Ratu Serafina tertegun sesaat. Ia berpikir ini mungkin ada kaitannya dengan tuduhan yang mereka berikan kepada Klan Agrios tentang kasus penculikan yang belum terkuak. Namun Ratu Serafina tidak ingin membahasnya, hanya mengirim pertanyaan singkat. "Lalu?"
Tirian sedikit menekuk sudut bibirnya. "Karena ini pesta yang besar, aku ingin mengganti tempatnya ... bukan di Bree lagi."
Ratu Serafina menatapnya lebih serius kali ini. Sebelum ia bisa menebak, Tirian lebih dulu menyela.
"Aku ingin pesta ini diadakan di Padang Savier."
Dari semua tempat yang ada di Zoeearth, Tirian menyebutkan Padang Savier yang tidak berpenghuni? Ratu Serafina tidak bisa tidak menanyakan alasannya. "Bukannya itu terlalu luas?"
Tirian menggeleng. "Dan cukup strategis."
Wanita di depannya memiringkan kepalanya masih menunggu penjelasan.
"Aku sudah mengatakannya." Ekspresi pria itu tampak sedikit kesal. "Festival sebelumnya bukannya tidak meriah, tapi kehadiran rakyat Troas sangat minim. Setelah pindah ke Padang Savier aku harap penduduk Troas tidak akan mengeluh lagi tentang jarak dan bisa hadir sepenuhnya."
Mendengar ini Ratu Serafina tidak dapat menahan senyuman. "Kau memperhatikannya begitu detail. Apa kau bahkan menghitung berapa orang yang hadir?"
"Ah benar juga."
Ratu Serafina tidak berharap mengatakan sesuatu yang besar, tetapi melihat Tirian berlagak berpikir, iya mengangkat sebelah alisnya.
Tirian melanjutkan, "... Itu ide yang bagus. Aku akan menyediakan buku daftar tamu."
Ratu Serafina menunduk sebelum kembali mengangkat kepalanya lalu tertawa kecil. "Setidaknya kehadiranmu kali ini cukup berguna. Kau tidak hanya mengantar undangan tetapi juga mendapatkan masukan tentang bagaimana acaramu berjalan."
"Tentu," balas Tirian. "Tapi masih ada hal yang lebih penting," lanjutnya.
Ratu Serafina menatap penuh tanya. "Hal penting?"
Tirian tidak mengangguk ataupun menggeleng. Membuang pandangannya pada kumpulan orang-orang yang berlatih, ia berkata, "Kenan sudah memberi tahuku tentang beberapa warga Troas yang hilang. Katanya Anda akan kembali membentuk garnisun ... berapa yang harus aku butuhkan untuk menjamin keselamatan penduduk selama acara berlangsung?"
Di antara belasan pria yang berlatih, Tirian tidak tahu sejak kapan ada seorang wanita berdiri di antara mereka. Ia enggan mengalihkan pandangannya dari sana, tapi mendengar tidak adanya balasan ia menoleh ke samping. Melihat kerutan di dahi Ratu Serafina, ia kembali bersuara. "Apa aku salah?"
Ratu Serafina menetralkan ekspresinya sebelum menjawab. "Itu tidak salah, aku hanya tidak berpikir kalau kau akan melibatkan kerajaan untuk keamanan di sana." Khawatir pihak lain akan salah paham, wanita itu dengan cepat melanjutkan, "aku rasa penjagaan dari Klan Agrios lebih dari cukup, tapi karena kau telah menyebutkan garnisun, aku bertanya-tanya apa kau memiliki sebuah rencana tentang ini?"
"Padang Savier adalah tanah kosong yang luas. Aku akan mengumpulkan banyak orang di sana. Dengan adanya kasus penculikan yang belum terkuak, tidak ada yang menjamin pelaku tidak beraksi. Aku jelas memiliki orang-orang tangkas tapi kami tidak terlatih. Jadi dari pada mengungkap kecerobohan lebih baik mengandalkan Ratu saja. Pelaku mungkin akan berbaur bersama para penduduk, untuk mengetahui siapa mereka kita membutuhkan mata-mata yang ahli dan pandai menilai."
Ratu Serafina mengangguk setuju. Ia berkata, "Aku mengerti. Berapa yang kau butuhkan? Apa kau memiliki kualifikasi siapa yang akan kau pilih? Aku akan meminta Ramos merekomendasikan beberapa."
Tirian yang terus menoleh ke bawah sejak tadi menggeleng dan berkata, "Terserah Anda saja. Pilihkan yang terbaik yang kalian punya." Seolah menahan sesuatu sejak tadi, ia dengan cepat mengubah topik. Pandangannya masih tertuju pada wanita yang sejak tadi menghunus pedangnya.
"Siapa wanita itu?" tanyanya penuh minat.
Ratu Serafina langsung menoleh dan menemukan sosok familier di antara belasan pria. Karena Tirian menyebutkan seorang wanita, maka tidak ada orang lain selain anak itu. Ada kelegaan di matanya saat ia menjawab, "Dia Camelia ... keponakanku."
Lengkung di bibir Tirian semakin melebar. "Aku tidak tahu Anda punya seorang keponakan, sepertinya dia cukup ahli."
Ratu Serafina mengangguk. "Beberapa tahun di belakang ia menghabiskan waktunya dengan berlatih bersama mereka sehingga ia jarang berada di sisiku. Kebetulan dia salah satu yang terbaik."
Ada kesenangan di mata Tirian mendengar pernyataan itu. Ia bukan tipe yang akan menarik kata-katanya, tetapi ia tidak lagi berpir saat ia berkata, "Tentang garnisun yang kita bicarakan sebelumnya ... sepertinya aku akan menunjuk sendiri siapa yang akan aku pilih."
...🪄🪄🪄...
Ramos sedang bertarung dengan seorang junior, gerakannya mendominasi dan sang lawan terpukul mundur. Lengan junior itu kehilangan keseimbangan menjatuhkan pedangnya yang disusul bunyi prang mengisi seluruh area latihan. Gerakan Ramos tidak mengendur. Dalam sekali hentakkan pedangnya langsung akan menebas pihak lain, tetapi bilah tajam itu tiba-tiba bergetar saat menerima tekanan dari pedang lain yang menghalau serangannya. Itu terlalu tidak terduga. Ramos dengan cepat mendongak dan menemukan wanita dengan rambut burnette sedang menyunggingkan senyum.
Ramos menekan pedang ke depan. Tatapannya lurus penuh perlawanan. Ia berkata, "Tidak baik menyela sesi latihan orang lain." Intonasinya tenang, tetapi kilat di matanya terlihat enggan menyudahi. Ia melompat di atas junior yang melangkah mundur, kecepatannya bertambah saat menargetkan tubuh bawah Camelia.
Camelia dengan baik menangkis serangannya. Adu pedang itu sengit. Walaupun Camelia dipaksa mundur, tidak sedikit pun pedang Ramos menyentuh kulitnya. Mereka mempertahankan posisi itu hingga suara pedang beradu memiliki ritme yang konstan.
Ketika semua penonton menahan napas dan menatap malang pada Camelia, gadis itu memberi kejutan saat meringsut ke lantai dengan kedua kakinya. Tendangannya lurus dan tidak ragu-ragu. Ramos memutar di udara tapi pakaiannya yang melambai tidak luput dari sayatan. Tidak ada noda darah di bilah Camelia, tetapi ia dengan puas tersenyum.
"Latihan?" Camelia mengingat ucapan Ramos sebelumnya. " ... sejak kapan sesi latihan berubah menjadi penindasan?"
Hanya ada jeda sesaat untuk Camelia mengucapkan kalimat itu. Ramos entah kenapa merasa mendidih dan dengan cepat kembali menyerang. "Kau terlalu sok tahu!"
Ramos berlatih dua tahun lebih cepat. Ia unggul dari segi ketangkasan melampaui teman-teman lainnya. Namun, seorang gadis tiba-tiba berbaur di antara mereka. Ramos awalnya meremehkan karena statusnya sebagai keluarga kerajaan. Ia berpikir Camelia hanyalah anak naif yang ingin diikuti keinginannya, ketika lututnya nanti tergores saat latihan ia akan merengek dan kembali karena menyesal pada keputusannya. Namun, siapa yang akan mengira gadis itu kini berkembang pesat bahkan menjadi rival terkuat saat ini!
Seperti biasa, tidak ada esensi sihir di antara mereka karena keduanya sama-sama seorang amagine. Semua orang tahu kehebatan Ramos, bagaimana lagi ia dapat ditunjuk sebagai panglima yang memimpin semua kesatria. Namun, rumor tentang kehebatan wanita yang menjadi lawannya ini juga sudah menyebar di indra orang-orang. Beberapa junior memang tidak mudah percaya, tapi mereka akhirnya memandang takjub saat melihatnya sendiri. Camelia memang beberapa kali terdesak, tapi dalam serangan ini ia bertahan dengan baik. Ia bahkan sudah melewatkan banyak kesempatan saat ujung pedangnya hanya beberapa senti dari tubuh Ramos. Camelia mungkin akan menodai pedangnya dengan cairan merah andai ia menganggap serius pertarungan ini.
Kasak kusuk bisikan terdengar saat Ramos mendarat dengan setengah berlutut dan ujung pedang menopang tubuhnya. Ia memang meninggalkan jejak tendangan yang membuat Camelia juga mendarat dengan cara yang sama, tetapi ia tidak puas karena belum membuat lawannya terkapar.
"Bibiku tidak salah memilihmu sebagai panglima. Kau cukup hebat, tapi kau harus mengoreksi caramu." Camelia bangkit sembari memutar pergelangan tangannya yang terasa tidak nyaman. Ia hendak menyarungkan pedangnya, tetapi sekali lagi ayunan pedang Ramos menghalaunya di depan. Mau tidak mau Camelia mengambil gerakan kip-up; beralih dari posisi terlentang, lebih jarang, posisi tengkurap hingga ke posisi berdiri untuk menghindar. Ramos sepertinya tidak main-main. Camelia bahkan belum menyesuaikan tumpuannya saat pedang Ramos sudah kembali menyapa.
Denting pedang kembali berbunyi, kali ini posisi Camelia menahan dari bawah. Momentum itu terlalu cepat, Camelia yang hanya mengandalkan satu tangan mau tidak mau menahan ujung pedang dengan tangan lainnya yang bebas. Tepi jemari tangannya telah basah oleh darah, tetapi lawannya tidak terlihat iba bahkan dengan terang-terangan menyeringai.
Ramos mendengar suara-suara ringisan di sekitar, lengkungan di wajahnya hanya semakin ditarik. Suaranya sengaja ditinggikan saat ia berkata, "Lama tidak berlatih bersama, aku hanya penasaran sejauh mana dia berkembang. Tidak kusangka dia jauh lebih tangguh."
Keparat!
Tekanan itu semakin besar menghimpitnya. Camelia harusnya menyuarakan kekalahan agar konfrontasi itu berakhir, tetapi wanita ini sepertinya lebih baik merobek kulitnya daripada melukai harga dirinya.
"Tentu, aku selalu lebih baik darimu," balas Camelia tanpa gentar.
Dengan itu ia menedang kakinya ke depan membuat konsentrasi Ramos goyah. Camelia mengisi kesempatan dengan mengambil jarak, tetapi Ramos dengan cepat mengikisnya. Mengabaikan darah yang menetes, Camelia memberi yang terbaik untuk pertahanan terakhir. Kedua pedang itu sekali lagi bertemu, masing-masing memberi tekanan lebih kuat. Para junior menyaksikan dengan tegang ketika cahaya biru tiba-tiba bersinar di antara keduanya. Bunyi pedang yang seharusnya berdenting tergantikan oleh suara seseorang.
"Panglima, Anda sudah berlebihan."
Aron melambaikan tangan hingga Camelia dan Ramos memiliki jarak yang pantas. Cahaya biru menghilang bersamaan dengan yang muncul di tangannya. Alis pria itu sedikit mengerut, tetapi tidak ada ekspresi berlebihan di sana. "Jika panglima ingin berlatih lebih jauh carilah lawan yang setara," Aron melanjutkan setelah beberapa saat.
Mengabaikan napas yang masih memburu, Ramos menyarungkan pedangnya.
"Kami sudah selesai," tegasnya. Ia berbalik untuk membubarkan semua junior yang ada sebelum melangkah pergi dari sana.
Dengan suasana hati yang jauh berbeda, Camelia menyembunyikan sebelah tangannya dan memasang senyum paling ramah. Ia bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa ketika menyambut kedatangan seseorang.
"Aku kembali Aron. Dari mana saja kau? Kenapa tidak ikut melatih para junior?"
Alih-alih jawaban, Camelia mendapat ketukan pelan di dahinya. "Kau senang sekali mencari bahaya. Kau pulang untuk ini?"
Tanpa kata Aron meraih lengan Camelia. Wanita itu hampir menarik tangannya kembali, tetapi melihat Aron mengeluarkan kain tipis, ia mengurungkan niatnya.
"Sejak kapan dia menjadi sangat emosional? Aku hanya menggodanya tapi dia malah menyerangku dengan brutal." ia tiba-tiba meringis, "aw, pelankan sedikit."
Aron tinggal melilit ikatan terakhir pada lukanya, tanpa mendongak ia berkata, "Kau yakin kau tidak menganggu sesi latihan?"
Camelia tidak menganggap tindakannya menganggu jadi dengan yakin ia menggeleng. "Menurutmu aku orang seperti itu? Aku orang yang lurus. Bagaimana bisa aku bermain-main dalam latihan?" Camelia mendengus. "Sepertinya pria itu terlalu memiliki banyak beban. Lain waktu kau harus menemaninya saat melatih junior. Dia benar-benar bisa menindas mereka."
Aron tidak menjawab. Camelia menatap wajah pria yang hanya fokus pada tangannya. Ia teringat surat lantas bertanya. "Apa ada hal mendesak? Kenapa aku diminta pulang?"
Aron masih diam. Ia telah selesai dengan luka sayatan itu. Tidak terlalu dalam tapi cukup membuat cairan merah terus keluar andai tidak disumbat jalannya. Aron tidak berniat menjawab pertanyaan Camelia karena sebenarnya ia tidak tahu pasti apa yang terjadi. Pandangannya lalu melihat ke punggung lengan Camelia, ada sedikit bercak biru keunguan di sana. Mengabaikan tatapan wanita itu, ia membawa tangannya ke sana untuk memeriksa sesuatu.
"Aw!" Camelia meringis saat Aron menekan pegangan pada lengannya. "Itu agak sakit Aron, kau bercanda?!"
Camelia berpikir teman prianya ini sedang menggodanya, tetapi saat menatap Aron lagi, tidak ada jejak canda di wajahnya.
"Beberapa bagian tubuhmu mungkin memar, masuk dan obati itu."
Protes Camelia tertahan di tenggorokan.
Ia ingin berlagak terharu tapi mulutnya malah nyaris terbahak. Dengan menahan tawa ia berkata, "Uh bagaimana ini? luka-lukaku langsung sembuh saat kau menyentuhnya."
Dengan alis mengerut, Aron menatap tidak percaya. "Benarkah? Aku tidak melakukan apa-apa." Siapa sangka Aron benar-benar percaya dan menekan tangan Camelia lagi.
"A-aw."
"Itu tidak benar-benar sembuh."
"Sudahlah." Camelia kehilangan kesenangannya. Ia menarik tangannya hendak melangkah pergi. "... aku akan masuk mengobati lukaku." Dengan tatapan tulus tangannya bergerak untuk menepuk-nepuk pundak pria di depannya. "Semoga pasanganmu nanti memiliki selera humor yang sama denganmu."
Sesaat Aron tenggelam dalam pikirannya. Melihat punggung Camelia yang menjauh ia bergumam, "Bagian mana dari pembahasan kami yang membahas selera humor?"
Wanita tidak bertanggung jawab itu tidak lagi menoleh ke belakang. Hanya ketika jaraknya agak jauh ia memegang lengan dan memeluk dirinya sendiri, wajahnya memelas merasakan sakit di beberapa titik.
Saat kepalanya terangkat untuk memikirkan sudah berapa lama ia tidak bertarung dengan orang lain, pandangannya tidak sengaja terkunci pada salah satu balkon di kejauhan. Jarak yang ada membatasi penglihatannya, sehingga ia tidak mendeteksi siapa yang berada di sana. Camelia bahkan tidak menyadari jika seseorang sedang tersenyum kepadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Ayano
Camelia mesti belajar ngelawak biar dunianya makin berwarna. Dia minim emosi tapi kalo ngomong kadang mak jleb
2023-04-03
0
Ayano
Wakakakaka. ngakak bacanya 🤣🤣🤣. Penindasan secara sepihak
2023-04-03
0
Ayano
Itulah keuntungan orang kuat 🤣🤣
2023-04-03
0