Hazel memikirkan kata-kata Mia sepanjang mata kuliahnya pagi ini. Mia tersenyum geli melihat Hazel melamun karena ucapannya. Mia menyenggol bahu Hazel dan membuatnya kaget karena sedang melamun. Mia langsung tertawa tanpa suara melihat wajah kaget Hazel.
"Sengaja kamu, Mia. Aku sedang memikirkan ucapanmu dan aku sepertinya akan memutuskan." Hazel berkata sambil berbisik.
"Jadi ... apa kamu akan memutuskan untuk menerima tawaran jadi sugar baby?" Mia bertanya sambil menaikturunkan alisnya. Hazel hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan Mia.
"Apa menurut kamu nggak apa-apa, Mi?" tanya Hazel sedikit ragu-ragu.
"Nggak apa, El. Aku akan dukung kamu kalau memang bisa mengubah hidup kamu lebih baik. Asalkan kamu harus bisa mengajukan syarat yang akan menjaga dirimu sendiri, El."
"Misalnya?" Hazel masih belum mengerti dengan apa yang dibicarakan Mia.
"Misalkan, kalau memang kalian mengharuskan berhubungan badan, kamu harus meminta dia memakai pengaman dan mengetahui tentang kesehatan dia. Takutnya kamu tertular penyakit." Mia berbicara dengan serius.
"Berhubungan badan? Yang benar aja Mia. Menjadi sugar baby harus ada itu juga?" Hazel benar-benar tidak mengetahui apa pun tentang pekerjaannya nanti.
"Mungkin nggak semuanya, El. Sebagian besar seperti itu karena memang di kontraknya ada. Makanya aku kasih saran sama kamu untuk benar-benar mengajukan syarat yang menguntungkan untuk dirimu sendiri."
"Mia, Hazel, kalian sedang kuliah mata pelajaran saya atau sedang bergosip?" Sang dosen mendengar kasak-kusuk di bangku Mia dan Hazel, lalu segera menegur mereka berdua.
"Maaf Pak, kami sedang bergosip," ucap Mia dengan jujur.
"Keluar kalian dari kelas saya dan saya yakinkan kalian akan mengulang tahun depan." Sang dosen langsung memberikan titahnya pada Hazel dan Mia.
"Siap, Pak. Terima kasih." Mia terus saja membalas perkataan dosennya.
"Aku tahu orang tua kamu kaya, jadi kamu nggak takut mengulang tahun depan. Kalau aku gimana, Mia? Uang dari mana?" Hazel menggerutu pada Mia saat mereka sudah keluar dari kelas.
"Sebentar lagi kamu bisa bayar itu semua, Beby," ucap Mia sambil terkekeh geli.
"Kamu membuatku pusing, Mia. Sekarang traktir aku ice cream untuk mendinginkan kepalaku." Hazel merangkul pundak Mia dan mengajaknya ke Cafe depan kampus.
.
.
Hazel selesai kuliah tepat pada pukul tiga sore. Di depan kampusnya sudah terparkir mobil mewah yang tadi pagi mengantarnya. Hazel dan Mia saling tatap lalu tersenyum penuh arti. Mia mendorong tubuh Hazel untuk masuk ke mobil yang sedang menunggunya. Hazel mencium pipi Mia lalu berpamitan sambil melambaikan tangannya.
Hazel masuk ke mobil mewah itu dan tidak melihat Gavin di dalamnya. Hazel melihat ke arah sang sopir dan ragu untuk bertanya padanya. Hazel juga tidak mempunyai nomor telepon Gavin di dalam kontaknya.
"Nona, ini ada telepon dari Tuan Gavin." Sang sopir memberikan ponselnya pada Hazel.
"Hallo," sapa Hazel dengan suara lirih.
"Sorry, Beby. Aku masih ada rapat jadi nggak bisa jemput kamu. Kamu pulanglah dulu ke apartemen, kartu akses untuk masuk ke dalam apartemennya sudah aku titipkan pada sopir. Sampai ketemu nanti." Gavin langsung menutup sambungan teleponnya dan membuat Hazel terbengong. Hazel memberikan ponsel milik sang sopir, lalu menatap keluar jendela mobil.
"Kita berangkat sekarang, Nona." Sang sopir mulai menyalakan mesin mobilnya.
"Bisa antarkan saya ke alamat ini, Pak? Saya akan ke sana sebentar sebelum ke apartemen." Hazel memperlihatkan alamat yang ada di dalam ponselnya.
"Maaf Nona, saya tidak bisa memenuhi keinginan Nona. Karena Tuan hanya menyuruh saya mengantar Nona ke apartemen." Sang sopir berucap dengan tegas.
"Sebentar saja, Pak. Kalau Tuan marah, saya yang akan tanggung jawab." Hazel berusaha meyakinkan sang sopir untuk membawanya ke Bar tempatnya bekerja. Dia ingin mencoba berpamitan pada bosnya di sana.
Akhirnya, sang sopir mau mengantarkan Hazel ke Bar tempatnya bekerja. Meskipun hari masih sore, tetapi di dalam bar sudah ada pekerja yang datang dan mempersiapkan pekerjaan mereka untuk nanti malam. Si Pemilik bar juga bertempat tinggal di sana. Hazel sampai di Bar setelah perjalanan sepuluh menit dari kampusnya.
"Tunggu sebentar ya, Pak," ucap Hazel, lalu masuk ke dalam bar.
Hazel menuju ke kantor pemilik bar dan bertemu dengan Jack, sang bartender. Hazel mengobrol sebentar dengan Jack dan akan menemuinya lagi setelah dari kantor pemilik bar. Hazel merasa sedikit berat melepaskan pekerjaan yang telah memberinya kehidupan itu.
"Ada apa, Lynn. Bukannya ini masih sore?" tanya sang pemilik bar saat melihat Hazel masuk ke ruangannya.
"Maaf, Bos. Saya ke sini karena mau berpamitan dan mengundurkan diri dari bar ini. Terima kasih sudah menerima saya di sini meskipun saya tidak pernah mau menjadi apa yang diminta para pelanggan." Hazel berbicara dengan sopan.
"Tiba-tiba sekali, Lynn. Apa karena kejadian waktu itu? Kamu bisa menghindari orang itu kalau kamu mau, Lynn." Pemilik bar sedikit tidak rela dengan pengunduran diri Hazel. Pasalnya, pekerjaan Hazel di sana terlihat bagus dan selalu banyak pelanggan yang datang meskipun Hazel hanya sebagai waitress di sana.
"Bukan begitu, Bos. Saya hanya ingin fokus kuliah saja dan mencari pekerjaan hanya di akhir pekan selama libur kuliah. Terima kasih atas pekerjaannya selama ini, Bos. Mohon maaf kalau saya sering melakukan kesalahan." Hazel tersenyum lalu membungkuk untuk memberikan penghormatan terakhir kepada bosnya.
"Kalau kamu berubah pikiran, saya akan menerima kamu lagi jika kamu akan kembali." Pemilik bar ikut tersenyum dan mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Hazel.
Di luar bar, sang sopir sudah berulang kali ditelepon oleh Gavin dan tidak berani mengangkatnya. Hazel keluar dari ruangan pemilik bar, lalu berpamitan dengan Jack. Hazel memeluk Jack yang sudah dia anggap teman dekatnya di bar tersebut. Hazel juga berpamitan pada semua teman-temannya di sana. Hazel keluar bar dan menuju mobil mewah milik Gavin.
"Non, Tuan telepon terus. Saya tidak berani menjawabnya," ucap sang sopir dengan ekspresi wajah takut.
"Biarkan saya yang menjawabnya." Hazel mengulurkan tangannya meminta ponsel sang sopir.
"Dari mana saja kamu?" tanya Gavin dengan suara kesal. Gavin berpikir yang mengangkat adalah sang sopir.
"Ini aku, Tuan. Maaf aku meminta sopir Anda untuk mengantarkan aku ke suatu tempat. Jangan marah dengan sopir Anda." Hazel berbicara dengan santai.
"Dari mana kamu, Beby? Kenapa nggak bilang dulu kalau mau ke suatu tempat?" Gavin sedikit lega, tetapi masih kesal juga.
"Rahasia, nanti aja kita bicarakan. Aku mau ke apartemen dulu, bye." Hazel langsung mematikan sambungan teleponnya dan memberikan ponsel milik sang sopir.
"Ayo kita ke apartemen, Pak," pinta Hazel sambil tersenyum ramah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments