...•••••...
Hanya ketika memasuki mansion istana, Camelia merasa sangat lelah. Ia memiliki beban tersendiri melihat area luas yang dipijaknya. Seolah seluruh tenaga hilang entah ke mana, Camelia menyerah saat melihat tangga dan memilih beristirahat di sofa terdekat. Ia terlihat sungguh-sungguh saat berkata, "Aku akan membuat rumah kecil saja di masa depan." Angan-angan yang baru melayang itu buyar seketika saat ia menyentuh perutnya.
"Aku lapar sekali," keluhnya. Dengan keinginan makan yang melilit ini Camelia merasa ia seperti belum makan seharian. Pikirannya itu membeku saat ia menelaah apa yang terjadi kemarin.
Ia memang belum makan apa pun kemarin.
"Benar, pagi itu perutku berbunyi sangat nyaring sampai aku mengira aku tidak akan sanggup untuk pulang dari Hutan Forst..."
Ini jelas aneh. Camelia tidak dapat mengurutkan apa yang terjadi kemarin, tetapi yang ia ingat ia tidak mengeluh karena lapar. Terakhir ia mengutuk rasa laparnya adalah sesaat sebelum ia bertemu kucing besar itu.
Karena guncangan di perutnya Camelia tidak dapat lagi memacu pikirannya. Ia hendak bangkit untuk mencari makanan, tetapi langsung mengeluh saat tulang-tulangnya seperti akan patah. Ia pasrah dan hanya bersandar di sofa. "Ah aku harus mengobati kalian dulu."
Tepat saat itu seorang pekerja muncul di depan. Dia seorang pelayan wanita. Pelayan itu baru akan berbicara, tetapi langsung dipotong oleh Camelia.
"Kau...." Camelia memikirkan sebuah obat tetapi omongan yang keluar malah berbeda dari isi kepalanya. "Tolong beri aku kertas."
Melihat pelayan wanita itu kebingungan, Camelia mengoreksi. "Aku ingin menulis surat."
Saat pelayan itu hendak menunaikan tugasnya, Camelia malah menyuruhnya berhenti. "Beri aku kertas dengan identitas ratu. Aku ingin kertas itu."
Mendengar ini pelayan wanita itu terlihat enggan. Namun, mengingat identitas wanita di depannya mau tidak mau ia hanya menunduk dan segera kembali dengan permintaan yang ada.
Camelia dengan cepat mendapatkan apa yang ia mau. Ia sedang memikirkan apa yang akan ia tulis, tetapi melihat pelayan itu belum pergi, Camelia menunda niatnya dan bertanya, "Apa yang kau tunggu? Aku bisa melipat suratku sendiri."
"Baik Nona, saya akan menunggu sampai Nona menyelesaikan tulisannya."
Camelia akhirnya ingat jika pelayan ini memang sengaja menemuinya untuk menyampaikan pesan. Jadi tanpa ragu ia berkata, "Katakan cepat, keberadaanmu membuat ide di kepalaku menguap."
Pelayan itu mengangguk, tampak hati-hati saat ia menjawab, "Ratu meminta Anda untuk menemuinya."
Ada jeda hening sesaat, ekspresi Camelia sedikit berubah sebelum akhirnya ia berkata, "Baiklah, aku akan menemuinya nanti. Kau boleh pergi."
...••••••...
Camelia melipat suratnya. Ia sudah belajar melipat surat sejak dulu jadi dengan bangga mengatakan akan melipat suratnya sendiri. Namun, setelah melihat hasilnya sekarang ia agak sedikit menyesal.
"Kenapa murai ini terlihat seperti burung pipit? Bagaimana cara membuat ekornya panjang?" Karena didorong rasa sakit juga lapar, Camelia tidak ingin mengindahkan lebih jauh. Orang-orang Pyrgos seharusnya tidak mempermasalahkan bentuk selama melihat bahan dasar suratnya. Lagi pula ada simbol kerajaan di ujung bawah. Jadi ia tidak perlu khawatir cukup memikirkan apa yang akan ia tulis agar lebih terlihat meyakinkan.
Camelia tidak membutuhkan hanya sekedar pil obat sekarang, ia harus mendapatkan eliksir agar lukanya bisa langsung sembuh tanpa menunggu jeda waktu. Eliksir; ramuan obat ajaib, itu hanya ada di kediaman Ratu Serafina. Entah lelah atau terlalu malas, Camelia tidak ingin berurusan dengan pemimpin Zoeearth itu sekarang.
Jadi mau tidak mau ia harus mengandalkan dirinya sendiri untuk mendapat eliksir langsung dari Pyrgos. Ia bisa saja pergi ke sana, tetapi memikirkan perdebatan dengan Cartos hanya membuat ia semakin lapar. Mata pria berkepala plontos itu akan melotot sambil berkata, "Pembuatan eliksir tidak mudah! Hanya luka goresan itu dan kau dengan percaya diri meminta eliksir?" Oh astaga lupakanlah! Cara ini memang yang terbaik!
Tanpa menunggu lagi Camelia mulai bergumam di depan replika pipit a.k.a murai itu. Ia tidak perlu memeriksa isi suratnya karena ucapan yang ia katakan akan secara otomatis tertulis di sana. "Fasilitas penyihir memang mengangumkan."
Setelah melempar pujian ia membiarkan burung kertasnya terbang ke udara.
...••••••...
Dapur menara alkemis tampak sepi. Di ruangan ini hanya ada beberapa tungku dengan bara menyala. Tidak ada furnitur lain seperti rak berisi stoples transparan atau tabung reaksi. Ruangan khusus pembakaran ini memang berbeda dari ruangan lainnya. Di sini tampak legam dengan dekorasi dinding yang sangat polos.
Dua wanita mengenakan jubah putih lengkap dengan penutup mulut secara bergantian memeriksa tungku. Bukan pekerjaan berat karena mereka hanya perlu memastikan nyala api tetap stabil. Kendati demikian, hawa panas cukup menganggu di cuaca akhir musim semi apa lagi pada ruang tertutup seperti ini.
Seorang wanita dengan rambut rose gold yang dikepang dua baru saja masuk langsung memecah kesunyian karena tidak dapat menahan teriakan saat melihat sesuatu berwarna putih terbang di udara. Ia semakin tak terbendung saat sesuatu itu terbang ke arahnya. Ia berteriak, "Mu-murai! Surat kerajaan—" Andai Camelia mendengarnya, ia akan senang bentuk suratnya diakui.
Gadis dengan tubuh lebih kecil ini tampaknya bukan seorang profesional. Tanganya sudah gemetar sejak tadi hanya dengan menahan surat di tangannya.
Dua wanita lain dengan cepat menoleh.
"Ada apa Fiola?" Aletta bertanya bingung.
Wanita berambut-gelombang-hitam bernama Mauren hanya menunggu dalam diam; kebingungan melihat gadis kecil di depan yang tampak akan menangis. Setelah melihat lagi, ia memaklumi dan dengan santai berkata, "Oh surat kerjaan."
Melihat Mauren kembali membelakangi, Fiola menggigit bibir bawahnya.
"T-tapi... Aletta, kau saja."
Aletta menoleh dengan malas. Setelah beberapa saat melihat, ia berbicara di dalam pikirannya.
Entah apa yang diinginkan pengirimnya, alih-alih ditujukan pada Tuan Cartos atau Tuan August malah diberikan kepada para pekerja.
Hanya ketika kembali pada posisi awal, Aletta baru menanggapi, "buka saja, itu memang ditujukan untukmu."
Fiola masih enggan.
Melihat gadis itu terdiam, Mauren kembali menimpali. "Kau saja. Kau ingin Aletta merobek kertasnya sebelum kau bisa melihat isinya? Jangan berikan pada dia."
Aletta hanya mengangkat bahu dengan malas. "Ya ya ya. Kertas itu terlalu tipis untuk berurusan dengan tangan ajaibku." Setelah jeda sesaat ia melanjutkan, "bacakan saja, kami akan mendengar untukmu."
Dengan segenap keberanian, Fiola akhirnya membukanya.
"Tidak ada nama pengirimnya."
Baik Mauren maupun Aletta, keduanya mengerutkan alis. Aletta pun bangkit. Rasa penasaran dan rasa kesal menguasainya.
Siapa yang terlalu bodoh mengirim surat tanpa nama? Setelah membatin ia akhirnya mengambil alih kertas itu. Sesuatu menggelitik perutnya bahkan sebelum membaca seluruh isinya. Walaupun para pengirim menulis surat dengan disebutkan, untungnya setiap kertas dapat meniru dan mendeteksi tulisan tangan lewat suara. Sehingga Aletta begitu yakin dengan tulisan yang sangat familier ini.
Alis Aletta terangkat sebelah saat membaca kata demi kata.
...Seseorang sedang sekarat di istana. Sangat sekarat. Ratu memerintah agar kalian membawakan eliksir terbaik yang ada di Pyrgos. Dia akan mati dalam setengah jam, jadi cepatlah.Jika kalian ragu, bayangkan saja seseorang dengan leher tergorok dan tulang-tulang rusuk patah. Kira-kira begitulah keadaannya. Datang saja pada mansion dekat pintu masuk di kamar pertama. Cepat! Kalian harus cepat....
Raut tidak yakin memenuhi wajah Aletta, ia langsung ingin mencibir saat membaca kalimat terakhir.
...Oh jangan lupa bawakan beberapa buah jika kalian punya....
Fiola yang tidak tahan melihat ekspresi Aletta lantas bertanya, "Ada apa? Apa ada sesuatu yang penting?"
"Ya sangat penting," balas Aletta. Ia menarik lengan Fiola dan melanjutkan, "ayo. Aku akan menemanimu menunaikan keinginan surat ini."
...••••••...
Terdistraksi oleh kelegaan setelah mengirim surat, Camelia ingin merebahkan diri di kasur yang empuk. Jadi ia memasuki kamar yang tidak jauh dari tempat ia duduk. Kasur king-size yang membentang di tengah ruangan bagaikan pemikat maut yang tidak mampu ia tolak. Dengan sedikit tertatih-tatih ia melangkah dan mendaratkan tubuhnya di sana.
Euforia kenyamanan menyelimuti mendorong ia menutup mata. Hanya ketika napasnya mulai teratur, indra pendengarnya dengan fokus mendeteksi keadaan sekitar. Saat itu juga ia merasakan adanya kejanggalan dan dengan cepat membuka mata. Camelia tidak mungkin salah dengar. Ia yakin itu suara embusan napas. Namun, ini jelas bukan miliknya.
Ada orang lain di sini.
Dengan gerakan pelan, tangan Camelia berjalan mendekati tasnya. Dikuasai rasa waspada, Camelia hanya mengambil secara acak benda yang dirasa cukup padat. Setelah bangkit dan berbalik dengan cepat, mata Camelia membelalak saat melihat ada pria di belakangnya. Sayang sekali pria itu dapat mendeteksi gerakan perlawanan yang diberikan dan dengan mudah menangkap tangannya.
Sebelum Camelia bertanya tentang siapa orang di depannya, ia lebih dulu mengutuk tasnya karena hanya dapat mengeluarkan sebuah terong. Walaupun itu panjang, tapi oh astaga! Apa yang bisa dipotong sebuah terong?!
Menelan rasa malunya dalam-dalam, Camelia berusaha melawan dan dengan tegas bertanya, "Siapa kau?!"
Camelia bahkan belum memberi perlawanan berarti, tetapi satu tangan lainnya sudah ikut tertangkap. Posisi keduanya yang berhadapan membuat wajah pelaku terekspos jelas. Tekanan di pergelangan tangannya begitu kuat, ia sudah melepaskan terong sialan itu sejak tadi.
"Aku tanya siapa kau?!" pekik Camelia lagi.
Iya yakin sudah mengerahkan seluruh tenaga untuk memberontak. Namun, tangannya hanya bergerak sedikit. Situasi ini membuat Camelia merasa kalah. Camelia sedang tidak menjunjung harga dirinya sebagai wanita. Ia tidak terlalu peduli tentang itu.
Dipikirannya adalah apakah ia sangat lemah atau pria di depannya yang terlalu kuat? Pihak lain bahkan hanya santai dan tersenyum, tetapi Camelia sudah dibuat tidak berkutik.
Tentu saja ia langsung melupakan jika tenaganya sudah habis di pertarungan sebelumnya. Untungnya pria tidak tau diri itu masih mempertimbangkan untuk tidak menggenggam pada bagian yang terluka.
Pria itu terkekeh sebelum akhirnya berkata dalam suara tenang. "Sudah kuduga kau tidak takut sama sekali."
Camelia memberontak sekali lagi, tetapi pegangan di kedua lengannya hanya semakin erat. "Pengecut!" cecarnya.
Sejujurnya Camelia ingin meneriaki pria itu sebagai pencuri. Namun, penampilan sosok di hadapannya ini sama sekali tidak cocok. Jubah sutra yang mewah ... wajah tampan itu — oh astaga, seandainya ia tidak lebih dulu kesal, Camelia dengan senang hati akan memuji mahakarya wajah di depannya. Namun, lupakan!
Apa gunanya tampan, kalau tidak punya tatakrama! Camelia membatin kesal. Beraninya dia memasuki kamarku!
"Oh manisnya."
Apa kau gila?
Camelia kehilangan kesabaran.
"Aku sedang marah! Kau tidak lihat? Aku sangat marah! Lepaskan!"
"Boleh aku tau namamu?"
Sialan.
Tidak, pria ini memang tidak waras. Siapa yang akan menanyakan nama disituasi seperti ini?!
"Apa kau tidak punya rasa malu? Kau tidak tau cara berkenalan dengan wanita? Kau mau mati?" Camelia menjadi semakin geram.
Seolah baru mendapat pujian, bukannya marah pria itu malah melebarkan senyum. "Sejujurnya aku tidak tau bagaimana caranya. Mn ... kalau begitu boleh aku menebak? Apa kau Camelia?"
Pelototan Camelia melebar. "Penguntit!"
"Ah bagaimana ini? Aku ingin memperkenalkan diri tapi aku bahkan sudah punya dua julukan."
Turun dari pengecut sebagai penguntit, Tirian tidak berpikir akan mengalami situasi ini sebelumnya. Ia hidup di atas kemewahan dan semua orang di sekitarnya tunduk padanya. Namun, dua perasaan yang mengusik hatinya membuat ia tidak dapat merasakan penghinaan dalam dua kata itu. Sebaliknya ia hanya menunjukkan minatnya.
"Bisa kau rendahkan sedikit suaramu? Kita bisa bicara baik-baik, telingaku sakit." Intonasi itu masih setenang sebelumnya.
Camelia menyeringai. "Bisa kau lepaskan peganganmu? Tanganku sakit!"
Tirian terkekeh. "Aku tidak berniat menyakitmu. Kau sepertinya tidak akan patuh jika kuperintahkan tetap diam. Aku khawatir akan bertidak keras jika kau terus melawan."
Bertindak keras? Kau pikir aku lemah?!
Merasa diremehkan, dada Camelia meradang. Namun ia berusaha menetralkan ekspresinya. "Baiklah, lepaskan aku."
Tirian menatapnya ragu, tapi akhirnya melonggarkam cengkramannya. Ia membiarkan saat Camelia menarik paksa tangannya, tetapi pria itu tidak menurunkan pengawasan.
"Aku tidak merasa menakutimu jadi kau tidak perlu kabur, seperti yang kau bilang, kita perlu bicara dan aku akan menjelas—"
Omongan Tirian terpotong saat Camelia yang baru saja berdiri dari kasur tiba-tiba berbalik dan menghunuskan pedang. Tirian sama sekali tidak lengah, ia dengan cepat berdiri ke samping Camelia dan memblokirnya dari belakang. Tanpa jeda pria itu meraih pergelangan tangan pihak lain, membuat tangan Camelia kehilangan kekuatan hingga pedang yang digenggamnya jatuh ke tanah.
Camelia berusaha melawan, ia mungkin ahli mengayunkan pedang, tetapi konfrontasi dari jarak yang hampir tidak ada ini merupakan kelemahan. Terlebih fisiknya secara alamiah akan kalah dengan lawan jenis. Ia cukup sadar, pria di depannya ini bukan Aron, yang mau mengalah saat ditampar karena berusaha merebut buahnya belasan tahun lalu. Karenanya bagaimanapun Camelia memberontak, gerakannya itu hanya berakhir dengan keduanya jatuh ke kasur dengan posisi Camelia dikunci dari atas.
Berada di bawah tubuh seorang pria asing, andai kedua tangannya tidak dikunci, Camelia sangat ingin mematahkan hidung pria tidak tahu malu saat ini juga!
"Kau—"
Belum sempat protes di tenggorokan Camelia keluar, sebuah suara tiba-tiba datang dari arah kanan.
"Camelia! apa yang kalian lakukan?!"
Keduanya menoleh hanya untuk melihat Aletta dan Fiola berdiri di ambang pintu.
Ditatap dengan pandangan 'sejak kapan kau punya kekasih?' Camelia dengan cepat bereaksi, "Ini tidak seperti yang kalian kira."
Namun, sebelum Camelia sempat menjelaskan lebih jauh, tangan Aletta terangkat untuk menutup mata Fiola dan berkata dengan intonasi rendah, "Ayo pergi, tidak sopan untuk menatap...."
Sangat sekarat? Mati dalam setengah jam? Aletta mengutuk dalam hati. Apa dia ingin benar-benar mati?!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Ayano
Calon yang ketiga udah nyaris didapatkan. Gelar kehormatan "mendiang" kalo gak nyelametin diri. Serius ini
2023-04-03
0
Ayano
Seandainya itu jodoh, pas cerita ma anak cucu dia mesti cerita "dulu papa nyaris dibunuh mama" 🤣🤣
2023-04-03
0
Ayano
Jangan kejam-kejam
2023-04-03
0