Vann dan Zionna akhirnya mendatangi sebuah café yang tampak mewah dan klasik. Mereka datang kesana sesuai rekomendasi Selena sang kakak ipar.
“Café ini tampak sangat bagus,” puji Zionna melihat sekelilingnya seraya bergandengan tangan dengan mesra bersama Vann.
“Hmm, kakak ipar punya selera yang bagus,” angguk Vann menimpali. Ia sejak tadi tak henti merasa gugup karena Zionna merangkulnya mesra setiba di sana.
“Vann!” seru Selena menghampiri keduanya.
“Kakak ipar juga ada di sini??” tanya Vann melihat ke arah meja di pojokan yang di penuhi teman sosialitanya.
“Ah, kebetulan temanku mengajak kami juga berkumpul di sini hari ini,” jawabnya berbohong. Padahal ia sengaja datang ke sana membawa teman-temannya untuk menyombongkan diri jika ia sudah menjadi bagian dari keluarga Bowie Group.
Vann hanya mengangguk pelan.
“Ayo, sapa teman-temanku, mereka sangat penasaran dengan istrimu, kemarin aku tidak bisa mengundang mereka ke pernikahan kalian karena pernikahan kalian sangat tertutup,” bisiknya pada Vann.
Vann menoleh pada Zionna yang sejak tadi tampak mengagumi interior di dalam café tersebut.
“Baby, kakak ipar ingin kita menyapa teman-temannya, tidak masalah kan?” Vann bertanya lembut.
“Tentu saja” angguk Zionna setuju.
“Wah, bahkan panggilan sayang kalian membuatku iri, aku tidak tau jika adik iparku ini sangat romantis” puji Selena tersipu.
Mereka segera menghampiri teman-teman Selena.
“Teman-teman, kenalkan ini Vann adik iparku dan ini Zionna istrinya, mereka pengantin baru yang aku ceritakan tadi.” Selena memperkenalkan adiknya pada teman-temannya.
Mereka tampak menyapa Zionna dan Vann dengan sangat ramah.
“Omg ! Apa istrinya seorang artis, dia bahkan terlihat tidak nyata”
“Wah, mereka sangat serasi”
“Wah,istrinya cantik sekali”
“Pakaian istrinya itu hanya ada 1 di negara ini, aku tidak percaya dia memilikinya”
“Aku dengar dia dari luar negeri, pewaris tunggal Bowie Group”
“Beruntung sekali Vann mendapatkan harta karun sepertinya”
“Benar-benar pria beruntung”
Setelah menyapa teman-teman Selena, keduanya memutuskan untuk duduk terpisah dari mereka. Selama duduk di sana, mereka tak henti mendengar berbagai komentar dari sekumpulan orang-orang tak berguna itu. Zionna hanya berdiam diri seraya terdengar menghela nafas kesal beberapa kali. Begitu juga dengan Vann, ia sosok yang introvert merasa sangat kebingungan untuk memulai obrolan dengan istrinya yang tampak sedikit kesal karena ulah kakak iparnya.
“Maaf jika kakak ipar dan teman-temannya membuatmu tidak nyaman” gumam Vann sungkan.
“Tidak apa-apa” geleng Zionna cepat.
“Apa kau ingin pergi ke tempat lain?” tanya Vann memberanikan diri.
“Aku rasa itu ide yang bagus,” angguk Zionna cepat.
Vann tertawa kecil mendengar ucapan Zionna yang tanpa basa-basi itu.
“Baiklah, ayo kita pergi, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat”
****
Ternyata, Vann membawa Zionna ke perpustakaan favoritnya.
“Aku sering menghabiskan waktu liburku di sini.” Vann membimbing langkah Zionna menelusuri lorong rak buku.
Zionna tampak melihat semua jenis buku yang ada di sana tanpa bergeming.
Drrttt… drrtt…
Ponsel Zionna bergetar di dalam sling bag nya, ia segera memeriksa ponselnya.
“Babe, aku terima telepon dulu ya” Zionna berkata setengah berbisik.
Vann mengangguk cepat, Zionna tampak segera berlari kecil menjauh dari Vann. Vann meraih sebuah buku asal. Pikirannya hanya fokus pada Zionna. Ia melihat Zionna dari kejauhan. Zionna lagi-lagi tampak kesal. Bahkan ia tampak menyeringai sinis beberapa kali selama berbicara di telepon. Vann berusaha mengalihkan pandangannya dari Zionna. Ia berusaha tak acuh. Ia meletakkan buku yang ia pegang dan menggantinya dengan buku lainnya. Ia hanya membolak-balik tiap lembara buku itu tanpa membacanya, pikirannya hanya tertuju pada Zionna. Vann teringat dengan penglihatannya tadi malam, situasi ini mengingatkannya. Ia kemudian mencuri pandang pada Zionna, namun Zionna tak lagi ada di sana. Zionna tak lagi terlihat.
Vann segera meletakkan bukunya. Ia segera menyusul Zionna dengan perasaan khawatir. Ia celingak-celinguk melihat sekitar namun tak menemui Zionna. Bahkan ia berlari keluar gedung untuk mencari Zionna, namun tak kunjung kelihatan, bahkan ia mencarinya di tempat mereka parkirkan mobil tadi.
Drrttt… drrttt…
Ponsel Vann bergetar. Vann mendapati sebuah nomor tak di kenal memanggilnya. Ia segera menerima panggilan itu.
“Halo…”
“Ini aku…” seru Zionna dari seberang.
“Hei, kau dimana? Kau baik-baik saja?” tanya Vann khawatir.
“Maaf, aku pergi duluan… aku baik-baik saja… maaf aku meninggalkanmu begitu saja… Ayahku tiba-tiba menelepon dan memintaku untuk menemuinya sekarang,” jelas Zionna terdengar tidak senang.
“Apa semua baik-baik saja? Apa aku perlu menyusulmu?”
“Ah, tidak perlu… semua baik-baik saja”
“Baiklah, kalau begitu kabari aku jika kau butuh sesuatu,”ujar Vann lagi.
“Hmm… maaf aku meninggalkanmu di hari kencan kita,” gumam Zionna menyesal.
“Tidak apa-apa, jangan khawatir, kita bisa pergi kencan lagi lain waktu”
“Baiklah kalau begitu, sampai jumpa nanti malam”
“Hmm… sampai jumpa, hati-hati di jalan,” sahut Vann lembut.
Ia hampir saja melapor ke polisi jika saja tak menemukan Zionna atau mendapat kabar darinya. Ia benar-benar panik saat Zionna menghilang. Ia segera menyimpan nomor ponsel Zionna. Ia baru sadar jika ia bahkan belum memiliki nomor ponsel istrinya. Vann memutuskan untuk menunggu hingga malam tiba di perpustakaan, karena ia tidak punya rencana atau tujuan lain.
****
Zionna menjatuhkan tubuhnya di atas sofa yang ada dalam ruang kerja ayahnya. Ayahnya tampak kesal saat baru saja melihatnya tiba dengan pakaian yang berantakan. Zionna membuka rompi hitamnya yang tampak sobek pada sisi kanan di lengannya. Ia hanya meninggalkan kemeja polos ********** yang berwarna peach.
“Tolong buang ini,” ujar Zionna santai menyodorkan rompi itu pada asisten ayahnya. Asisten ayahnya segera keluar meninggalkan keduanya di dalam sana.
Padahal stelan yang tengah Zionna kenakan itu adalah stelan baru. Pakaian itu merupakan pakaian edisi khusus yang hanya di jual 1 set di negara K. Namun, itu tidak ada artinya bagi Zionna.
“Kau darimana saja? Dimana anak itu??” tanya Ayah Zionna ketus.
“Aku habis mengurus sesuatu… Aku meninggalkan menantu idamanmu itu di perpustakaan,” jawab Zionna santai.
“Tidak bisakah kau menahan dirimu sebentar saja?” gerutu Jack sinis.
“Bukankah kita sudah sepakat? Aku akan melakukannya dengan caraku, jadi… jangan keluhkan apapun” tukas Zionna dingin.
“Shit !! Anak ini benar-benar menyebalkan, awas saja kalau kau sampai membuat masalah,” omel Jack menggerutu.
“Apa dia memang sangat polos seperti itu?” gumam Zionna menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa yang tengah ia duduki.
“Dia memang sangat polos dan bodoh seperti ibunya… Berbeda dengan kedua kakaknya yang sangat serakah dan licik, keduanya persis seperti ayah mereka” imbuh Jack menenggak wine-nya.
“Dan… Vann juga persis seperti istrimu,” timpal Zionna menyindir serambi memejamkan kedua matanya yang terasa mengantuk.
“Diam kau! Jangan komentari apapun soal istriku… Bagaimanapun dia itu ibumu!” seru Jack tegas.
“Ibuku sudah mati 10 tahun lalu… Berhenti membicarakannya,” timpal Zionna dengan mata terpejam.
Jack hanya menggerutu tertahan. “Dasar anak sialan! Menyebalkan sekali,” umpat Jack sangat pelan.
“Aku mendengarnya,” timpal Zionna lirih.
Jack menggeretakkan giginya kesal. Ia tidak akan pernah bisa menang melawan putri semata wayangnya itu, karena Zionna sangat pintar dan keras kepala.
“Kapan dia akan datang??” tanya Jack kemudian.
“Aku sudah mengirim pesan padanya untuk datang pukul 7… Dia pasti akan datang sebentar lagi,” gumam Zionna parau.
Tokk… tokk… tokk…
Zionna memberi isyarat dengan menunjuk ke arah pintu ruang kerja Jack. “Dia pasti sudah tiba,” gumam Zionna segera bangkit.
Asisten Jack membuka pintu dari arah luar perlahan.
“Tuan Vann sudah tiba, Nona.”
Zionna melemparkan senyum kemenangan pada ayahnya.
“Cih…” Jack menyeringai sinis.
Zionna segera keluar untuk menghampiri Vann yang ternyata sudah berada di ruang makan bersama ibu tirinya.
“Kau sudah tiba…” sapa Zionna tersenyum manis.
“Hmm…” sahut Vann mengangguk pelan. Ia kemudian menyodorkan sebuah tote bag besar pada ibu tiri Zionna. “Maaf, Bu… Saya baru memberikan hadiah ini pada anda, semoga Ayah dan Ibu Mertua menyukai hadiah ini,” ujar Vann santun.
“Terima kasih banyak, kau tidak perlu repot-repot begini,” timpal Maria sungkan.
“Kau jangan terlalu kaku, kami ini sekarang sudah menjadi orang tuamu,” ujar Jack menimpali.
Vann hanya mengangguk canggung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments