“Kak Matt, apa selama Ana cuekin kak Matt, kakak udah sadar kalau sebenarnya kakak cinta sama Ana?”
Mata hitam pekat itu menatap Ana tajam. Gadis itu hanya menampilkan senyumannya yang menawan, yang sayangnya, Matteo sangat menyukai senyuman itu.
“Tidak! Aku malah bersyukur kau mendiamiku! Karena aku merasa tenang, tidak ada makhluk seperti dirimu di sisiku yang terus saja menempel kemanapun aku pergi.” Matteo menjawab dengan ketus, dia tidak melirik Ana sedikitpun, matanya fokus menatap pada jalanan yang dia lewati.
‘Cih, bahkan untuk mengakui hal seperti ini saja, gengsinya sangat tinggi!’ Ana mendengus dalam hati. Laki-laki yang ada di sampingnya ini pandai sekali menyembunyikan ekspresinya.
“Yahhh, sayang sekali!” Ana pura-pura mendesah sedih. Sedangkan laki-laki yang ada disampingnya tampak tidak melirik sedikitpun padanya.
“Kak, apa selama Ana gak jagain kak Matt, banyak cewek yang deketin kak Matt? Atau kak Matt yang deketin mereka?”
“Jaga seperti apa maksud kamu? Kamu jagain aku dari cewek-cewek itu, dengan cara mengatakan pada mereka semua kalau aku itu bau badan, dan juga panuan?” Matteo menatap tajam Ana yang hanya menampilkan cengiran kakunya saat laki-laki itu menatap dengan kesal
“Ihhh, kak Matt. Tapi itu kan dulu. Lagi pula, Ana kan cuma mau jagain calon suami masa depan Ana, dari wanita-wanita tak berbobot diluaran sana itu!”
“Kau ini!” Ana kembali mendapatkan jitakan di kepalanya dari seorang Matteo.
“Kak Matt sakit! Nanti kalau Ana geger otak, dan ngelupain kak Matt gimana?” dengan masih mengusap-usap kepalanya, Ana mendelik ketus pada Matt.
“Bagus kalau seperti itu, biar tidak ada gadis kecil menyebalkan seperti dirimu lagi yang menggangguku!”
“Ih kak Matt, kan Ana cuma becanda. Lagian ya, mau sampai Ana kecelakaan dan amnesia sekalipun, Ana gak bakal lupain kak Matt, soalnya kak Matt emang ga bisa dilupain!” Ana mengedipkan matanya genit pada Matteo yang duduk disebelahnya.
Entah sadar atau tidak, tapi Matteo tersenyum mendengar kata-kata sederhana yang keluar dari mulut gadis itu.
“Diamlah bocah, jangan banyak bicara. Mau aku turunkan kau disini?” Matteo mengancam Ana, karena dia sungguh pusing mendengar celotehan gadis itu yang dari tadi terus saja bicara asal.
“Ya gak maulah! Nanti kalau ada yang jahatin Ana, terus Ana di culik, dan Ana di nikahin sama om-om CEO kaya dan ganteng gimana?”
“Mimpi!”
“Kan mimpi Ana emang seperti itu!”
“Diamlah, aku pusing mendengar celotehanmu itu. Ah, harusnya kemarin aku bersyukur karena kau mendiamkan aku!”
Setelah terdiam cukup lama, kedua orang itu akhirnya tiba di parkiran kampus.
“Mau apa lagi bocah? Sudah sana turun!” Matteo menatap kesal pada Ana yang masih saja duduk dengan tenang di sampingnya.
“Kak Matt gak mau, buat bukain Ana pintu gitu? Kayak orang-orang gitu, biar romantis?!”
“Jangan banyak berkhayal Ana, sudah cepat sana turun!”
“Dih, iya-iya. Untuk romantis sedikit saja tidak bisa!” dengan menggerutu, Ana melepaskan seat belt dan turun dari dalam mobil Matt. Setelah gadis itu turun, Matt juga ikut turun dan mengunci mobilnya
Matteo berjalan menuju fakultasnya, diikuti oleh Ana di belakang. Laki-laki dengan sorot mata tajam dan tegas itu, mampu membuat gadis-gadis yang berlalu lalang di sekitar sana terdiam sejenak untuk mengambil nafas.
Ana menatap gadis-gadis yang melihat Matt dengan tatapan lapar. Gadis itu mengepalkan tangannya.
“Kak Matt!”
“Apa lagi bocah?!”
Tanpa aba-aba, Ana memegang tangan Matt tanpa mempedulikan keadaan sekitar. Bahkan gadis itu juga tidak mempedulikan Matt yang menatap tajam pada dirinya.
“Lepaskan!” Matt berusaha untuk melepaskan tangannya dari Ana, tapi sayang, gadis itu tidak mau untuk melepaskannya.
Ana menatap pada gadis-gadis yang menatap pria yang sudah diklaim miliknya itu dengan tajam.
Dari matanya, dia seperti mengatakan, ‘Beraninya kalian menatap milikku! Aku congkel mata kalian!’
Sedangkan Matt hanya mendengus pasrah melihat kelakuan bar-bar gadis kecil yang sedang menggenggam tangannya posesif itu.
Sudut bibir pria itu, melengkung samar. Hanya sedikit, hingga orang lain tidak menyadarinya.
“Ayo kak Matt!”
Karena memang fakultas keduanya sama, Ana berjalan bersama Matt dengan kedua tangan yang masih menggenggam. Banyak pasang mata yang melihat pada kedua orang itu.
‘Dasar murahan, padahal waktu itu dia sudah tidak mengganggu Matt lagi. Kenapa dia bersikap seperti itu lagi sekarang?’
‘Dasar gadis bar-bar!’
Ana tidak menghiraukan bisik-bisik saat dia dan Matt lewat. Dan juga sepertinya, Matt tidak terganggu dengan itu.
Ana berjalan riang dengan tangan menggenggam tangan Matt.
“Sudah, lepaskan bocah!” Ana cemberut saat Matt melepaskan tangan mereka.
Ana sudah tiba di kelasnya terlebih dahulu.
“Bye kak Matt, ingat Ana terus ya.”
***
Ana bersama dengan temannya berjalan di koridor kampus. Gadis itu berjalan tanpa ada beban sedikitpun. Dia tersenyum riang, membuat sahabatnya heran.
“Cie, yang sudah baikan, riangnya!” Ana hanya terkekeh mendengar ucapan Jinny.
“Ayo kita ke kantin!” tanpa menjawab perkataan Jinny tadi, Ana menarik tangan gadis itu menuju kantin kampus, yang pastinya kini sudah sangat ramai.
Kantin besar yang makanannya hampir sama dengan restoran kelas atas itu benar-benar sesak oleh mahasiswa lainnya yang ingin mengisi perut mereka yang kosong.
Ana dan Jinny duduk di kursi pojok. Jinny berjalan ke depan untuk memesan makanan. Tak lama setelah itu, gadis itu membawa nampan berisi makanan untuk dia dan Ana.
“Terimakasih Jinn.” Jinny hanya mengangguk dan tersenyum. Ana menatap makanan yang ada di depannya dengan berbinar.
“Hai An, Jinny....” Ana mendongak pada kedua laki-laki yang ada di depannya. Ada Rico dan Kelvan yang sedang berdiri disana.
“Holla baby....” Rico duduk di samping Jinny. Karena kedua orang itu adalah sepasang kekasih sejak mereka SMA.
“Hai, An....” Kelvan tersenyum tipis pada Ana, begitu pula dengan Ana.
“Hii Van....”
Rico berdiri dari duduknya untuk memesan makanan juga.
Ana sudah mulai memakan makanannya tanpa menghiraukan kedua orang yang sedang duduk di depannya dan juga Jinny yang di sampingnya.
“Hei pelan-pelan, kami tidak akan minta,” Ana terkekeh mendengar perkataan Kelvan.
