A Bride For The Legendary Bestial

A Bride For The Legendary Bestial

Bab 1: Nasib Sial

Kirana berjalan cepat di lorong, kedua tangannya penuh membawa cup holder berisi aneka macam kopi. Ia mendorong pintu kaca dengan pundaknya, lalu mulai berkeliling membagikan kopi itu ke setiap meja yang ada di ruang redaksi.

“Americano buat Mas Fajar,” ucapnya sambil meletakkan minuman dengan cup berwarna hijau di meja. Pria berkacamata bernama Fajar itu tidak mengacuhkan Kirana, ia tetap asyik mengobrol dengan rekannya.

Kirana mendengkus. Setidaknya bilang terima kasih, kek! Batin gadis itu.

Ia menyerahkan kopi terakhir kepada Pak Nanang—Pemimpin Redaksi HCC News—tempat Kirana melakukan internship saat ini. “Silakan pak, caramel macchiato less sugar, less ice, size large dengan extra soymilk.”

Nanang melirik Kirana yang sedang mengelap peluh di dahinya. Sudah genap sebulan mahasiswa tahun ketiga itu berada di sana. Setiap hari, ia diminta membelikan kopi untuk para Asisten dan Redaktur, sampai-sampai ia hafal pesanan favorit dari mereka semua.

“Eh, jangan keluar dulu!” Kirana menghentikan langkah kakinya, ia berbalik dan menutup kembali pintu ruang Pemred.

“Ada apa Pak?” tanyanya.

“Kamu sadar gak sih?” tanya balik Pak Nanang.

Kirana mengerutkan dahi, “Sadar apa ya, Pak?”

Pria itu meringis, “Aduh, sudah kerja tidak becus, tidak peka pula!”

Kirana makin dibuat bingung. “Apa pesanan kopinya ada yang salah?”

Pak Nanang geleng-geleng kepala. “Baru kali ini saya menerima mahasiswa internship sepayah kamu, kerja lamban, banyak salah, sampai semua orang bingung harus ngasih kamu kerjaan apa!”

Seperti ada benda tajam yang mengiris hati Kirana. Ia sering mendengar atasan lain memarahinya, tetapi rasanya tidak ada yang semenyakitkan kalimat Pak Nanang. Pria itu melanjutkan, “Kamu gak protes kenapa mereka nyuruh kamu beli kopi setiap siang?”

Kirana menggeleng. “Sa-saya senang membantu kok, Pak,” suara yang keluar dari mulutnya bergetar, menahan tangis.

“Itu karena kami gak mau kamu hadir dan cuma diam saja di depan komputer! Tapi, kalau kita kasih pekerjaan editorial atau mengumpulkan berita, pasti hasilnya gak bener! Malah bikin orang kerja dua kali benerin hasil kerjaan kamu!” Pak Nanang tampaknya sudak tidak bisa menahan emosinya. Ia mulai meninggikan suaranya dan membentak-bentak Kirana.

Jantung gadis itu berdebar, sudah lama ia tidak mendengar suara teriakan laki-laki. Ia memegangi dadanya, sementara tangan satunya meremas ujung baju. Ia berusaha keras menahan air matanya jatuh, walau dadanya mulai sesak karena tidak nyaman berada di dalam ruang berukuran 3x3 meter itu.

Sesi evaluasi dadakan itu berlangsung kurang lebih lima belas menit. Kirana keluar dari Ruang Pemimpin Redaksi, beberapa pasang mata yang kedapatan meliriknya buru-buru memalingkan wajah. Beberapa dari mereka tampak tidak peduli dan terus melanjutkan kerja.

Napas Kirana masih tersengal-sengal, padahal ia tidak habis berolahraga. Tetapi, adrenalin mengalir deras di dalam dirinya, membuat ia menjadi lebih berani daripada biasanya.

“Sudah cukup! Aku keluar dari sini!” teriaknya, tiba-tiba. Mengagetkan semua orang, termasuk Jessie, teman sejurusannya yang juga intern di kantor tersebut.

Tanpa menunggu reaksi atau respon dari seorang pun disana, Kirana berlari ke mejanya, menyambar tas ranselnya dan berjalan keluar ruangan.

Kepalanya muncul lagi dari balik pintu, “Surat pengunduran diri aku kasih besok!”

