafina tampak tidak ikhlas. Namun, ia tahu Camelia tidak akan mengulang kata-katanya.
Alih-alih menjawab, Camelia menundukan sedikit kepalanya sebelum akhirnya berkata, "Aku akan pergi mengambil kudaku." Dengan itu Camelia mulai melangkah pergi dari sana. Hanya ketika ia sampai di pintu sebuah ingatan muncul di pikiran. Ia dengan cepat berbalik dan menemukan Ratu Serafina masih menatap ke arahnya.
Mengabaikan semua itu, Camelia segera berkata, "Aku harap Anda masih menganggap aku sebagai salah satu anggota rumah ini ... jadi jangan pernah membiarkan siapa pun menempati kamarku." Tanpa menunggu lagi reaksi seseorang, Camelia akhirnya benar-benar pergi dari sana.
...•••••...
Di sebuah pemukiman yang jarang ditemukan pohon dengan daun warna-warni, Lea berjalan dengan gugup sembari memegang sehelai saputangan yang terlipat rapi. Tidak jauh darinya, berdiri sebuah toko tembikar. Langkah Lea menuju ke sana.
Ketika jarak yang ada hanya beberapa langkah dari toko tersebut, tungkai Lea perlahan mulai melambat. Pun saat ia sudah sampai, wanita itu hanya membeku di depan.
Berbagai jenis tembikar seperti vas, piring, kendi, guci dan barang lainnya tersusun rapi dari dalam hingga emperan toko. Namun, Lea sama sekali tidak melihat ke arah mereka. Tatapan wanita itu mengarah ke sudut ruangan, seorang pria ada di sana tampak samar-samar terlihat dari celah-celah perabotan. Hanya ketika seseorang menyadari keberadaannya, Lea gelabakan memperbaiki rambutnya yang sudah jelas tertata rapi.
"Nona Lea, kau sudah datang." Pria yang sedari tadi sibuk dengan alat pemutar dan tanah liat segera membersihkan tangannya dan mengambil sebuah perabot yang sudah disiapkan. Melihat respons pria itu sepertinya Lea bukanlah orang asing yang baru pertama kali datang. Berbeda sekali dengan Lea yang menunggu dengan gugup, wajah dan ujung telinganya bahkan sudah memerah.
"I-iya Tuan Aldwin." Entah sudah berapa kali Lea meremas saputangan yang dipegang.
Aldwin datang menyerahkan sebuah kotak yang dibungkus rapih. "Vas bunga ini sudah jadi sejak kamarin, kuharap kau menyukainya."
Menerimanya, Lea menggeleng cepat dan tersenyum. "Aku selalu menyukai hasil tangan Anda."
Aldwin tersenyum lalu tertawa kecil. Ucapan ini selalu ia dengar tiap kali Lea datang untuk mengambil pesanan. Ketika melihat wanita itu ingin menyerahkan sesuatu, ia melambaikan tangan tanda penolakan.
"Nona, kau sudah membayar di awal. Jadi tidak perlu lagi."
Lea seketika membeku, ia meremas saputangan itu, lagi. Mengumpul sejumlah keberanian, ia sedikit menunduk dan berkata, "Anda bekerja keras tiap hari untuk menghasilkan semua ini ..." Keyakinan Lea sudah sangat kuat, tetapi ia kehilangan kata-katanya.
Pemimpin ras amagine itu mencoba mencari maksud dari perkataan itu, karena tidak ingin berpikir jauh ia akhirnya menjawab seadanya, "Semua orang harus menghasilkan uang untuk bertahan hidup. Satu karung gandum perlahan akan seharga satu koin emas. Ini adalah pekerjaanku. Jadi aku harus menekuninya."
Lea mengangguk kikuk, tidak menduga Aldwin akan menjelaskan dengan serius. Ia hanya ingin memberikan saputangan buatannya, tetapi mulutnya begitu sulit untuk diajak kompromi.
"Tentu, semua orang harus bekerja." Lea mengulang ucapan Aldwin. Setelah jeda sesaat, ia menutup mata hendak mengutarakan maksudnya. Namun, keberanian yang sudah ia bangun luluh lantah saat mendengar suara seseorang dari arah belakang.
"Kau sudah membungkus pesanan Lea?"
Itu Liora, istri Aldwin.
Suara Liora langsung berhenti saat melihat, dengan siapa suaminya mengobrol. "Oh Lea, kau sudah mengambil pesananmu."
Senyum Liora itu sangat ramah, tapi entah kenapa hati Lea seakan teriris tiap kali memandang wanita ini. Lebih dari itu, Lea sadar, senyuman Liora tidak setulus kelihatannya. Siapa yang akan tahan jika ada wanita lain menginginkan sumamimu? Walaupun begitu, akan lebih baik jika Liora mencacinya daripada bersikap munafik seperti ini.
Dengan senyum yang dipaksakan, Lea segera mengangguk. Tangan yang memegang saputangan segera ia sembunyikan. Tanpa melihat lagi Lea segera berpamitan, ia bahkan lupa untuk mengucapkan ungkapan terima kasih seperti biasanya.
Abaikan raut Aldwin yang masih bertanya-tanya ataupun Liora yang entah bereaksi seperti apa. Lea harus segera pergi dari sana, sesuatu di dadanya berdenyut tidak baik.
"Dia mencoba marayumu lagi?"
"Apa yang kau katakan? Dia hanya mengambil pesanan."
"Wanita ****** itu!"
Lea masih bisa mendengarnya. Ia mengeratkan pegangannya. "Kenapa sakit sekali?" lirihnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Thyta
✨
2023-04-12
0
Ayano
Peraturan pertama, jangan suka mengintrogasi orang pas jam makan 🤣🤣
2023-04-02
0
Ayano
Perut nomor satu. Yang laen kesekian
2023-04-02
0