“Aku sangat lapar, maaf.” Kelvan hanya tersenyum tipis. Dalam diam, laki-laki itu tersenyum menatap Ana yang sangat menikmati makanannya. Tak lama setelah itu, Rico datang dengan membawa nampan berisi makanan untuk dia dan Kelvan.
“Thanks Ric....” Rico mengangguk dan tersenyum tipis
Ana yang mendengar suara gaduh mengangkat kepalanya. Disana dia dapat melihat, Matteo, Arion, dan Erick yang duduk di salah satu bangku kantin.
Ana hanya tersenyum sinis saat melihat banyak wanita yang menatap lelaki yang dia nyatakan miliknya itu dengan lapar.
Tentu saja, siapa yang akan bisa mengalahkan pesona seorang Matteo? Pewaris lelaki kerajaan bisnis Alexander dan Luciano. Bahkan kampus tempat mereka kuliah ini pun, adalah milik keluarga konglomerat itu.
Kelvan yang melihat Ana menatap tajam pada wanita-wanita yang melihat Matt dengan lapar itu, hanya tersenyum kecut.
“Kau sudah baikan dengannya Ana?” Ana kembali tersadar saat mendengar suara Kelvan yang bertanya.
Ana mengangguk menjawab pertanyaan Kelvan, sedangkan laki-laki itu tersenyum masam.
‘Kami tidak berbaikan, karena memang ini salahku. Dan kami juga tidak bertengkar!’
Ana merutuki kebodohannya beberapa waktu belakangan ini.
“Jinn, aku pindah ya?” mendengar Ana yang berbisik seperti itu, Jinny hanya bisa mengangguk untuk mengiyakan perkataan gadis itu.
Dengan langkah tegap, Ana berdiri dengan mengangkat mangkuk makanannya lalu berjalan menuju meja yang di tempati Matt.
“Dia mendekat!” Arion berbisik pada Matt yang kala itu mendelik karena melihat gadis kecilnya, duduk satu bangku dengan laki-laki lain.
Pria itu hanya menghembuskan nafas kasar.
“Hai calon suami?” Ana mengeraskan suara, hingga perkataannya itu terdengar oleh beberapa orang yang dekat dengannya. Sedangkan Arion dan Erick terkekeh mendengar sapaan gadis itu.
“Pindah Kak Erick!” selalu saja seperti itu. Erick akan selalu bergeser jika Ana menempati tempat duduk di samping Matt.
“Dasar, bocah ini!” walaupun menggerutu, tapi Erick tetap berpindah tempat.
“Kak Matt, suapi Ana makan dong....” Ana menatap Matt dengan berbinar. Laki-laki itu hanya mendengus.
“Kau kan punya tangan? Makan sendiri, jangan manja!” Ana mengerucutkan bibirnya membuat gadis itu tampak menggemaskan. Setelah itu, dia kembali menyendokkan makanannya mengabaikan orang sekitarnya.
“An, kalian sudah baikan?” Ana mendelik pada Arion dan Erick yang terkekeh menertawakan dirinya.
“Diam kalian!” sentak Ana dengan tampang marah. Tapi, walaupun seperti itu, dia tampak menggemaskan dengan bibir yang mengerucut lucu dan mata tajam itu.
“Woohh, beraninya kau bocah!” goda Erick. Kedua laki-laki yang menjadi teman Matt itu menertawakan Ana membuat gadis itu semakin kesal.
“Kak Erick, walaupun Ana ini menurut kalian masih bocah, tapi Ana sudah bisa bikin bocah loh!” Ana mengatakan dengan senyuman menggoda, membuat kedua laki-laki itu terdiam dan menelan salivanya susah.
“Sialan!” decak Erick kesal.
“Dan, kak Matt, ukuran dada Ana udah 36D, sudah seperti yang kak Matt bilang waktu itu! Jadi kapan kita menikah?” Ana berbisik dengan suara menggoda pada Matt.
Matt terbatuk-batuk mendengar perkataan Ana, laki-laki itu menatap tajam pada gadis yang ada disampingnya ini.
“Sialan kau bocah!”
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments