Camelia duduk pada sebuah kursi rotan di halaman yang penuh rumput hijau setumit. Di belakang berdiri sebuah rumah kayu yang dindingnya dianyam dari bambu. Tangan Camelia dipenuhi berbagai macam biji dan buah. Rumah yang posisinya bersampingan dengan hutan membuat tupai dan beberapa hewan hutan lainnya datang berkunjung. Mereka tampak jinak, seolah sudah terbiasa.
Camelia berdecak tiga kali. Ia berjongkok sambil menaburkan biji dan buah itu ke tanah. Raut wajahnya tampak kesal saat ia berkata, "Semua pohon akhir-akhir ini memang sangat pelit. Mereka jadi jarang berbuah. Aku hanya punya buah awetan dan biji-biji kering ini. Kalian makanlah."
Seekor tupai melompat melewati kawanan, ia meraih biji kacang almond yang ada di tangan Camelia. Setelah diperhatikan tupai itu memang enggan memungut biji dan buah yang berserakan di tanah. Camelia tidak terganggu, ia bahkan menawarkan lagi begitu makanan yang dikunyahnya habis. Semakin lama halaman semakin ramai. Burung yang hinggap di pohon tak ayal ikut mendekat.
Atensi Camelia beralih pada rumput yang bergoyang. Setelah diperhatikan rupanya itu sekawanan tikus liar yang sedang mengendap-endap. Langkah mereka berhenti tiap kali Camelia bergerak. Lalu saat dirasa tepat, tikus-tikus itu dengan cepat meraih satu makanan lalu kembali menghilang di balik semak.
Melihat itu Camelia terkekeh. "Ah gemasnya."
Tangan Camelia saling menepuk begitu makanan habis. Tersisa beberapa burung yang mengais di tanah juga tiga ekor tupai yang melompat-lompat. Namun, begitu mendengar keributan mendekat, semua hewan itu terbirit kabur. Camelia menoleh, rupanya itu suara dari beberapa anak kecil dari ras amagine. Sepertinya mereka tertarik melihat hewan-hewan yang mengerumuni halaman. Sayangnya semua sudah pergi saat mereka tiba.
"Yah sudah tidak ada."
Seorang anak laki-laki lain memukul puncak kepala gadis kecil yang baru berbicara.
"Kau menakuti mereka!"
"Benar."
"Kau membuat mereka pergi."
Dua anak perempuan lain ikut protes. Semuanya lalu menunduk mencari di balik rumput. Tidak ada yang mengacuhkan Camelia sampai wanita itu berbicara.
"Hei! Anak-anak mereka sudah pergi!"
Salah seorang anak mengehentikan percarian lantas memandang Camelia, sisa anak yang lain turut ikut kemudian.
"Kenapa tidak menangkapnya, Kakak?"
"Apa Kakak bisa memanggilnya agar mereka bermain bersama kami?"
Mendapat pertanyaan itu, Camelia menggaruk tengkuk. Ia berpikir bukan ide bagus menyerahkan hewan-hewan itu di tangan anak-anak. Jadi ia mulai berpikir untuk mengalihkan perhatian.
Camelia langsung beralih pada tas pinggang di sampingnya. Ia biasa menaruh barang secara acak di sana. Barangkali dalam tas pemberian bibinya ini ia bisa menemukan sesuatu yang berguna.Tepat saat tangannya menyentuh sesuatu yang bundar, ia tersenyum. "Siapa di sini yang ingin jeruk?"
Seolah melupakan tujuan awal, anak-anak itu bergerak mendekat. Semuanya melompat-lompat sembari mengacungkan tangan.
"Aku!"
"Aku!"
Antusias itu membuat Camelia kewalahan. Siapa sangka jeruk yang mampu diambil tangannya baru satu buah saja. Ia lupa jika isi tasnya ini seluas jagat raya. Camelia gelabakan karena terus salah mengeluarkan barang. Hingga nyaris keliman baju robek karena ditarik, Camelia akhirnya mendapat buah dengan jumlah cukup. Keinginan anak-anak terpenuhi, mereka langsung melenggang pergi setelahnya.
"Fyuhhh! Anak-anak itu."
Sesaat kemudian wajah Camelia jadi memelas. Ia lupa jika itu adalah stok buah terakhirnya. Pasrah, Camelia hanya bisa memandang jejak anak-anak dengan tatapan nanar.
"Yasudahlah," cicitnya kemudian. Camelia hendak berbalik menjauhi halaman ketika netranya tidak sengaja menangkap sebuah pergerakan dari balik pohon. Itu hanya sekitar tiga meter dari tempat ia berdiri, jadi masih sangat jelas saat ia melihat tangan seseorang mencuat dari sana.
Terdorong rasa penasaran, Camelia lantas mendekat, sosok itu langsung menciut ke sisi lain. Namun, dia tidak menghindar lebih jauh. Saat itulah Camelia melihat seorang anak perempuan meringkuk di akar pohon. Rambutnya hitam lurus tergerai, tetapi wajah dan pakaiannya kotor oleh beberapa titik noda.
"Siapa namamu?"
Tidak ada jawaban.
"Hai, aku Camelia," ucap Camelia lagi sembari mengulurkan tangan.
Mendengar sapaan lembut, anak itu perlahan mengangkat kepala namun tangan Camelia dibiarkan menyapa udara.
Seperti biasa hanya dengan melihat Camelia bisa langsung tahu kalau di depannya ini seorang amagine. Hal itu membuat hati Camelia semakin tergerak.
Sadar jika anak itu tidak akan merespons, Camelia kembali meraih tasnya untuk mencari sesuatu. Ia mengambil secara acak, tidak tahu memberikan apa lagi karena di dalam ini hanya tersisa barang-barang kebutuhannya sehari-hari. Lalu saat tidak sengaja menyentuh sesuatu yang kasar, Camelia ingat masih memiliki beberapa biji bunga matahari dalam kantong goni kecil. Lantas dengan cepat ia keluarkan. Sesuai dugaan, anak itu mulai bereaksi. Awalnya tampak ragu untuk menerima pemberian Camelia, tapi pada akhirnya ia tetap meraihnya. Lagi-lagi Camelia ditinggalkan begitu miliknya telah diambil. Hanya saja kali ini Camelia merasa lega, ekspresi anak itu seperti mememdam sesuatu membuat hati Camelia terenyuh.
Saat anak itu sudah tak terlihat Camelia baru menyadari kalau anak itu menjatuhkan sesuatu. Benda berbentuk berlian tergeletak di tempat anak itu sebelumnya berdiri. Camelia langsung tahu jika itu palsu begitu ia mengangkatnya. Bobotnya ringan, jelas itu hanya kayu yang dipahat lalu dicat dengan warna merah. Sentuhan putih di beberapa titik membuat benda ini tampak nyata.
Witchstone?
Camelia tahu jika ini hanya sebuah replika. Hanya saja benda palsu ini selalu ia lihat di mana-mana. Seolah itu sangat penting. Namun, apa yang berharga dari sebuah pahatan kayu? Tidak ingin berpikir terlalu jauh, Camelia memasukkan benda itu ke dalam tasnya lalu berjalan menuju rumah.
Nanti saja akan kukembalikan jika bertemu lagi, batinnya kemudian.
...****************...
Seekor burung bertengger di ranting pohon paling tinggi. Daun yang tidak lebat memberi celah mata tajamnya memandang bebas ke bawah. Ukurannya sebesar burung gagak, tetapi ia memiliki sayap yang lebih besar. Itu adalah seekor peregrine falcon melihat bagaimana ciri fisiknya. Tubuhnya diselimuti bulu yang didominasi perpaduan hitam kelabu dan biru. Berparuh kuning besar dengan ujung lancip yang hitam. Bagian dada dan perut diisi lebih banyak warna putih dengan garis-garis hitam. Ekornya yang pendek menjadi pelengkap untuk mengetahui jika ia bukanlah elang. Namun, sang alap-alap kawah atau yang biasa disebut falkon itu selalu menyamakan diri dengan sang predator udara. Baiklah, jangan ingatkan ukuran tubuhnya yang hanya sebesar gagak. Karena dia benci itu!
Falkon itu bergerak turun ke ranting lain. Tatapannya bergerak mengikuti sesuatu yang melompat-lompat di tanah. Ia sedang menunggu waktu yang tepat untuk menerkam buruannya, tapi saat itu datang matanya menangkap presensi hewan lain.
Serigala pengganggu! batinnya geram.
