Camelia menoleh kembali pada tanah penuh sebaran cermin. Tatapannya melembut kali ini. Ia sedang menimbang akan membawa benda itu atau tidak. Camelia tiba-tiba berpikir, pantas saja temannya itu tidak kunjung kaya, apa semua uangnya ia dedikasikan untuk cermin-cermin ini? Kualitas kayu yang membingkai benda pipih itu bahkan tidak biasa! Rasanya tidak sudi melukai tangannya dengan bobot cermin paling besar. Namun, di sisi lain, amarah Aletta tidak akan mampu ia tanggung.
"Merepotkan sekali."
Di momen itu, Camelia mendengar ada suara gemerisik dari arah samping. Saat menoleh, ekor matanya menangkap adanya ranting dan semak yang bergerak. Itu langsung merenggut semua fokus. Sebelah alisnya terangkat, ia merasakan ada kejanggalan.
"Panahku tidak melewati jalur itu." Camelia sudah memastikan jika anak panahnya tidak menimbulkan masalah. Namun, ia kembali menarik busurnya, perasaan sedikit waspada kini bersarang di dada. Terdorong oleh keadaan itu, Camelia mulai menuntun langkahnya perlahan, mendekat ke sumber suara. Tidak terlalu jelas, tapi ia baru saja mendengar sebuah geraman. Lalu kecurigaannya segera teramini, ia lantas menghentikan langkah. Kali ini ia menangkap dengan jelas bagaimana semak itu kembali bergerak.
"Aku sudah merasa terintimidasi jadi bagaimana kalau aku mengharapkan sesuatu yang lebih besar dari kelinci hutan?" Camelia berbicara pada dirinya sendiri. Pada dasarnya ia menyukai tantangan. Jadi mungkin akan lebih menyenangkan melihat ada seekor beruang yang bersembunyi di sana. Walaupun ia tahu semak itu terlalu pendek bahkan untuk ukuran bayi beruang.
Hanya waspada. Camelia tidak benar-benar melepas pegangan pada tali busur. Ia memacu langkahnya kembali. Apa pantas disebut mengendap-endap? Karena Camelia tidak membungkuk sama sekali. Langkahnya saja yang memang pelan, tetapi itu dibalut dengan ketegasan dan keberanian.
Jarak yang terkikis membuat Camelia akhirnya dapat mengintip ke balik semak. Sesaat ia berubah bersemangat karena melihat sesuatu berwarna hitam tampak menunduk di tanah. Bulu binatang, Camelia yakin akan itu. Menilai ukurannya sepertinya seekor hewan yang cukup besar. Namun, raut wajah Camelia berubah ketika melihat sosok berbulu hitam itu berdiri.
"Jadi hanya seekor kucing ... umm besar?"
Anak panah otomatis ia buka. Mengembalikan semua ke tempatnya, senyum di wajah Camelia mengembang saat ia melompati semak belukar hendak menghampiri hewan itu. Sayangnya ia tidak mendapat sambutan hangat, hewan yang ia sebut kucing besar itu melangkah mundur perlahan.
"Aku tidak pernah melihat kucing sebesar ini sebelumnya. Kau pasti peliharaan milik seseorang dari Klan Agrios. Karena itu kau pasti bukan kucing biasa." Kedua alis Camelia bertaut. " ...Tapi apa yang kau lakukan di Hutan Forst?"
Tidak merasakan adanya orang lain di sini, Camelia berpikir bahwa kucing besar ini tersesat. Jadi Camelia berniat membawa serta hewan temuannya ke istana. Pemiliknya akan lebih mudah mencarinya jika ia berada di sana. Tangan Camelia pun terulur ingin mengusap puncak kepala hewan di depannya. Mereka baru saja bertemu. Camelia setidaknya harus memberi kenyamanan agar hewan ini lebih mudah untuk dituntun nantinya. Namun, belum sampai tangan Camelia menyentuh bulu hitam itu, sang kucing besar menggeram membuat tangan Camelia berhenti di udara.
Camelia tidak gentar sama sekali kendati hewan di hadapannya terlalu buas untuk ukuran kucing yang biasa ia bawa dalam gendongan. Hanya saja Camelia tidak terbiasa dengan sensasi ditolak seperti ini, jadi ia hanya tersenyum lantas menarik tangannya kembali.
"Ternyata kau pemilih." Camelia berpikir sejenak sebelum kemudian membuka penutup tasnya. "Mari kita lihat apakah aku memiliki sesuatu untuk kau makan. Sebenarnya aku ingat pernah memasukan ikan kering ke dalam sini, tapi aku ragu kau akan suka mengingat ukuranmu." Tangan Camelia terus mengais di dalam sana sementara mulutnya tidak berhenti bergerak. Pandangannya tiba-tiba beralih melihat hewan itu.
"... ngomong-ngomong, majikanmu memberimu apa? Daging mentah? Ah soal daging mentah ... jangan-jangan majikanmu malah yang makan daging mentah?"
Tangan Camelia tiba-tiba berhenti lalu raut wajahnya berubah serius. Ia melanjutkan,
"Inilah yang aku bingungkan. Mengenai Klan Agrios ini mereka memiliki nama lain dengan sebutan klan binatang buas karena semua yang di sana dapat bertransformasi menjadi hewan, bukan? Yang menjadi pertanyaan, ketika mereka dalam wujud itu bagaimana orang lain tahu mereka sebenarnya hewan biasa atau bukan?" Belum lepas kerutan di dahinya, Camelia sudah menemukan jawabannya sendiri. "Ah ... buas?"
Lagi-lagi ekspresinya berubah mendadak. Ia melihat hewan itu dengan lekat. "Walaupun ukuranmu cukup ditangguhkan berada di antara mereka, tapi kau tetap saja seekor kucing. Sayang sekali aku tidak bisa menyebutmu imut, atau harga dirimu mungkin akan tercoreng dengan tubuh sebesar itu. Apa mereka memperlakukanmu dengan baik? Mereka tidak ... tunggu!" Camelia baru saja memalingkan wajahnya kembali ke tas yang terbuka ketika sebuah pikiran tiba-tiba muncul di kepala. Ia menoleh dengan cepat untuk memastikan sang kucing besar tetaplah seekor kucing. Namun, hanya dalam dua kedipan mata sosok berbulu hitam itu sudah menjelma menjadi seorang manusia yang ... utuh.
Camelia nyaris tergagap. "Aku baru akan mengatakannya. Rupanya kau memang bukan kucing biasa."
...🪄🪄🪄...
Sosok pria yang baru mengambil wujud manusia mengepalkan tangannya kuat. Ada kemarahan yang tergambar jelas di wajahnya.
"Aku baru akan mengatakannya. Rupanya kau bukan kucing biasa."
Pria itu tidak terbiasa meladeni hal sepele terlebih kepada orang yang tidak ia kenal. Namun, kata 'kucing' yang terus diulang wanita ini membuat sesuatu di dadanya bergemuruh. Kalimat tertahan di tenggorokan meluncur begitu saja. "Sebagai seorang amagine kau punya nyali yang cukup untuk menilai sesuatu yang tidak perlu." Pria itu tidak menyangka dengan semua yang terjadi, kendati demikian intonasi suaranya masih tetap tenang.
Camelia sendiri tidak yakin bagian mana dari kalimat itu yang ia mengerti, tetapi tidak ada sedikitpun rasa bersalah saat ia membalas, "terima kasih atas pujiannya."
Malah kini ia sibuk menilik penampilan pihak lain.
Pria itu memakai kaus tunik yang sengaja memperlihatkan dada atas dengan bawahan hitam yang sangat kontras berpadu warna kulitnya yang terang, memperlihatkan sebuah kalung dengan liontin pertama putih menggantung di ujungnya. Ada robekan di lengan dan pundak kain itu menambah kesan berantangan pada penampilannya. Namun anehnya, Camelia merasa berat berpaling dari sana. Saat ia mengangkat kepalanya sedikit, pandangannya bertemu dengan iris abu yang Camelia tidak perlu bertanya mengapa itu begitu mengintimidasi. Camelia tidak yakin dengan seberapa sering ia melihat warna dark brown membalut kepala orang lain, tetapi rambut yang nyaris menyentuh bahu itu bertahta sempurna di antara dada bidang dan bahu lebar. Alis tegas di sana memperjelas kalau kehadiran Camelia tidak diterima. Namun, wanita yang kekurangan ilmu kepedulian ini mengesampingkan semua itu dan malah berjalan mendekat.
Mata Camelia sangat jelas melihat buku-buku jari pihak lain mengeras, tapi ia dengan santai berkata, "mulai sekarang aku akan berbaik hati mengakui keganasan Klan Agrios, mungkin." Camelia berhenti beberapa langkah di depan pria itu.
Kucing yang berasal dari sana saja terlihat seperti ini, ia membatin.
"Aku tidak tahu kalau ras amagine punya pemikiran pendek dalam menilai." Pria itu memalingkan wajah.
Camelia tiba-tiba terkekeh. "Oh? Benarkah? Tapi aku cukup akurat. Kau boleh mengujinya." Melihat pria itu tidak kunjung menjawab, Camelia mengangkat sebelah alisnya dan melanjutkan, "jadi apakah kau benar-benar tersesat?"
"Tidak!"
Camelia cukup terkejut dengan jawaban tanpa jeda itu. Namun, fokus Camelia teralihkan oleh sesuatu di mulutnya. Ia berdeham membuat sesuatu yang ternyata adalah biji buah kencana yang nyaris membuat ia tersedak kini berpindah ke lidahnya. Akibat ketidaknyamanan yang menyerang, Camelia tanpa persiapan menyentakkan lidah. Mata Camelia membelalak saat menyaksikan bagaimana biji itu terbang dan mendarat di pakaian pria itu. Sungguh! Bagaimana bisa kotoran di mulutnya berpindah ke sana?! Ini bukan cara elegan untuk menyapa pria tampan di pertemuan pertama. Namun, lupakan soal pria tampan! Camelia kini hanya memikirkan bagaimana melepas biji sialan itu dari sana!
Terdistraksi oleh keadaan, tanpa sadar Camelia melangkah maju membuat jarak di antara keduanya tersisa dua langkah. Pria itu jelas mengambil langkah mundur. Namun, semua itu hanya menambah kebingungan di kepala Camelia. Mulutnya bergerak terbuka tapi suara dari sana tak kunjung terdengar.
"Kau mau ke mana?!" Melihat pria itu hendak berbalik, Camelia refleks menahan pundak pihak lain dengan kedua tangannya.
"Apa yang kau lakukan!" Pria itu tersentak, kaget. Refleks ia menyentuh tangan pihak lain hendak menjauhkan dari pundaknya, tapi siapa sangka Camelia begitu gigih memegangnya.
"Lepaskan!" pekiknya lagi.
Camelia sadar dengan pelototan yang diberikan untuknya, tetapi ia mencoba abai dan mencari alasan secepat mungkin.
"Tunggu sebentar." Camelia menjawab tanpa berpikir saat pria itu mencoba melepaskan diri dari pegangannya. "...ada yang ingin aku katakan," lanjutnya cepat.
Beruntung pria itu tidak memberontak lebih jauh, tapi Camelia bisa merasakan tubuh itu menegang. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Camelia segera melepas sebelah tangannya dan menargetkan biji yang masih menempel. Corak di pakaian pria itu menghambat pergerakan tangan Camelia. Ia menggerakan tangannya dengan cepat, tapi malah nyaris tersangkut. Keadaan ini membuat siapa pun yang melihat akan mengira Camelia sedang membelai dada bidang itu. Biji berhasil ia singkirkan, tapi sungguh Camelia tidak ada niatan menggoda ataupun mengambil kesempatan. Ia menjadi serba salah saat melihat wajah pria itu tiba-tiba menjadi pucat. Tidak tahu harus bagaimana, tanpa berpikir lebih jauh Camelia dengan ragu berkata, "maaf tapi ... maukah kau membantuku mengangkat cermin-cermin di sana?"
...🪄🪄🪄...
Camelia keluar hutan dengan perasaan dongkol. Boleh dibilang paginya begitu berwarna hari ini. Namun, tiap kali ia membayangkan pahatan sempurna dari wajah pria yang baru ia temui, pikirannya selalu berakhir pada cermin dan biji buah kencana. Seolah seluruh wajahnya terbuat dari kaca tipis, semua retak berantakan bersamaan dengan angan-angan yang luluh lantah. Camelia tidak akan punya wajah jika bertemu dengan pria itu lagi.
Sayang sekali.
Begitu Camelia sampai di jalan yang sebelumnya ia lewati, hamparan bunga liar berwarna ungu itu menyambutnya. Bekas petikan yang ditinggalkan olehnya saja masih segar. Dada Camelia meradang. Tidak memberikan komentar apa pun, ia meraih penutup tas yang melingkar di pinggang dan mengeluarkan sebuah pedang. Dalam sekali tebasan semua pohon bunga kencana liar itu berserakan di tanah.
Memasang senyum terbaiknya, Camelia dengan bangga berkata, "Demi kehormatan dan harga diri seluruh makhluk yang ada di dunia ini, aku harus mengamankan kalian."
Tidak ada yang bisa meragukan ayunan pedang yang terhunus oleh tangan itu, tetapi Camelia tiba-tiba merasa jijik karena melampiaskan semuanya pada tumbuhan yang bahkan diinjak saja sudah tidak akan bangun lagi. Namun, persetan dengan rasa hormat. Harga dirinya sudah lebih dulu tak berbentuk. Ia memandang sebaran kelopak itu lamat-lamat. Ketika semua menjadi tenang, ia mengembalikan pedang ke tempatnya.
"Jangan pernah muncul di depan mataku."
Setelah mengatakan itu, Camelia sudah akan melangkah pergi. Namun, ekor matanya menangkap sesuatu yang keluar dari tumpukan batang bunga tumbang. Itu seekor ulat bulu biru dengan sebaran titik hitam di atas kulitnya. Melihat ini, kekesalan Camelia sedikit mereda. Alih-alih geli, ia berjalan mendekat mengamati hewan itu yang berjuang bergerak .
Karena tidak bisa menyentuhnya Camelia meremas tangan di depan wajahnya, gemas. Ia berkata, "Sayang sekali kau tidak bisa kubiarkan berjalan di atas kulitku."
Cukup lama Camelia berjongkok hanya untuk memastikan hewan itu berpindah tempat dengan baik. Camelia tiba-tiba tersenyum. Pikiran di kepala menggerakkan ia membuka penutup tasnya, lalu sesaat kemudian tangannya memegang sebuah gelembung berbentuk stoples dengan penutup yang juga transparan.
"Aku hanya punya ini."
Gelembung yang entah bagaimana tidak pecah itu ia arahkan ke tanah. Ulat bulu yang menjadi targetnya masuk tanpa kesusahan. Lagi-lagi Camelia tersenyum.
"Mari berharap benda ini tidak jatuh. Atau si gadis wizard itu akan memarahiku karena merusak barang pemberiannya." Camelia mengangkat benda itu lebih dekat. Ulat bulu mengitari lingkar kecil di dalam sana. "Beristirahatlah, stoples gelembung ini tidak akan pecah selama aku tidak membantingnya. Aku akan mencarikan rumah baru untukmu, teman kecil."
Setelah memasukan kembali ke dalam tas, Camelia benar-benar melangkah pergi dari sana. Sejujurnya Camelia tidak yakin soal rumah baru, tapi ia merasa ulat bulu itu akan berguna nantinya.
...🪄🪄🪄...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
La Vey
kok suka cowo gondrong padahal kayak preman.
2023-04-21
0
anggita
ikut ng👍like ae yo thor, mugo novelmu sukses lancar jaya.
2023-04-19
1