Kirana berhenti di depan pelataran gedung kantor tersebut. Ia berbalik, hatinya mulai ragu. Ia sebenarnya menyayangkan keputusan gegabah yang dibuatnya beberapa menit lalu. Seharusnya aku tidak berkata seperti itu tadi, sesalnya.

Ia memang kesal dengan perlakuan semua orang di kantor, ditambah Pak Nanang yang hanya bisa memaharaninya tetapi tidak mau memberi arahan sama sekali.

“Ah, aku kehilangan kredit buat ditransfer ke SKS,” gerutunya sambil berjongkok di sana. Ia mengacak rambut hitamnya yang panjang dan lurus, merasa frustasi.

Susah payah ia mengurus perizinan ikut internship dan malah berakhir seperti ini. Padahal seharusnya ia berpartisipasi minimal selama tiga bulan.

Tiba-tiba, Hp di jaketnya bergetar, Kirana buru-buru mengangkat panggilan telepon dari Aryan, teman sejurusan sekaligus pacarnya.

“Hei, aku dapat kabar dari Jessie katanya kamu ada masalah di kantor?”

Tangis Kirana langsung pecah ketika mendengar suara kalem dari kekasihnya. “Aku sebel sama mereka semua!”

“Iya, iya, tenang dulu, nanti malam kita ketemu oke? Kamu boleh cerita sepuasnya, sekalian ada hal penting yang mau kuceritain juga,” ujar Aryan, tenang.

Kirana mengelap ingus dan air matanya, “Ya udah, mau dimana?”

“The Night Stellar, aku ada teman magang disana, nanti aku minta dia yang buat reservasinya,” balas Aryan.

“Oke, makasih babe. See you.”

“See you, take care, ok?”

“I will.” Telepon dimatikan oleh Kirana. Suasana hatinya membaik karena ajakan makan malam dari Aryan. Untung aku masih punya pacar yang pengertian dan selalu ada buatku, batinnya penuh rasa syukur. Mungkin perjalanan karirnya memang apes, tetapi tidak dengan kisah romansanya.

...***...

The Night Stellar adalah restoran yang baru diresmikan sebulan lalu, popularitasnya meledak karena review dari para selebgram dan food vloger. Kirana termasuk salah satu orang yang fomo dengan restoran tersebut dan baru hari ini bisa merasakan makanan di tempat tersebut.

Dua piring diangkat oleh waiter sementara hidangan penutup segera diantarkan ke meja tersebut. Kirana menikmati dessert cake coklatnya sambil menceritakan semua penderitaan yang dialaminya selama internship. Aryan yang mengenakan setelan formal biru terang di depannya sesekali tertawa melihat ekspresi lucu yang dibuat oleh pacarnya itu.

Aryan akui, Kirana sangat cantik malam itu. Ia mengenakan dress biru tua selutut, rambut hitamnya diikat ke samping. Kesan elegan muncul dari gaya berpakaiannya yang simpel. Namun, Aryan menjadi merasa tidak enak, itu berkaitan dengan hal yang ingin ia sampaikan. Laki-laki itu sedang menunggu momen yang tepat.

“Ya ampun, ingin kucakar-cakar muka dia rasanya! Mana kalau order kopi selalu yang paling ribet minta ini itu,” Kirana menutup ceritanya sambil menyilangkan tangan ke dada. “Ih, jangan ketawa!”

“Haha, ya maaf,” Aryan berdehem. “Terus, rencanamu selanjutnya gimana?”

“Nah itu, aku juga bingung,” gadis itu mendesah. “Cepat atau lambat pihak kampus pasti memanggilku karena kejadian ini.”

Kirana memperhatikan wajah Aryan yang tampak melamun. “Lagi mikirin apa?”

“Ah, enggak, itu, anu..,” pemuda itu gelagapan. “Toilet, mau ke toilet sebentar. Haha.” Ia tertawa garing sembari meninggalkan meja.

Kirana hanya tersenyum simpul. Selepas Aryan pergi, ia melihat layar Hp pacarnya itu menyala. Ada chat masuk. “Sibuk amat malem-malem ada yang chat, hihi.” Penasaran, Kirana mengintip chat yang tampil di layar tersebut.

Jessie:

[Kamu udah bilang mau putus ama dia?]

[I miss you, nanti aku mampir ke tempatmu ya abis selesai dinner sama Kirana]

[Btw, bajuku yang ketinggalan jangan di laundry ya, nanti aku ambil sekalian]

Mata Kirana membulat saat membaca pesan tersebut. Seketika tubuhnya menjadi lemas, gelas bening ditangannya tergelincir dan jatuh ke lantai, mengejutkan orang-orang dan pelayan yang hilir mudik di sekitar mejanya.

Aryan selingkuh dengan Jessie? Sejak kapan? Kenapa aku tidak pernah sadar?

Seperti terbangun dari mimpi yang sangat panjang, Kirana bingung apakah ini hanyalah ilusi atau kenyataan. “Mereka bercanda kan? Atau ini setingan untuk memberiku kejutan? Hahaha,” Ia menggaruk kulit kepalanya, cemas.

Belum sembuh rasa sakit dari cacian atasannya, dadanya kini remuk saat mengetahui soal perselingkuhan tersebut. “Jadi ini hal penting yang mau dia diceritain, haha.” Kirana tertawa getir.

“Maaf ya, aku lama di toilet,” suara Aryan seperti menarik wajah Kirana dari dalam air. Napas gadis itu memburu, matanya menatap Aryan dengan penuh amarah.

“Kamu mau putusin aku, iya kan?”

Aryan melotot saking kagetnya. Seketika ia menyadari chat dari Jessie terpampang di layar gawainya. Ia gelagapan lagi, tuduhan Kirana tepat sasaran. Belum sempat Aryan menjelaskan, Kirana bangkit dan menggebrak meja.

“Laki-laki berengsek! Kamu selingkuh ternyata selama ini dengan sahabatku sendiri!” Terlanjur emosi, rasanya tidak puas kalau Kirana hanya memaki laki-laki yang kini memasang wajah mengiba itu.

Kirana mengambil gelas berisi air mineral di depan Aryan lalu menyiram wajah laki-laki itu. “Kamu gak boleh mutusin aku! Aku yang mutusin kamu! Kita putus!” Setelah berkata seperti itu, Kirana pun meninggalkan meja.

Aryan yang masih syok karena disiram, buru-buru bangkit dan mengejar Kirana. “Tunggu, Kirana! Bayarnya split bill! Ini aku yang bayar semua? Hei!”

Kirana tidak mau dengar dan tidak peduli. Mampus, bayar sana pakai uangmu sendiri! Dadanya terasa sangat sesak, pelupuk matanya sudah berat membendung air mata.

“Aryan jahat! Semua laki-laki jahat! Jahat! Jahat!” serunya.

Ia sesugukan di pelataran depan restoran sambil menunggu taxi online datang. Tiba-tiba angin berhembus sangat kencang, dibawah kaki Kirana muncul garis lingkaran yang bersinar. Simbol-simbol didalam lingkaran itu menyala, cahayanya menyelimuti tubuh gadis itu.

“Apa ini? Kyaaaa!”

Kirana menjerit saat seluruh pandangannya berubah menjadi terang benderang, ia menutup mata. Sayup-sayup suara kendaraan mulai menghilang.

Ia tidak tahu apa yang terjadi. Kakinya seperti berada di dalam air yang mengalir. Angin yang berhembus terasa menyejukkan. Terdengar suara gemericik air sungai dan sahutan burung-burung. Rasanya, seperti sedang tidak berada di Jakarta.

Begitu ia membuka mata, Kirana terkejut saat mendapati dirinya berada di tempat antah berantah. Ia berdiri di tengah sungai dangkal yang jernih. Di hadapannya terbentang hutan lebat. Kirana menengadah, di langit tampak cerah berwarna biru seperti lukisan. Padahal hari masih gelap saat ia keluar dari The Night Stellar.

“Kenapa aku ada disini?” Ia menoleh ke sekeliling, kebingungan.

Ia mencoba untuk berjalan ke tepi sungai, tetapi heels-nya terjepit diantara sela batu dan gadis itu langsung jatuh tercebur. Ia mengangkat wajahnya yang basah kuyub, “Hah! Bukan mimpi! Kalau ini mimpi harusnya aku bangun saat jatuh!”

Kirana tidak bisa berhenti memikirkan apa yang terjadi pada dirinya, tetapi ia harus ke tepi sungai dulu. Ia melepas heels-nya dan berjalan telanjang kaki sampai ke tepi sungai.

Saat ia duduk di atas sebuah batu besar untuk beristirahat sejenak, ia mendengar suara kepak sayap yang mendekat. Kirana menoleh ke atas, matanya membelalak melihat tiga pria dengan sayap terbang ke arahnya.

Salah satu diantara mereka berteriak, “Tangkap dia!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!