Sayapnya dengan cepat dilebarkan, tubuh depannya condong ke depan. Tatapannya penuh intimidasi. Ia memandang kelinci buruannya dan rivalnya secara bergantian. Sadar jika keberadaannya telah terdeteksi oleh sang lawan, ia membuka sayapnya lebih lebar dan turun dengan kecepatan kilat. Jarak begitu menguntungkan baginya, tapi siapa sangka serigala yang juga sudah berlari malah mengeluarkan auman. Sang mangsa akhirnya menjadi sadar akan bahaya hingga berusaha melarikan diri.
Falkon itu tidak habis kesabaran, ia memutar arah ingin menuntaskan masalah lebih dulu. Mulut serigala hitam terbuka lebar saat ia menghadangnya. Sebelah tangan itu mengais udara tetapi sang falkon dengan lihai menghindar. Ia berhasil menancapkan paruh di bulu hitam-lebat itu, tapi arah yang ia ambil terlalu jauh. Siapa sangka sang serigala meninggalkannya di belakang dan dengan curang mengejar target seorang diri.
Tidak ingin kalah saing, burung itu mengepak sayap lebih cepat. Sayangnya begitu posisi keduanya sejajar, mulut serigala itu sudah menahan buruan mereka. Ia kalah telak. Memekik karena marah, sang falkon turun dengan cakarnya, itu sangat tegas saat menargetkan punggung sang lawan. Ia mengikis bulu bagian atas, tapi belum sempat cakarnya menyentuh daging, sang serigala balas menerkam.
"Sialan! Kembalikan buruanku!"
Burung itu mengoceh sembari berusaha meraih mangsanya, tapi ia terus dibuat terbang ke atas oleh cakar tajam sang serigala.
"Tidak ada yang mengikat hewan di hutan ini milik siapa. Aku yang lebih dulu menangkapnya." Serigala itu menjawab dengan tenang, masih terus mempertahankan posisinya.
"Kau mencuri milikku!"
"Ambil kalau kau bisa."
Sang serigala berlari menembus semak, gerakannya cepat namun media tanah yang tidak rata telah merugikannya. Ia unggul beberapa saat, tapi sang falkon masih dapat menyusul.
Kali ini cakar sang falkon benar-benar menancap di bulu hitam sang serigala, masuk semakin dalam ke lapisan kulit yang tak terlihat. Warna merah mengotori permukaan atas begitu tautan menyakitkan itu terlepas. Kelinci di mulutnya terjatuh saat ia mengerang. Ia kecolongan, sang falkon berhasil merebut buruannya.
Sedikit pasrah, sang serigala tidak memberi perlawanan berarti, tetapi mulutnya sempat meraih beberapa helai ekor sebelum burung itu terbang jauh. Ia meringis karena denyut perih di punggungnya. Sebelum burung itu benar-benar menghilang, ia sempat berkata, "sayang sekali." Anehnya suaranya tidak terdengar kecewa. Malah ada kesenangan lain dalam kalimatnya. Ia memandang burung itu hingga tak terlihat. Ada beberapa helai bulu yang hilang di bokong sang falkon. Entah kenapa pemandangan itu sedikit menggelitik.
Burung yang malang, batinnya.
...****************...
Di sebuah rumah, seorang wanita berusia dua puluan sedang memasukan butir-butir batu kecil berwarna abu kehitaman ke dalam sebuah wadah bening. Wadah itu memiliki bentuk seperti buah pear, tetapi memiliki leher bulat dan panjang dengan diameter yang lebih kecil. Pekerja menara di Pyrgos menyebutnya tabung reaksi. Begitu digoyangkan, serbuk putih yang sudah berada di dalam menyatu dengan serpihan gelap yang baru saja dimasukkan. Ada percikan api kecil yang terbentuk sebagai reaksi, tetapi itu langsung padam membuat si pemegang menautkan kedua alisnya.
"Apa yang salah?" gumamnya.
Di sisi lain, seseorang masuk dari pintu depan langsung melepas pelengkapan panah yang melekat di tubuhnya. Ia menoleh pada sosok yang duduk sejak tadi. Namun, karena tidak mendengar apa yang baru saja wanita itu ucapkan, ia hanya abai malah menanyakan hal lain. "Sudah seminggu aku tidak melihat bocah itu, dia belum pulang juga?"
Wanita yang ditanya masih menatap fokus pada wadah bening di tangannya. Ia menambahkan beberapa serbuk hitam lagi. Alisnya masih mengerut.
"Jangan tanyakan itu padaku Camelia, aku tidak punya sayap untuk memantaunya di udara."
Camelia memutar bola matanya.
"Walaupun kalian tidak sejenis dia masih saudaramu."
"Aku tidak bilang dia bukan."
"Tapi batu-batu itu lebih mendapat perhatian."
"Camelia!"
"Aletta?!"
Perdebatan nonesensial itu terhenti saat Aletta menarik napas panjang. Ia meletakkan wadah yang dari tadi digenggamnya dengan hati-hati. Kedua telapak tangannya lalu menyentuh permukaan meja dengan cepat, tetapi itu sama sekali tidak menimbulkan suara. Ia mendongak, menatap Camelia dengan sorot mata tertahan.
"Daripada berdebat ... kemari dan bantu aku." Ekspresi itu berubah depresif. "... Kenapa tidak menyala lagi?!"
Camelia tidak langsung iba. Ia sibuk memeriksa ketajaman satu-persatu anak panahnya. Saat mendengar kepak sayap mendekat ia menghentikan gerakannya sesaat dan menoleh pada Aletta. Ia berkata,
"Dia cukup panjang umur untuk ukuran orang tidak tahu diri yang nekat tinggal di sarang binatang buas. Aku sungguh terkesan. Kenapa Klan Agrios tidak mengusirnya?"
Aletta tampak sedikit kesal, tetapi ia masih bereaksi dengan mengangkat bahu.
"Itulah, kau sadar sekarang? Serbuk-serbukku ini lebih butuh diperhatikan? Cepat bantu aku!" Aletta mengangkat wadah beningnya lagi, kedua alisnya bergerak memberi kode.
"Bertahun-tahun bekerja di Pyrgos rupanya tidak banyak membantu. Kau masih payah seperti biasanya." Camelia akhirnya berjalan menghampiri.
"Jangan berpura-pura. Aku tidak akan lupa kau yang memaksaku bekerja di sana. Lagi pula aku bukan seorang alkemis, tidak ada yang bisa menuntutku."
Camelia tetap fokus menatap sesuatu di dalam sana. Serbuk putih sudah bercampur dengan zat lain yang ukurannya lebih besar. Beberapa memberi refleksi cahaya ketika mata Camelia bergerak. Ia mengangkat alis setelah menilik tiap partikel, seolah memahami sesuatu.
"Tidak punya kalimat pembelaan yang sedikit lebih baik?" Ia melirik Aletta dengan sinis. "Siapapun selalu mendapat hal baru ketika belajar."
Aletta tersenyum abai. "Bukan itu jawaban yang aku mau. Cepat dapatkan solusinya atau kita akan berakhir dengan lampu minyak lagi malam ini."
Camelia menatap malas, tetapi tetap menurut melanjutkan pengamatan. Ia seharusnya sudah memberikan jawaban, tetapi bunyi debum di lantai mengurungkan niatnya. Dua wanita itu sama-sama menoleh ke asal suara.
Tetesan darah memenuhi lantai di sepanjang jalan menuju pintu keluar. Itu berpusat pada kelinci yang tergeletak kaku. Burung familier melangkah masuk kemudian. Anehnya, Aletta sama sekali tidak menyukai pemandangan itu. Seolah paham situasinya, Camelia mengangkat tangannya untuk menutup telinga.
"Kau ingin aku masak dengan kelinci itu?! Cepat bersihkan darah menjijikkan itu atau kucabut semua bulumu sekarang!"
Mengabaikan amarah Aletta yang memuncak, Camelia melepas sebelah tangannya lantas dengan santai berkata, "Terima kasih oleh-olehnya Niles. Sup daging berkuah di malam hari sepertinya cukup menghangatkan, tapi mengingat cuacanya ... kelinci panggang dengan bumbu melimpah juga bukan ide buruk."
Aletta memelototinya dengan tajam, tetapi Camelia hanya memandang wadang bening di tangannya dengan santai.
"Kalian harus mengolahnya dengan baik!" Burung falkon yang bernama Niles tiba-tiba meninggikan suaranya. Baik Aletta maupun Camelia langsung membatinkan satu hal.
Ada apa dengan anak ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
judul jgn pakai singkatan
2023-05-09
0
La Vey
masih belum bisa bikin deskripsi yang puitis kayak begini. setiap deskripsi diksinya beda - beda.
2023-04-19
1
anggita
peregrine falcon🦅
2023-04-19
0