Bagas terus mengingat kejadian setelah dia mengambil minuman. Dia bahkan sesekali merutuki dirinya sendiri. Dia merasa kesal karena tidak mengingat apapun saat bangun pagi tadi.
"Apa yang sebenarnya aku lakukan? Haaah!" Teriaknya penuh rasa kesal.
Kepalanya tiba-tiba merasa berat kembali dan dia menepikan mobilnya.
"Kenapa kepalaku tiba-tiba berat lagi. Apa ini efek sampingnya?" Bagar memijat area dahi hingga pelipisnya.
Ia terus memutar-mutar ibu jarinya agar sakit kepalanya sedikit hilang.
Bagas merasa dijebak oleh beberapa temannya.
"Untung saja aku semalam langsung pulang. Jika tidak pasti ada hal lain yang akan terjadi di sana, diluar kendaliku."
Saat dia bicara seperti itu. Kemudian terlintas ingatan kejadian semalam. Dia membulatkan kedua matanya. Menepis semuanya dan berusaha mengelaknya.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin aku melakukannya dengan Zahira."
Sakit kepala yang tadinya menyerang. Menjadi hilang seketika. Kini dia merasa berdebar di area jantungnya. Dia tidak percaya dengan seluruh ingatannya yang baru saja muncul itu.
"Bagaimana caranya aku menghadapi Zahira di rumah? Dia pasti sangat sedih dan kesakitan sendiri. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aaaaah!"
Bagas memukul-mukul stir mobilnya dengan keras hingga klakson mobilnya tak sengaja tersentuh dan berbunyi.
Dia kini menjadi bingung bagaimana cara menghadapi adik iparnya itu.
"Jika Mama tahu pasti semua akan menjadi rumit. Dan jika Zahara tahu. Pastinya aku tidak bisa menghadapinya. Selama ini aku berusaha menahan hasrat itu. Aku selalu berusaha setia menunggunya. Kenapa semua menjadi sangat kacau saat ini?"
Kekesalan Bagas tak ada hentinya. Dia sedang memikirkan bagaimana cara menghadapi Zahira di rumah dan cara menangani hal ini jika suatu saat Zahara membuka matanya.
"Maafkan aku Zahira, Zahara."
Bagas kemudian kembali melajukan mobilnya. Dia berusaha untuk tenang dan berusaha mencari cara untuk bicara dengan Zahira.
*****
Ammar dan Zahira sampai di rumah. Zahira mendorong masuk troli Ammar.
Melihat bocah usia dua tahun yang gembul dan sangat menggemaskan. Utami langsung menyambutnya.
"Hallo sayangnya Oma. Udah selesai jalan-jalannya sama Imu? Seneng ya pasti."
Ammar mengangguk mendengar pertanyaan dari Omanya.
"Oma. Yanda mana?" tanyanya dengan logat khas anak usia dua tahun yang belum terlalu lancar bicara.
Ammar memang cepat dalam berjalan, tapi dia masih cadel saat berbicara. Makanya Zahira jika di rumah dan bermain dengan Ammar. Dia selalu mengoceh tidak ada pegalnya. Untuk melatih Ammar agar cepat berbicara lancar.
Utami, Ammar dan Zahira masuk ke dalam rumah. Hari sudah menunjukkan jam dua belas siang. Zahira tahu kalau jam segini pasti Bagas sudah dalam perjalanan pulang.
Bagas selalu pergi setiap hari Minggu ke rumah sakit untuk melihat keadaan istrinya. Dia akan pulang ke rumah sebelum makan siang. Bagas selalu berusaha pulang cepat agar bisa menghabiskan waktu dengan Ammar saat libur kerja.
"Mah, aku siapkan makan siang dulu. Za titip Ammar. Ammar Imu siapin makan siang untuk Ammar dan kita ya." Zahira menggelitik kecil bawah dagu keponakannya.
Mendapat klitikan Ammar pun tertawa geli.
Utami senang sekali mendengar dan melihat keduanya berinteraksi layaknya ibu dan anak kandung. Utami ingin sekali menikahkan Bagas dengan Zahira.
"Bagaimana caranya aku bisa mempersatukan mereka?" Utami berbisik dalam hatinya.
Terdengar suara mobil memasuki garasi rumah mereka. Rumah mereka tidak terlalu besar halamannya. Jadi terdengar jelas jika mobil memasuki pagar rumah mereka.
Bagas adalah seorang insinyur. Dia membangun perusahaannya sendiri saat masih sebagai mahasiswa. Dia belajar kontruksi dari ayahnya yang seorang developer property. Hanya saja Bagas lebih senang membuat kontruksi jalanan. Seperti jalan tol. Jembatan layang. Dan jalan raya.
Mereka yang terbiasa hidup sederhana. Terbawa sampai Bagas menjadi pengusaha. Tanah rumah mereka hanya seluas seribu meter. Dengan bangunan seluas lima ratus meter dan sisanya sebagai halaman dan garasi rumah.
"Bagaimana kondisi Zahara? Apa ada perkembangan?" tanya Utami.
"Masih sama. Belum ada perubahan yang bagus." Bagas menjawab pertanyaan mamanya.
"Semoga dia cepat sembuh dan bisa berkumpul dengan kalian lagi," kata Utami, meski hatinya ingin putranya menjalin hubungan dengan adik dari menantunya itu.
Zahira muncul dari ruangan lain. Dia membawa semangkuk sup dengan bubur tim di dalamnya.
"Ammar, ayo kita makan dulu." Ajak Zahira.
"Za, biarkan bibi yang menyuapinya dulu. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu di ruang kerjaku."
Bagas langsung melangkah pergi dan menaiki setiap anak tangga.
Kamar Bagas, ruang kerja Bagas, dan kamar tamu ada di lantai dua. Sedangkan kamar Ammar dan kamar mama Utami berada di lantai dasar.
Zahira mengikuti langkah Bagas yang sepertinya ingin berbicara serius dengannya.
"Ada apa ini? Apa dia ingin membicarakan tentang semalam? Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus katakan?" Wajah Zahira seketika menjadi pucat. Tangannya juga berkeringat dingin. Dadanya mulai berdegup kencang.
Dia sampai di ruangan yang penuh buku dan alat elektronik untuk perlengkapan bekerja.
"Duduklah."
Bagas dan Zahira duduk di sofa yang berbeda dan terhalang meja.
"Za, apa kamu ingat kejadian semalam?" tanya Bagas tanpa basa-basi lagi.
Zahira langsung terkejut. Matanya seakan-akan menyembul keluar. Dia menjadi semakin gemetar. Ditanya seperti itu sudah pasti akan membuatnya malu dan tak bisa membuka mulutnya.
"Jika kamu diam seperti ini. Sudah pasti jawabannya adalah iya. Kamu mengingat semuanya. Pertanyaanku adalah, kenapa kamu tidak mencegah agar hal itu terjadi?" Bagas bicara seakan-akan itu kesalahan Zahira.
Zahira ingin sekali menangis. Bagaimana tidak. Kegadisannya direnggut oleh pria yang bukan suaminya. Terlebih pria itu adalah kakak iparnya sendiri.
"Bagaimana aku bisa mencegahnya, jika kau mengungkung diriku dalam pelukanmu. Bahkan Mas Bagas sendiri yang menarikku secara tiba-tiba masuk ke dalam kamar." Zahira mulai berkaca-kaca.
Zahira tidak terima di salahkan. Bahkan selama ini dia juga sudah menahan diri untuk rasa yang muncul dihatinya selama beberapa bulan ini. Dia berusaha bersikap dewasa dan tidak mau mengambil kesempatan dalam kesempitan meski dia memiliki wajah sama dengan kakaknya.
"Za, aku harap. Kamu mau menyembunyikan hal ini dari siapapun. Aku tidak mau ibu kecewa juga tidak mau sampai Zahara hancur. Semua itu terjadi karena reaksi obat yang dicampur oleh temanku ke dalam minuman." Bagas memohon kepada Zahira.
"Tapi kamu menghancurkan hatiku dan juga masa depanku, Mas." Zahara bergumam dalam hatinya.
Dia tidak mau memperkeruh keadaan. Dia sendiri tahu semua itu adalah kesalahan karena Bagas memang dalam pengaruh obat.
Zahira tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia harus ikhlas dengan apa yang telah terjadi. Dia juga harus melepas rasa yang dia miliki. Dia sadar yang dicintai Bagas adalah Zahara kakaknya. Ditambah semalam pun selama permainan Bagas hanya menyebut nama Zahara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments